Senin, 20 September 2010

Pengakuan Simeon bin Klopas
Oleh Wendoko


KRISTUS sudah mangkat. Berita ini kudengar tadi siang, dari mulut ke mulut, lewat seorang pewarta. Mereka menyalibkannya tiga hari lalu. Ia mangkat menjelang petang, dan sebelum gelap jenazahnya sudah dimakamkan. Sampai tadi siang aku belum bertemu ibunya. Mungkin ia masih di Yerusalem, atau sekitarnya, bersama pengikut-pengikut Kristus.
Aku tak tahu bagaimana asal mulanya. Tapi malam ini, setelah anak-anak terlelap dan di luar tinggal senyap, aku ingin menulis catatan ini, yang sebelumnya tak pernah kupikirkan. Tiba-tiba aku ingin, suatu saat orang-orang tahu siapa Kristus, siapa aku, dan bagaimana sebenarnya hubungan kami. Aku ingin, suatu saat orang-orang tahu apa yang kupikirkan tentang Kristus, sesuatu yang bahkan tak berani kuutarakan sewaktu ia masih hidup.
Kami, maksudku aku dan Kristus, adalah sepupu. Kami tumbuh bersama dalam satu keluarga besar di Nazareth. Memang, tak begitu jelas bagiku apa yang dialami orang tuanya ketika menetap di Mesir, karena Kristus baru datang ke Nazareth setelah berumur tujuh tahun. Tetapi, sejak mereka tinggal di Nazareth, kami adalah satu keluarga besar, yang saling menjaga, melindungi, dan mengingatkan. Karena segala sesuatu, baik atau buruk, akan berpulang kepada seluruh keluarga.
Mulanya Kristus tak berbeda dengan anak-anak lain. Ia belajar, bermain, membantu ibunya, dan kadang bekerja di bengkel tukang kayu milik ayahnya. Hidupnya tenteram. Lalu sesuatu terjadi. Ketika berumur 12 tahun, Kristus diajak orang tuanya ke Yerusalem. Di sana, kabarnya ia menghilang beberapa hari. Tak pernah jelas ke mana ia pergi selama beberapa hari itu, tapi semua bermula dari peristiwa itu. Seharusnya ia mendapat hukuman keras, tetapi aku tahu, orang tuanya kadang terlalu lemah.
Lalu, ketika Kristus berumur 30 tahun, tiba-tiba, tanpa alasan yang jelas, ia meninggalkan rumah.Waktu itu ayahnya sudah lama meninggal. Kemudian beredar desas-desus bahwa ia berkeliaran di sekitar Sungai Yordan dan padang gurun, keluar-masuk desa, berkhotbah, dan membuat banyak keajaiban.
Tetapi memang itulah yang terjadi. Kristus, entah bagaimana, tiba-tiba punya kekuatan untuk menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, bahkan memberi makan ribuan orang dalam salah satu khotbahnya. Pengikutnya makin banyak. Dalam khotbah-khotbahnya, yang selalu dihadiri banyak orang itu, ia berbicara tentang kerajaan yang akan datang, pembebasan, dan penyelamatan. Satu hal yang pada dasarnya memang ingin didengar banyak orang.Tetapi, pada waktu bersamaan, beredar kabar bahwa ia selalu berseteru dengan ahli-ahli Kitab dan kaum Farisi. Bahkan, dalam salah satu khotbahnya, ia mengecam mereka sebagai kaum munafik.
Memang, tidak jelek punya sepupu yang memiliki kekuatan ajaib. Juga tak ada salahnya punya sepupu yang masyhur. Tetapi untuk apa ia keluar-masuk desa, mengumpulkan pengikut, dan menyebut kerajaan surga sudah dekat? Ia hanya anak tukang kayu yang baru belajar memahami Kitab Taurat, karena itu ucapannya gelap dan mengacaukan. Untuk apa ia bersikap seperti rabi, dan mengutuk ahli-ahli Kitab serta kaum Farisi? Bukankah tidak baik berurusan dengan orangorang berkuasa di Yerusalem?
Saat itulah kami mulai mengingatkan Kristus. Kami meminta agar ia lebih mengekang diri.Tetapi semua itu tidak dihiraukannya! Aku hanya mengutarakan fakta.
Mengenai perseteruannya dengan ahli-ahli Kitab dan kaum Farisi, aku pernah menyaksikan sendiri. Waktu itu Kristus berada di suatu tempat tak jauh dari desa kami. Sejak pagi berita kedatangannya sudah tersebar, dan rakyat berbondong-bondong ke tempat itu. Kami hanya mendengar ia berbicara dari kejauhan, dan tak dapat mendekat karena orang-orang begitu berdesakan. Tetapi waktu itu aku sadar, di antara kerumunan orang juga terdapat beberapa ahli Kitab dari Yerusalem. Kabarnya mereka sudah mengikuti Kristus ke mana-mana, dan waktu itu juga terjadi perselisihan di antara mereka. Apa yang diperdebatkan tidak begitu jelas bagiku, tapi aku melihat para ahli Kitab itu pergi dengan muka masam. Kristus sendiri terlihat puas. Tampaknya ia sangat sadar bahwa situasi yang tengah berkembang ini akan membuat namanya makin dikenal.
Lalu, untuk beberapa waktu, rakyat mengikuti dia dalam rombongan-rombongan besar. Orang-orang terus bercerita tentang ucapan dan perbuatannya. Ia memang makin dikenal, tetapi ketika itu suasana takut dan tegang juga makin terasa di Yerusalem. Orang-orang khawatir akan ada pendudukan oleh tentara Roma, karena Kristus menyebut dirinya Raja. Lalu beredar desas-desus bahwa Kristus adalah utusan Allah yang datang untuk mencetuskan perang, dan medan percaturan adalah di sekitar Yudea dan Yerusalem. Entah benar-tidaknya, tapi desas-desus itu sangat mengkhawatirkan kami.
Waktu itu, untuk kesekian kalinya, kami mengingatkan Kristus. Kami meminta agar ia lebih mempedulikan kami, sanak-keluarganya. Sebab, kalau situasi ini terus berkembang, kami jugalah yang akan kena getahnya. Tetapi sekali lagi Kristus tidak peduli!
Pesta Pondok Daun sudah makin dekat. Seharusnya Kristus bisa mengekang diri, karena rakyat terguncang. Tapi, yang terjadi, justru ucapan dan kata-katanya makin berani. Dia malah mengatakan, ia sudah hidup sebelum Abraham. Dampaknya tidak terlalu baik. Sekali waktu ia dilempari batu. Pada kesempatan lain, aku yakin kaki tangan para imam Agama sudah menyelusup makin dalam untuk menjeratnya.
Peristiwa-peristiwa selanjutnya lebih buruk dari yang kami duga. Kristus ditangkap, dan tadi siang kudengar ia sudah mangkat. Seluruh negeri  membicarakan hal ini. Kami tak berani keluar ke jalan raya, karena anak-anak berteriak dan orang-orang terus menuding, “Lihat, itu saudara Kristus!” Karena pengikut-pengikut, terutama ibunya, masih terus mengenangkan dia, maka kurasa kejengkelan di hati imam-imam Agama itu akan terus hidup.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Semua sudah terjadi. Hanya untuk mencapai sesuatu yang menurutnya luhur, Kristus telah menggiring kami, seluruh keluarganya, ke dalam kegelapan. Tak ada jalan bagiku kecuali menjauhkan diri. (*)
Wendoko, lulusan Teknik Arsitektur Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Kumpulan puisinya, (Oratorium) Paskah (2006), Sajak-sajak Menjelang Tidur (2008), serta Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa (2009).

(Koran Tempo, 5 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar