Selasa, 05 Oktober 2010

Sumadi Becak
Oleh Gunawan Maryanto


TUKANG becak itu bernama Sumadi. Teman-temannya di kampung memanggil Sumadi Becak. Ia sering mengantar saya ke mana saja. Mangkalnya persis di depan rumah kontrakan saya. Sudah hampir 60 tahun umurnya, tapi kakinya masih cukup perkasa untuk membawamu keliling-keliling kota. Percaya atau tidak, ia pernah membawa saya muter-muter satu hari penuh tanpa berhenti. Kecuali di lampu merah yang dijaga polisi.
Saya mbecak sejak jaman Gestapu, Mas, katanya suatu kali tanpa ditanya. Ia tak pernah ditanya untuk memulai ceritanya. Setiap kali mulai mengayuh, ia akan mulai ceritanya, didengar atau tidak didengar. Baginya, mungkin tak penting benar apa ia didengar atau tidak. Cerita memberi saya cukup tenaga, Mas. Jelasnya, tentu saja tanpa ditanya. Sambil cerita saya tak akan pernah merasa lelah, sejauh apa pun saya mengantar penumpang-penumpang saya. Jika belum pernah membuktikan, tentu saja saya akan menganggap omongan ini sebagai isapan jempol belaka.
Mula-mula saya terganggu dengan ceritanya. Membuat saya jadi tidak bisa menikmati perjalanan, atau mengganggu sesuatu yang tengah saya pikirkan. Saya memilih becak karena biasanya saya merasa nyaman. Saya bisa lebih menikmati perjalanan. Atau saya bisa sibuk dengan pikiran saya tanpa banyak gangguan. Naik becak seperti sedang menaiki kesendirian. Kesendirian yang bergerak pelan melintasi jalan-jalan. Sebab, di Jawa, si Tukang Becak ada di belakang. Bukan di samping atau di depan. Kehadirannya tak mengganggu sama sekali. Seperti tak ada. Tapi, dengan Pak Sum, saya tak bisa merasa sendiri. Saya seperti harus mendengarnya. Menjawab di sana-sini sekadarnya untuk memberi kesan bahwa saya benar-benar tengah mendengarkan. Karenanya, ketika saya merasa tak sanggup untuk berpura-pura lagi, saya bersumpah tak akan naik becaknya. Saya akan pilih becak yang lain, yang tukang becaknya pendiam. Saya akan rela jalan kaki ke halte bus kota yang jaraknya ratusan meter dari rumah saya. Atau saya akan nekad mengorbankan uang makan saya untuk naik taksi. Sebulan penuh saya bisa menjaga sumpah saya seperti seorang satria. Tapi, di suatu hari yang naas, saya terpaksa melanggar sumpah saya. Waktu itu saya terburu-buru hendak ke stasiun untuk menjemput pacar saya dan, sial, hanya becaknya yang nangkring di seberang rumah saya. Becak yang lain entah pergi ke mana. Mereka seperti bersekongkol untuk menggugurkan sumpah saya.
Daripada diputus cinta saya terpaksa memanggilnya. Pak Sum, bisa tolong antar saya ke stasiun?
Penumpang-penumpang saya awalnya juga seperti itu kok, Mas. Ia mulai mengayuh ceritanya. Seperti itu bagaimana, Pak? Dengan sebal saya berusaha tetap ramah. Ia tak segera menjawab. Masih sibuk menyelaraskan laju becaknya. Ya, seperti itu, Mas. Katanya kemudian. Naik becak saya beberapa kali lalu memutuskan untuk tidak naik lagi, tapi kemudian pada saatnya mereka akan naik lagi becak saya. Ia terkekeh. Mungkin ia merasa menang. Saya tak menjawab. Saya tak tahu harus menjawab apa. Saya juga takut jawaban saya akan menambah kemenangannya. Dan semuanya juga tak bisa menjawab ketika saya tanya kenapa naik becak saya lagi. Padahal tinggal bilang terpaksa, Pak Sum. Atau mau bagaimana lagi, tak ada becak yang lain, Pak Sum. Kalau ada, tentu saya akan naik becak yang lain atau kendaraan yang lain. Tapi semua merasa tak enak untuk menjawab seperti itu. Persis seperti Sampeyan. Sial. Kebisuan saya ternyata semakin mengukuhkan kemenangannya. Iya kan, Mas. Cerita saya memang mengganggu. Saya tahu kok. Kebangeten kalau saya sampai tak tahu. Saya yakin pasti semua akan bilang, kalau berani, bahwa saya adalah tukang becak paling cerewet di Jogja. Kalau berani, tentu mereka akan minta saya menghentikan cerita saya. Kalau lebih berani lagi, tentu mereka akan memukul mulut saya. Percaya atau tidak, waktu itu saya benar-benar ingin memukul mulutnya jika saja saya punya sedikit keberanian sebagaimana yang dikatakannya. Saya menyesal setengah mati karena saya telah melanggar sumpah saya sendiri. Kalau keberanian itu berlipat-lipat, tentu Sampeyan bisa membunuh saya. Saya pernah dengar cerita tentang seorang tua yang dibunuh karena cahaya matanya begitu mengganggu. Padahal orang tua itu tak berbuat salah apa-apa. Tak pernah. Satu-satunya kesalahannya adalah sepasang matanya yang berwarna hijau.
Tubuh saya gemetar menahan amarah. Saya benar-benar menyesal. Harusnya saya tidak terlalu malas untuk jalan barang seratus-dua ratus meter untuk menemukan becak yang lain. Harusnya saya tak takut pada kemarahan pacar saya karena saya datang terlambat menjemputnya. Dengan sedikit penjelasan, atau banyak, ia pasti akan memahami keterlambatan saya. Saya akan bilang bahwa aku kena musibah. Dan, di zaman yang makin tidak karuan ini, musibah itu bisa berwujud sebagai Sumadi, seorang tukang becak tua yang saban hari mangkal di seberang rumah kontrakanku.
Stasiun menyelamatkan saya dari kekalahan yang makin parah. Kekalahan yang bisa saja berujung pada tindakan yang tak sepantasnya. Pemukulan, misalnya. Setelah membayar, tanpa melihat matanya (karena saya yakin bola matanya berwarna hijau) dan tanpa mengucapkan terima kasih (karena lebih baik saya mengucapkan sumpah), saya segera menghilangkan diri ke dalam stasiun. Di sana, di kursi tunggu, saya mengucapkan sumpah saya lagi. Dengan lebih keras. Seperti Sumpah Palapa. Mungkin lebih pas saya namai Sumpah Stasiun Tugu, merujuk pada tempat di mana saya mengucapkan sumpah. Saya bersumpah, sekali lagi, tidak akan sekali-kali naik becak Pak Sumadi. Jika saya melanggar sumpah saya, maka…, belum selesai saya menentukan hukuman bagi diri saya, kereta yang mengangkut pacar saya datang. Kedatangannya membuat saya lupa segalanya.
Tapi, seperti sudah digariskan, saya kembali naik becak Sumadi. Setelah berhari-hari bisa mendapatkan pinjaman motor dari seorang teman untuk mengajak pacar saya muter-muter keliling Jogja, saya harus kembali naik becak keparat itu. Di hari terakhir liburan pacar saya, motor teman itu harus saya kembalikan. Padahal saya masih membutuhkannya sekali lagi saja: mengantar pacar ke stasiun. Terpaksa kami harus naik becak. Sialnya, tak ada becak lain yang nongkrong di depan rumah selain becak terkutuk itu. Jam sudah semakin mepet menuju saat keberangkatan kereta. Tak ada tanda-tanda becak lain akan melintas atau parkir di depan rumah. Ada memang melintas beberapa becak, tapi semuanya berpenumpang. Mau tidak mau saya putuskan untuk menelepon taksi. Tapi ternyata pacar saya telah janjian dengan Pak Sumadi. Tidak usah panggil taksi, katanya sambil tersenyum. Aku sudah pesen becak Pak Sum tadi. Aku mencoba tersenyum. Tanpa bercermin pun saya tahu senyuman saya pasti jelek sekali waktu itu. Senyum kekalahan. Orangnya baik banget. Tadi kenalan waktu aku nyari rokok di warung seberang. Ia juga titip salam buat kamu. Salam kemenangan pastinya.
Orang tidak bisa menghindar dari takdir, Mas, Mbak. Becaknya mulai melaju menuju stasiun. Sekuat apa pun ia menolak, nasib sudah digariskan. Garis yang tipis. Tapi tak ada siapa pun yang bisa membelokkannya. Apalagi menghapusnya. Pacar saya tersenyum-senyum mendengar omongan Pak Sumadi. Tampaknya dia suka mendengarnya. Iya ya, Pak. Saya juga sering mengalaminya. Bagai bensin yang dilempar puntung rokok yang belum padam, cerita Pak Sumadi menyala dengan cepat. Membakar saya. Bener, Mbak. Seperti saya dan becak. Tidak sekali dua kali saya berhenti mbecak. Berusaha mencari kerja lain. Tapi selalu saya kembali lagi ke sadel ini. Entah kenapa. Kaki saya seperti berjodoh dengan pedal ini. Bagaimana ya, Mas, Mbak, ada semacam rasa lega yang muncul di dalam hati saya setiap saya selesai mengantar penumpang. Pak Sumadi terkekeh. Menertawakan takdirnya.
Wah berarti bapak ditakdirkan sebagai tukang becak, seru pacar saya. Bener, Mbak. Sampeyan bener. Itulah salah satu takdir saya. Ada takdir lain yang harus saya jalani juga selain menjadi tukang becak. Misalnya, saya harus kehilangan anak dan istri saya. Pacar saya seperti menyesal dengan seruannya yang membuat Pak Sumadi harus sampai pada cerita tentang anak dan istrinya. Ia menyimpan senyumnya. Maaf ya, Pak. Pak Sumadi malah terkekeh lagi. Takdir, Mbak. Tak ada yang perlu dimaafkan. Saya lega lila seperti saya sedang mengayuh becak saya sekarang ini. Pak Sumadi terkekeh lagi seolah membuktikan bahwa cerita sedih itu telah dikayuhnya dengan ikhlas.
Kisah saya belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang harus dialami oleh Oidipus di Yunani. Dia sudah lari jauh-jauh dari takdir yang menurutnya sangat mengerikan. Pacar saya kembali bergairah dengan ceritanya. Mengerikan bagaimana, Pak? Pak Sumadi menarik nafas. Bukan untuk bersiap menghadapi jalan yang mulai menanjak. Tapi bersiap untuk mendorong sebuah cerita yang baru lagi ke tempat yang lebih tinggi.
Mengerikan, Mbak, Mas. Dia itu ditakdirkan membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Coba bayangkan. Ditakdirkan pula untuk terus mengelana menjadi seseorang gembel yang hina sampai ia menemukan tempat kematiannya. Sewaktu mendengar takdir itu dibacakan, dia langsung berusaha menghindarinya. Dia pergi lari dari rumah. Sejauh-jauhnya. Supaya dia tidak bisa membunuh bapaknya dan kawin dengan ibunya. Tapi justru dia sedang menghampiri takdirnya. Di tengah jalan, dia bersitegang dengan seseorang. Terjadi keributan dan dia terpaksa membunuh orang tersebut. Dan orang tersebut ternyata adalah ayah kandungnya. Laius yang membuang bayinya karena tahu bayinya kelak akan membunuhnya. Keduanya mau tidak mau harus bertemu untuk menjalani takdirnya siang itu. Pacar saya berdecak kagum. Wah, dari mana Bapak dapat cerita itu? Pak Sumadi kembali terkekeh. Jelek-jelek saya dulu sempat main teater, Mbak. Di tahun tujuh puluhan.
Pacar saya tampak semakin kagum. Saya tidak. Saya merasa kehilangan momen perpisahan yang mungkin layak untuk dikenang sepanjang hidup saya. Jika kami naik becak yang lain, kendaraan yang lain, atau motor pinjaman dari teman saya, mungkin kami akan mengisi perjalanan ke stasiun itu dengan percakapan lain. Tentang masa depan hubungan kami, misalnya. Atau tentang kejadian yang menyenangkan sepanjang masa liburannya yang baru saja berlalu. Mungkin saya akan banyak menggodanya sehingga ia semakin berat meninggalkan kota ini.
Saya tahu Sampeyan merasa terganggu dengan cerita saya. Sampeyan juga sudah bersumpah untuk tidak naik becak saya lagi, kata Pak Sumadi dalam perjalanan pulang. Pacar saya, tanpa izin saya tentu saja, telah mencarternya sekalian untuk membawa tubuh saya pulang ke rumah. Terima kasih, Sayang. Saya juga punya sumpah, Mas. Sudah berkali-kali pula sumpah ini saya ucapkan keras-keras dalam hati saya. Mau dengar sumpah saya? Saya bersumpah tak akan membawa tubuh Sampeyan ke mana pun dengan becak saya. Terus terang saya tak suka bokong Sampeyan mengotori jok becak saya. Saya tidak tahu kenapa. Saya hanya tidak suka dengan bokong Sampeyan. Rasa-rasanya bokong Sampeyan itu nongkrong di hidung saya. Jujur saja, saya langsung pengen muntah kalau melihat Sampeyan berjalan menuju becak saya. Sumadi terus mengayuh becaknya. Ceritanya juga terus mengalir sepanjang jalan. Anehnya, berkali- kali saya mesti mengecek perasaan, saya tidak terganggu atau marah dengan ceritanya. Saya malah ingin mendengar ceritanya lebih jauh lagi. Saya mulai tak percaya dengan perasaan saya.
Pacar Sampeyan cantik sekali, Mas. Saya suka mengamatinya diam-diam seminggu ini. Melihatnya berjalan keluar dari rumah Sampeyan untuk membeli rokok di warung. Tubuhnya kencang seperti kuda. Saya suka mengamati otot-ototnya yang liat kalau kebetulan pacar Sampeyan pakai baju u can see. Saya bisa bayangkan Sampeyan pasti kewalahan kalau menaikinya. Bokong Sampeyan, tubuh Sampeyan terlalu lembek untuk menghadapinya. Tiap malam saya juga sering membayangkan saya menggantikan posisi Sampeyan.
Saya tersenyum-senyum saja. Baru kali itu sebenarnya saya benar-benar mendengar ceritanya. (*)
Jogjakarta, 2010
(Koran Tempo, 26 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar