Senin, 18 Oktober 2010

Di Tepi Pintu Neraka
Oleh Rachmat Budi M


JELEK sekali wajah perempuan ini! Dia tidak pernah mengenal musim bunga usia. Dia hanya tahu masa layu dan keringnya bunga. Air matanya selalu menetes bagai gerimis dan kegembiraannya telah rontok dari hatinya bagai daun kering di ranting yang meranggas. Tak pernah merasakan cinta yang tumbuh segar. Jasmaninya tandus, dingin, dan membeku. Sungguh dia bagaikan sebuah pulau kesedihan di samudra perwujudan seorang perempuan. Demikianlah dia menjalani kehidupannya selama ini. Tidak pernah ada seorang lelaki pun yang mau memeluk pinggangnya. Dan, tdak ada yang pernah dikenal oleh bibirnya selain shalawat ke arah langit yang membisu dan ratapan terhadap takdir yang tidak menaruh belas.
Pada malam itu, berembus angin limbubu dan berembus juga angin pusaran yang kencang, bukan di luar rumah tinggalnya, tapi di dalam dirinya sendiri. Lalu, berteriaklah dia. Teriakan yang menggetarkan sendi-sendi yang tampak tak berbentuk itu.
“Hai, setan, hanya engkaulah kini tumpuan harapanku!”
Ia diam seketika. Kata-katanya meredup. Tiba-tiba terkuaklah dinding. Muncullah setan di depannya sebagaimana dahulu pernah muncul di dalam cerita Faust. Memang, setan tidak akan pernah menutup telinga terhadap permintaan kepadanya. Berkatalah ia kepada perempuan itu, “Apa yang kau inginkan, wahai, perempuan?”
“Kecantikan, hidup, dan kekayaan!” Perempuan itu mengucapkan kata ini seperti orang mengucapkan air di tengah kegersangan padang pasir. Dahaga!
Setan menjawab dengan penuh gairah, “Tahukah kamu berapa harga semua itu? Seharga roh kamu. Roh itu akan kubawa ke neraka jahanam. Itu tugasku di dunia ini. Mengumpulkan roh-roh yang akan menjadi warga kerajaanku, Jahanam. Pada akhirnya, kita akan mengetahui siapakah yang akan beruntung dapat mengumpulkan jumlah yang besar. Aku yang bersemayam di takhta Jahanam atau dia yang duduk di Arsy firdaus itu.”
“Berilah aku kekayaan di bumi selama sepuluh tahun, kemudian bawalah aku ke mana kau suka. Aku tidak takut kepada Jahanam karena sekarang pun aku sendiri berada dalam keadaan seperti di jahanam itu!”
“Nah, kita sudah cocok. Kamu akan memiliki apa yang kau minta selama sepuluh tahun. Sesudah itu, kamu menjadi milikku,” jawab setan tersenyum.

***

Akad telah disepakati. Perjanjian sudah ditandatangani. Dengan kemampuannya, setan memoles bentuk jasmaniah perempuan itu. Tubuhnya yang jelek segera berubah menjadi elok menggiurkan siapa pun yang memandang.
Lalu, setan mengajak becermin. Perempuan itu menatap dirinya. Kecantikan yang sedang memancarkan cahaya dari tubuhnya itu bagai lilin yang menyinari sekitar. Bahkan, dia terkagum-kagum akan keelokan dan kemontokannya. Kecantikan ini adalah miliknya sendiri. Perubahan itu membuat dia sekarang berada di bawah naungan pokok kehidupan yang rindang dan jasmaninya terendam dalam genangan laut kelezatan.
Kini, dia telah dihanyutkan oleh arus masa ke tahun yang kesepuluh. Materinya padat berkarung-karung. Dia merasa puas dan cukup dengan persediaan kebendaan yang berlimpah-limpah itu.
Datanglah setan kepada perempuan itu. Tangannya membawa surat perjanjian. Dia mengingatkan perempuan itu bahwa telah dekat berakhirnya jangka waktu yang telah diperjanjikan dahulu.
Berkatalah perempuan itu kepada setan, “Ya, aku ingat. Aku tidak akan lupa, tapi….”
“Tapi, bagaimana?”
“Ada lagi satu kekayaan yang membuat aku merasa haus sekali ingin memilikinya.”
“Ada lagi satu kekayaan yang belum kamu nikmati?”
“Ya, kekayaan roh!”
“Apa maksud kamu?”
“Aku harus diizinkan memiliki kekayaan itu sesuai dengan perjanjian kita. Bukankah kamu telah menjanjikan bahwa kamu akan memberikan semua kekayaan dalam masa sepuluh tahun. Di depanku masih ada kesempatan waktu dua bulan lagi sebelum berakhir masa berlakunya perjanjian kita. Jasmaniku sudah kenyang dengan semua kekayaan kebendaan. Kini, aku benar-benar dahaga dengan kekayaan roh. Berilah aku kekayaan roh itu dalam dua bulan ini. Kemudian, bawalah rohku ke neraka Jahanam.”
“Oh, boleh saja. Kamu dapat memperoleh yang kamu inginkan itu. Hm, seperti kamu lihat, aku bisa dipercaya dalam melaksanakan perjanjian.” Setan pun menghilang.
Tinggallah perempuan itu sendirian. Lantas, perempuan itu bangkit dan meninggalkan gelang intannya, menyingkirkan emas dan mutiara-mutiaranya. Segeralah dipakainya pakaian putih sederhana sebagai pakaian ihram. Ia pergi melakukan segala ibadah suci. Tenggelamlah perempuan itu dalam laku jiwa yang agung jernih berkilau. Dia bertekad mengamalkan semua harta kepada si yatim, janda, si miskin, dan ingin berteduh dalam kenikmatan kehidupan yang bernilai luhur dan suci.

***

Kini, hari berakhirnya masa perjanjian. Setan datang dengan tuntutan perjanjian. Tapi, tiba-tiba dikejutkan dengan nur keelokan rupa perempuan itu. Kecantikan yang membungkus dirinya itu bukan kecantikan yang bercahaya seperti lilin yang terbakar.
Tapi, kecantikan yang berupa kemuliaan, kelembutan, dan menunjukkan kebeningan sumbernya. Setan sungguh terpesona. Dengan rasa segan, didekatinya perempuan itu.
“Tibalah sudah waktunya. Mari, bersamaku ke Jahanam.”
“Ya, ayolah.”
Perempuan itu mengucapkan kalimat tersebut dengan penuh kepatuhan dan kejujuran. Tidak ada sesal dalam tutur katanya dan juga dalam hati sanubarinya. Berjalanlah setan diikuti oleh perempuan itu sampai keduanya di pintu Jahanam. Penjaga pintu Jahanam membukakan gerbangnya. Udara panas menyengat dari hawa jilatan api neraka, terasa mengiris kulit hingga mendidihkan sumsum di rongga tulang. Perempuan itu mengikuti setan mendekati bibir neraka. Tiba-tiba, bertiuplah angin yang sangat kencang dari dalam Jahanam yang diikuti oleh gejolaknya lidah api neraka itu. Merangkaklah ketakutan dalam hati Zabaniah.
Setan pun merasa kecut dan gemetar. Dia berteriak dan teriakannya diikuti oleh seluruh warga neraka, “Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?”
Seketika itu terulurlah tangan malaikat penjaga surga. Tangan-tangan itu menyambar si perempuan. Malaikat itu melengking berteriak pula, “Perempuan itu untuk kami!”
Setan segera menyahut lantang, “Tidak! Dia untukku. Rohnya untukku sesuai perjanjian kami. Coba kau lihat surat perjanjian ini!”
“Kami tidak peduli dengan perjanjian-perjanjian. Kami hanya menilai kualitas roh. Rohnya adalah roh warga surga.”
“Tidak! Itu roh neraka. Dia telah membinasakan dirinya dan berbuat sebagai warga neraka selama sepuluh tahun.”
“Tapi, ke dalam rohnya itu telah tertiup angin surga selama dua bulan terakhir ini. Angin yang telah kau saksikan sendiri sebagai syir illahi yang tidak tertandingi oleh gejolak nerakamu. Bukankah apimu telah pudar oleh embusan angin surga di depan matamu sendiri?”
“Wah, kalau begitu, aku telah ditipu oleh perempuan itu!”
Perempuan yang telah berada di genggaman tangan malaikat itu segera menjawab, “Aku tidak menipu kamu setan. Aku menepati janjiku. Seretlah aku ke dalam Jahanam. Malaikat, lepaskan aku. Aku hendak pergi ke neraka. Aku dahulu telah berjanji. Maka, akan menjadi mulia dan terpandanglah aku bila aku menepati janjiku dan tidak mangkir walau dengan setan sekalipun.”
“Nah, tuan telah mendengar itu! Dia untukku. Biarkan mereka berurusan denganku,” setan menyahut.
Namun, malaikat itu terus mendorong perempuan itu ke dalam surga. “Tidak bisa!”
“Oh, tuan licik! Ia telah mengaku di hadapanmu bahwa dia untukku. Ini alasanku untuk menuntut. Ia menyetujui perjanjian. Ia sendiri yang telah menetapkan bahwa rohnya untukku.”
“Benar, tapi rohnya yang dulu. Sekarang, di manakah rohnya yang dulu itu? Rohnya yang dulu telah diberikan kepadamu. Carilah sekarang roh itu. Rohnya yang sekarang untuk kami. Mari bersama kami, perempuan suci.”
Dengan kerendahan hati perempuan itu menjawab, “Aku menganggap suatu kejahatan apabila aku harus mengingkari janjiku sendiri. Biarkanlah aku menghadap Tuhan dan memohon ampunan untuk dosaku yang dulu.”
“Tidak ada dosa lagi. Ia telah larut dalam cahaya kesucianmu yang datang kemudian.”
“Kalau demikian, janganlah tuan-tuan menyulitkan keadaanku dengan berbuat dosa yang baru. Janjiku kepada setan ini harus ditepati tanpa harus diulur-ulur lagi.”
“Tidak usah menghiraukan itu lagi, wahai, perempuan suci. Mari bersama kami. Mari.”
Segera setan berteriak dengan geramnya, “Aneh! Seorang perempuan baik-baik yang menghargai kata-katanya akan tuan-tuan jerumuskan ke lembah kehinaan pribadi!”
Malaikat menjawab, “Kau mengakui dia sebagai orang baik-baik. Nah, di manakah tempat orang baik-baik? Di neraka atau di surga?”
Sampai di sini, setan merasa terpentok logikanya. Maka, mengeluhlah ia. “Celaka tuan-tuan, celaka! Ambillah perempuan itu dan biarkan aku semauku. Itu kan hanya roh seorang perempuan. Tak lebih dari satu orang perempuan. Biarkan dia masuk surga. Tapi, aku tidak mungkin melupakan bahwa dia telah menipuku. Dia menipuku pada hari dia menamakan keutamaan sebagai harta kekayaan.”
(Republika, 17 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar