Senin, 13 Desember 2010

Gambar Raksasa
Oleh S Prasetyo Utomo


Tiap kali gadis kecil itu menggambar, yang dilukisnya manusia menyeramkan. Manusia yang rusak wajah dan tubuhnya. Nira — gadis kecil anak Mbak Dilah— menamakan lukisannya itu sebagai raksasa menyeramkan. Ini untuk kali kelima Nira bersimpuh di sanggar lukis Aji, bersama anak-anak yang lain, suntuk menyapukan kuas, dan yang dilukisnya selalu sama: manusia buruk rupa. Manusia dengan muka meleleh, mata merah, rambut panjang menggumpal, bibir setengah menganga, lidah terjulur.
Aji merasa heran. Di sanggar lukisnya, yang diikuti anak-anak sekitar rumahnya, hanya Nira —gadis kecil yang tak diketahui siapa ayahnya— selalu melukis manusia yang menyeramkan.
Tidak melukis sawah, gunung, matahari, awan dan burung yang melintas di atasnya. Tidak melukis binatang-binatang di padang rumput hijau. Tidak juga melukis anak-anak sedang bermain bola di tanah lapang.
Ketika anak-anak istirahat dan membeli makanan yang dijajakan di pelataran
rumah Aji, Nira tak mau jajan.
“Mau kuberi uang untuk jajan?“ Menggeleng, gadis cilik itu menunjukkan buah kedondong dari saku bajunya. Buah kedondong itu diambilnya dari pelataran rumah Aji, dan biasa dimakannya sewaktu istirahat. Bila ia berangkat ke sekolah, selalu mengambil dulu beberapa buah kedondong, dimasukkan begitu saja ke kantong baju.
“Siapa yang kaulukis ini, Nira?“ “Raksasa yang selalu masuk ke rumahku bila malam.“
“Kau melihatnya?“ Mengangguk, sedikit takut, ia menukas, “Ibu yang membukakan pintu untuknya, bila aku sudah tidur. Raksasa itu masuk kamar Ibu. Aku takut.“
“Apa yang mereka lakukan?“ “Bercakap-cakap. Menjelang pagi ia pergi.“
Nira tak berani membawa pulang lukisan raksasa buruk rupa. Ia menyerahkannya pada Aji. Ini lukisan kelima yang memberi gurat lebih menampakkan kepedihan raksasa buruk muka itu, rasa malu, dan geram pada sepasang matanya.
Gadis kecil itu segera meninggalkan sanggar, menghambur ke pelataran, mencari buah kedondong. Lahap sekali ia memakannya. Tanpa dicuci. Tanpa dikupas.

***

Berangkat ke surau, dingin kabut masih menggigilkan. Aji membuka pintu sanggar yang terletak di samping rumah. Terkesiap, ia melihat bayang lelaki buruk rupa meninggalkan rumah Nira. Tercium pekat bau lumut hutan yang melekat pada tubuh lelaki itu. Melintas cepat seperti bayangan, lelaki buruk rupa itu menyusup dalam gelap. Menyusup ladang ke arah hutan. Kepak kelelawar, dan suara buah-buah kedondong luruh, mengejutkan Aji. Ia mulai bisa melihat sosok raksasa dalam lukisan Nira: lelaki dengan wajah dan tubuh yang rusak, rambut menggumpal di kepala, terjuntai tak beraturan sampai bahu, sepasang mata garang dan menyembunyikan luka.
Tercium harum pisang goreng dari warung Mbak Dilah, saat Aji meninggalkan surau. Ia tak pernah mampir untuk menikmati kopi dan pisang yang mengepul panas baru diangkat dari penggorengan. Tapi kali ini ia sangat ingin duduk di warung itu, bersama kulikuli panggul yang mengangkut barangbarang dari truk ke gudang. Deretan gudang memanjang seluas bekas lahan ladang penduduk kampung pinggir kota ini. Tiap hari —berganti-ganti, tak pernah luang— truk membongkar muatan,
memerlukan kuli panggul untuk memikulnya di atas pundak mereka.
Minum kopi, makan pisang goreng, atau sarapan di warung Mbak Dilah, jadi terasa sedap di mata Aji. Belum pernah sekalipun, Aji mencecap kopi di warung itu.
Dalam remang pagi Aji melihat Kusno, makelar tanah, melintas di bawah pohon kedondong di pelataran rumah Aji. Ia menyapa ramah. Selalu begitu. Ia berlaku santun, dan menyelinap ke warung Mbak Dilah ketika belum seorang pun duduk di dalamnya. Memesan kopi. Merokok. Kuli-kuli panggul pun berdatangan. Terdengar perbincangan mereka yang akrab.
Dari teras rumahnya, Aji mendengar percakapan Kusno dengan para kuli.
“Kalian pernah lihat lelaki buruk rupa memasuki kawasan ini?” tanya Kusno.
Tentu ini mengenai raksasa buruk rupa yang dilukis Nira, pikir Aji.
“Menjelang subuh aku pernah melihatnya!” “Itu lelaki gila yang menjijikkan!” “Bagaimana kalau kita tangkap saja lelaki buruk rupa itu?” kata Kusno, “Kita keroyok. Biar mampus!” Perbincangan di warung Mbak Dilah menjadi riuh. Aji tak lagi bisa menyimaknya. Kian banyak kuli panggul berdatangan. Kusno paling lama menikmati kopi di warung.
Aji memasuki sanggarnya. Ia meneruskan lukisan yang ditinggalkannya menjelang dini hari tadi. Bekerja dalam
kesunyian, dalam kesendirian. Aroma embun di dedaunan pohon sekitar sanggarnya mengembalikan kesegaran tubuhnya untuk terus melukis.
                                                                   
* * *

Lukisan raksasa buruk rupa yang diserahkan Nira kali ini sungguh mengharukan. Raksasa itu tidak lagi garang, geram mengancam dan menakutkan.
Raksasa buruk rupa itu menangis.
Lama Aji memandangi lukisan itu.
Ia tak bertanya pada gadis kecil itu, mengapa raksasa buruk rupa yang digambarnya menangis.
“Kasihan raksasa itu,” kata Nira, “Ia tak lagi bisa mengunjungi rumah kami.Orang-orang mengancam akan membunuhnya.” “Kau lihat sendiri raksasa itu nangis?” “Tidak. Aku pura-pura tidur ketika raksasa itu datang. Ibu bercakap-cakap dengannya. Aku dengar suara tangisnya.
Tapi Ibu menghibur, bakal mengunjungi tempat tinggal raksasa di hutan.”
Buru-buru Nira bangkit.
Meninggalkan sanggar. Menghambur ke pelataran. Bermain dengan anak-anak yang lain. Memungut buah kedondong yang jatuh. Mengusap-usapnya dengan tangan.
Memakannya begitu saja. Lahap.

***

Lewat tengah malam, Aji baru saja selesai melukis. Ia duduk di teras sanggar lukisnya. Mendengar suara kepak sayap kelelawar pada rimbun pohon kedondong, merontokkan buah-buah itu. Warung Mbak Dilah telah lama tutup. Lampu rumahnya dipadamkan. Tapi Aji masih merasakan kesibukan perempuan itu dalam warungnya.
Menyelinap diam-diam Mbak Dilah meninggalkan warungnya. Mengunci pintu dari luar. Buru-buru ia berjalan kaki. Bukan ke arah kota. Ia melangkah ke arah ladang dan menyusuri jalan setapak ke hutan. Di dalam hutan itu --kata orang yang pernah berkunjung ke sana-terdapat sebuah gua, kera-kera beranak pinak di dalamnya. Orang menamakannya Goa Kera.
Tergoda ingin mengetahui kebenaran lukisan-lukisan Nira, Aji diam-diam mengikuti langkah Mbak Dilah. Jalan setapak yang dirambah Mbak Dilah sempit dan dijalari semak berduri. Langkah Mbak Dilah gesit dalam gelap. Jalan setapak di ladang ketela pohon diterobosnya.
Menuruni jurang. Menyeberangi sungai.
Aji kehilangan lacak. Alangkah gelap, sunyi dan rapat pepohonan berjajar di seberang sungai. Bila ia terus menerobos pekat hutan di seberang sungai akan mencapai Goa Kera.
Termangu sesaat di tepi sungai, Aji memutuskan untuk kembali ke kampung.
Ia merasakan kebenaran lukisan Nira.
Gadis kecil itu memang melihat manusia buruk rupa yang mungkin tinggal di Goa Kera. Tapi siapakah lelaki buruk rupa yang diserupakan Nira sebagai raksasa? Di atas ladang menjelang kampung, Aji menghentikan langkah di ketinggian tanah berbukit. Ia menatap atap-atap gudang yang berderet-deret, lampu berpendaran, berhimpitan persis dengan kampung. Gudang-gudang itu dulu ladang yang digarap orang-orang kampung, dan dijual pada seorang juragan. Kusno berperan menjadi makelarnya. Kini orangorang yang dulu berladang memilih hidup sebagai kuli panggul.
Satu-satunya petani ladang yang tak mau menjual ladangnya adalah Sueb, adik bungsu Kusno. Sueb memilih tinggal di gubuk, tak mau pergi dari ladang yang dikukuhinya. Tapi tengah malam gubuk Sueb terbakar. Orang tak menemukan bangkai Sueb. Tak diketahui siapa pun, apakah Sueb sudah mati atau masih
hidup.
Lambat-lambat Aji pulang.
Memasuki sanggar lukisnya: mengamati lukisan-lukisan Nira, raksasa buruk rupa yang geram, dan yang terakhir, raksasa buruk rupa yang menangis.

***

Kali ini dada Aji berdebar-debar menanti lukisan Nira diserahkan padanya.
Gadis kecil ini paling asyik melukis dengan kesuntukan. Ia tak pernah berpaling ke mana pun. Tidak seperti gadis-gadis kecil lain yang berlari-larian, menumpahkan cat, atau membasahi kertasnya dengan air.
Raksasa yang dilukis Nira tidak berwajah geram. Raksasa buruk rupa itu tertawa, menampakkan sepasang mata ceria. Latar belakang lukisan itu goa berlumut, dan seekor kera kecil dalam pangkuan raksasa. Nira menyerahkan lukisan raksasa itu dengan wajah riang, tersenyum, dan menanti pertanyaan Aji.
“Kau kunjungi raksasa itu ke gua?“ “Aku mengikuti Ibu. Tengah malam Ibu meninggalkan rumah, menemui raksasa itu dalam gua. Raksasa itu tertawatawa. Bahagia sekali.“
“Kau menunggui pertemuan mereka sampai selesai?“ “Aku takut, segera berlari pulang.
Sendirian.“
Buru-buru Nira berlari ke pelataran.
Menyusul teman-temannya bermain.
Mencari-cari buah kedondong yang runtuh. Memungutnya yang masih utuh.
Mengusap-usap tanah yang melumurinya.
Memakannya begitu saja 
(Suara Merdeka Edisi 5 Desember 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar