Jumat, 17 September 2010

Mada Anak Laut
Oleh Zelfeni Wimra


Madah Anak Laut
Kudayung sakit di laut jalang,
di rembang petang, berperahu kajang,
merendam geram
pada kedalaman yang sumbang

Pada kelokan muara yang tak kutahu mengalir dari mana, kutandai sebatang pidadak. Di juntaian akarnya, anak-anak menggumuli arus. Meloncat-loncat. Lempar-melempar. Tendang-menendang. Rajuk-merajuk dan menangis. Kadang bertepuk tangan, menertawakan salah seorang dari mereka yang berhasil melucu.
Ada pula yang menjatuhkan papan ke atas lumpur bakau dan telungkup di atasnya. Mereka mengayuh papan itu dengan tangan mereka. Sembari menguak kiambang, mereka pilih kerang-kerang yang tersekat di sana dan menaruhnya dalam baskom hitam. Duhai, gigihnya mereka.
Awan merah saga di atas muara itu seakan menggeleng-geleng melihat tingkah mereka. Sebelum satu-satu beranjak pulang dan menghilang di balik rumpun nipah, mereka tampak berebut memetik buah pidadak yang sudah matang. Kemudian menari-nari, bernyanyi-nyanyi. Sesekali bersorak-sorai. Sampai di telingaku, suara mereka menjelma deru paling merdu, berpacu lantun dengan gerutu riak di ujung dayungku.
Aku kayuh perahu kecilku lebih dekat lagi. Tidak jauh dari sana, kusaksikan anak-anak yang lain berebut bola, menaikkan layang-layang, bersepeda. Mereka melambai-lambai ke arahku, seperti ingin mengajakku bermain. Aku balas mereka dengan mengayun-ayunkan tombak penangkap ikan.
Sampai malam menjelang, dari pohon pidadak, kunang-kunang mulai beterbangan dari sarangnya. Cahaya yang mereka usung mirip gemerlap lampu-lampu di pulau. Kadang serupa kedipan gemintang di cekungan langit. Aku temangu di ceruk perahu kecilku. Kelebat angan-angan melesat-melintas di pikiran.

Andai aku bisa ke darat dan berada di tengah anak-anak itu, betapa indahnya hari. Betapa riangnya hati. Aku tentu bisa pula berlari-lari, menarik benang layang-layang sepanjang pesisir; mengayuh sepeda sekuat-kuatnya; atau berebut bola dengan anak laki-laki sambil sesekali berteriak semampu suara.
Mudah-mudahan malam ini ada ikan duyung atau pari yang kudapat. Akan kujual pada toke darat dan uangnya kutabung. Sebab, aku sudah bertekad, suatu ketika nanti, akan pergi ke darat, mengikuti jejak bapak.
"Aku nak main ke darat, Mak," selepas menombak ikan, kalimat itu sering kurengekkan, terutama ketika mata enggan terpejam. Emak akan menatapku. Lama. Entah cemas, entah sedih, entah sakit, tergurat di keriput pipinya.
"Engkau tak suka laut lagi?"
"Bukan macam tu, Mak. Di darat banyak anak-anak seumur denganku juga. Aku nak main dengan mereka,"
"Ada masanya tu nanti. Kelak, jika engkau dah besar dan tangguh, pergilah kemana hendak. Tapi, bekali diri engkau dulu dengan ilmu, biar tak mudah ditipu toke!"
Lalu (seperti biasa dan berulang-ulang) emak akan mengisahkan peristiwa tragis yang menimpa bapakku sebelum beliau dikabarkan meninggal. Bapak, kisah emak, menolak menjual ikan-ikan tangkapannya dengan toke yang licik. Bapak lebih suka menjual ikan langsung ke darat dengan pedagang di pasar-pasar kampung. Kegiatan bapak sangat didukung keluarga Suku Laut yang lain. Sahabat-sahabat bapak dari suku Tambus datang menyerahkan ikan tangkapan mereka. Suku Laut dari pulau Lingga dan Singkep pun sudah mengetahuinya. Kadang sekali dua bulan. Kadang, kalau lagi rezeki, bisa seminggu sekali, ada saja yang datang menemui bapak, minta tolong menjualkan ikan ke daratan. Harga menjual ikan dengan bapak lebih tinggi dibanding dengan para toke yang sengaja datang dari daratan.
Orang darat pun banyak yang senang pada bapak. Di pinggiran Batu Besar misalnya, Bulkani, nama bapak, sudah terkenal. Bapak pernah difoto wartawan dan perjuangan hidup bapak masuk berita koran. Bapak juga telah diwawancarai, dihadiahi baju oleh anak buah salah seorang calon pemimpin Provinsi. Waktu itu sedang terjadi Pemilihan Kepala Daerah. Jika bapak bisa mengajak orang lain memilih calon itu, bapak akan dibuatkan rumah permanen di darat. Di sana juga akan didirikan sekolah untuk anak-anak Suku Laut. Wajah legam bapak direkam kamera dan konon muncul di televisi.
"Waktu tulah bapak engkau bisa memperbaiki kajang kita ni," kenang Emak. Memang, perahu kajang kami berbeda dengan perahu-perahu Suku Laut yang lain. Agak besar dan bisa menyisipkan sebuah perahu kecil lagi. Perahu kecil itu, hadiah bapak untukku. Dengan perahu kecil itu pula, rencananya, bapak akan mengantar dan menjemputku ke tempat seorang guru membaca, menulis, dan berhitung. Tapi, tidak kesampaian. Bapak tiba-tiba menghilang dan tak pulang-pulang. (Meskipun akhirnya aku sempat juga belajar tulis-baca dan berhitung bersama anak-anak lain dengan seorang relawan peneliti, tapi terasa lengang. Kosong. Setelah bisa baca tulis dan berhitung, aku putuskan berhenti belajar. Aku kasihan melihat emak sendirian menangkap ikan. Meski sudah berpindah-pindah ke sana ke mari, ikan-ikan sulit didapat. Sementara yang bisa bantu emak cuma aku. Bukan hanya itu, relawan peneliti yang selama ini kami jadikan guru itu sudah jarang sekali datang menemui kami. Entah kenapa. Kabarnya dia sudah mendirikan sekolah untuk anak-anak suku laut di sebuah pulau).
"Karena tak mau kerja sama, toke-toke marah kali dengan bapak engkau. Mereka tu sengaja mendatangkan nelayan-nelayan darat. Orang tu dah lah memang beringas, dah tu dikasih pula pukat harimau, sehingga orang tu leluasa menangkap ikan. Bapak engkau tak terimalah. Dah tu berkelahi tu.
"Berbulan bapak engkau tak balik-balik. Orang-orang cakap dia tu dah dibunuh. Lepas tu dibuang ke laut?" jika sudah begitu, emak akan mengusap-usap sudut matanya dengan punggung telunjuknya. Kematian di darat, kematian di laut adakah bedanya?
Ya. Jelas berbeda.
Di darat, orang punya tanah untuk memendam jasad sanak keluarga yang berpulang. Di laut, tidak begitu adanya. Kematian di laut, adalah kehilangan yang sebenarnya. Kematian di sini tanpa tanda, serupa nisan, nama-nama, atau bunga.
Tapi, di hati, siapa yang tahu? Seperti aku kehilangan bapak. Siapa yang bisa menebak, bagaimana cara aku dan emak mengubur bapak dalam hati?
"Waktu tu engkau masih kecik lagi, masih menyusu?"
Telunjuk emak basah.
"Tapi, emak dah kuat mendayung kajang ni. Mak kayuh jauh-jauh dari tempat rusuh tu, sampai mak jumpa dengan saudara kita yang lain?" aku langsung menghambur ke pelukan emak. Tak tahan melihat kerut di pipinya menjelma anak sungai.
"Bertahun lepas tu, mak dapat kabar lagi tentang bapak engkau?" emak melepaskan pelukanku. Ia terlihat membersihkan butiran bening di pipinya. "Ada anak muda, orang Tambus tu, pernah nengok bapak engkau di pinggir Kuala Raya, tak jauh dari pesisir Sungai Buluh. Dia cakap, bapak engkau dah punya anak bini juga di situ. Mungkin tak, ya, Nak, ya? Semudah itukah dia lupa dengan kita?"
Aku ngungun, menggeliat seperti ikan tertusuk tombak. Seliar itukah hidup ini, Bapak? Apakah yang lebih ngilu dari kehilangan?
***
Inilah risau paling tajam, menindik kepingan rahasia
Kehilangan di laut, kehilangan di darat
tak kuasa kuberi warna
?
?
Pada sore yang lain, seperti biasa, aku akan mendayung perahu kecilku ke dekat muara. Bukan lagi karena terpanggil menyaksikan kekanak bermain di pesisir. Aku kini diundang resah yang alang kepalang. Dalam harap yang ganjil, aku bayangkan melihat sesosok lelaki, yang mungkin sudah tua, terbirit di pantai. Lalu emak menyuruhku memanggilnya: "Bapaaak! Pulanglah, Bapaak!"
Lalu, lelaki dengan sedikit uban di pelipisnya itu tanpa sadar menjatuhkan keranjang ikan yang tadi dijinjingnya. Ia berlari ke hadapanku. Ketika air laut sudah sampai di dadanya, ia berenang mendekati perahu kecilku.
"Nak!"
Lamunanku buyar. Emak tiba-tiba mencegatku. Dia tampak terengah-engah mendayung kajang di belakangku.
"Jangan main lagi ke muara tu. Orang-orang sedang bertikai lagi ni. Orang kita membajak perahu-perahu toke tu. Orang kita tak terima toke tu nagih hutang sesuka hati mereka, tapi tak nak pula membayar uang ikan kita. Macam tak tahu, nak dapat ikan sekarang ni susah dapat. Mak dengar, dah ada yang mati dah. Dahlah tu. Jangan ke sana lagi hari ni!" Aku lintuh. Pelan-pelan, aku putar arah perahu kecilku.
Entahlah. Pertanyaan yang tak bisa kucerna hingga kini: kenapa, ya, orang-orang sering bertikai, bahkan saling bunuh hanya karena berebut makanan? Sudah banyak yang kehilangan. Tapi, pertikaian tetap saja bergulir. Pertikain tetap saja mengundang petaka.
Sampai di ujung malam, selepas menombak ikan, aku tidak bisa tidur. Diam-diam, aku lepaskan sauh perahu kecil dan berdayung sendiri ke tengah laut, meski sekelumit ngeri menghantui pikiran. Mungkin dengan begitu aku bisa merasa sedikit lebih tenang. Maafkan aku, Mak. Aku belum setangguh yang kau harapkan. Kian hari, semakin tak terkira risau ini. Semakin dalam geram ini.
***
Kucubit-cubit mendung dalam diri. Kupanggil-panggil hujan
Pada kajang pengkhianatan, restui si lengang ini melang-lang
mengusung tangis di relung tubuh yang amis
?
?
Kepada teripang, pari, kerang, penyu, dan udang, berkali-kali kuceburkan tanya: benarkah kami, Suku Laut yang kian terdesak ini, tak lebih dari sisa-sisa pengkhianatan? Seperti sering beredar dari mulut ke mulut: kami adalah pembangkang yang melawan kebijakan raja-raja. Benarkah Nenek-moyang kami enggan memihak pada raja-raja yang berkuasa sepanjang Johor-Malaka, hingga memilih terusir dan melaut dari pada hidup dalam pertikaian demi pertikaian di bawah hasutan penjajah? Benarkah suku terasing seperti kami sudah ditakdirkan hidup dalam ketidakjelasan; dalam suasana, di mana kawan dan lawan sulit dibedakan?
Tak kutemukan jawab. Langit malam tetap gulita. Hanya beberapa bintang mengintai senyap. Jauh di seberang, di daratan Batam, lampu-lampu mengedip lincah. Hidup seperti apa gerangan yang berkucindan di sana? Resah serupa apa kiranya yang berdesau di sana? Kesiur angin tak membawa kabar apa-apa, kecuali letih yang mulai mencubiti sekujur tubuhku. Segalanya pun perlahan lindap. Gelap.
Aku tersentak ketika semburan air menerpa wajahku. Ternyata, perahu kecilku sudah tertambat di kajang warisan bapak.
Sudah pagi, ternyata. Emak terlihat membersihkan seekor pari di bibir perahu dan mengeringkannya di balai-balai penjemuran.
"Ngapa pergi tak bilang-bilang? Untung Emak bangun, nengok engkau dah tertidur di tengah laut. Kalau ada badai semalam dah habislah tu! Atau, kalau terjumpa dengan toke. Untung betullah orang tu dapat ikan yang lebih besar."
Aku tersenyum kecut. Hening.
"Masih teringat nak ke darat?" Imbuh emak.
Aku tatap mata emak lekat-lekat. Meski letih masih menyisa di tulang punggungku, kucoba berdiri dan mendekat ke tempat emak yang menatapku dengan pandangan aneh.
"Betul tak, bapak masih hidup, ya, Mak?" Tanyaku setelah lama terdiam
Emak menarik nafas panjang. Pandangannya kini mengurung laut lepas. Aku kira, ada deretan cerita di cerlang mata emak. Tapi cerita itu merahasia dan tak terbahasakan.
"Kita coba hidup tak ada bapak, ya, Nak. Walaupun mungkin sekarang ni dia masih hidup. Kita ni hidup tak boleh takut kehilangan,"
"Mak! Aku dah patut tak pergi ke darat sekarang ni? Rasanya, aku dah pandai menjual ikan di pasar kampung macam bapak dulu tu. Atau, kalau Emak nak, kita pergi berdua. Manalah tahu kita berjumpa bapak. ?"
"Emak percaya, engkau bisa sendiri. Tapi, engkau tu perempuan, Madah. Darat tu tak aman buat perempuan macam kau ni. Di sini saja dengan mak!"
Aku cuma diam. Tapi, aku tak berhenti memikirkan darat dan bapak. Mungkin tak akan pernah berhenti.
***
Padang-Pekanbaru, 2006

(Riau Pos, 15 April 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar