Senin, 20 September 2010

Mun
Oleh Dhea A Sujana

Aku harus menuliskan cerita ini, Mun. Tapi bukan untukmu. Kau tahu sebabnya, Mun. Ah, jangan-jangan kau sudah lupa. Baiklah, aku ulang lagi perkataan itu untuk menyegarkan ingatanmu. Mun, kisah tentang seseorang bukanlah untuk orang itu. Kisah itu lahir dan hidup di dalam peradaban untuk orang lain yang belum tentu kenal dengan orang yang menjadi pokok cerita.
Kini, aku duduk menghadap layar komputer—sambil sesekali mengisap rokok—untuk menulis cerita tentang dirimu. Apakah kau boleh marah setelah membaca cerita ini? Tentu boleh, Mun. Itu sepenuhnya menjadi hakmu. Tetapi, aku sudah bilang di awal, cerita yang kulahirkan ini bukan untukmu. Jadi, sepatutnya, kau memang tak perlu marah.
Persoalannya, bisakah kau marah kepadaku hanya karena cerita ini, setelah segala macam dentuman berulang kali pernah kita rasakan bersama di masa lalu?
Mun, baru-baru ini kudengar seorang presiden marah karena disamakan atau lebih tepatnya dianalogikan (sebab tak ada yang benar-benar sama kan, Mun?) dengan seekor kerbau. Ahai, mungkin dia belum pernah seperti kita ya, Mun. Kau ingat, alangkah kita sangat berbahagia ketika diibaratkan seekor anjing (buduk pula!).
Saat itu, kita malah tertawa. Ya, kita terbahak-bahak saat dikatakan mirip anjing buduk. Justru sangat baik dibilang seperti anjing, katamu saat itu. Anjing itu binatang yang setia kepada tuannya.
"Tapi siapa tuan kita?"
Kau terdiam menyambut selorohku itu. Sampai kini, aku masih menyesal dengan seloroh yang menyebabkan kita sama-sama menghentikan kata-kata bermuncratan dari mulut. Kalau saja tak ada seloroh itu, mungkin kita bisa lebih cepat tertawa. Namun, dasar masing-masing kita seolah punya mulut lebih dari satu dan otak yang liar ke sana-sini, maka pecahlah diam itu.
"Tuan kita, ya...diri sendiri. Tuanmu ya kamulah. Tuanku ya aku sendiri."
"Berarti, kita setengah anjing, setengah manusia, Mun?"
"Bolehlah kalau begitu. Kita memang setia kepada yang setengah-setengah!"
Lalu kita tertawa keras sekali. Setia kepada yang setengah-setengah? Ah, dari mana kau dapat frase itu, Mun!
Aku senang, Mun, sebab kita selalu tahu cara bikin hati jadi gembira. Kerap tak perlu uang untuk itu. Modal kita hanya pikiran-pikiran liar dan celotehan spontan. Entah apa kau bahagia dengan hal yang kukatakan ini.
Tapi aku ingat, kau senang ketika kita berhasil meminjam motor Joyok dengan berbohong kepadanya. "Mau nengok Lili yang diopname," alasanmu kepada Joyok yang tak berapa lama memberikan kunci motornya.
Joyok sebenarnya baik dan tidak pelit, tetapi karena kita sudah terlalu sering meminjam motornya hanya untuk keliling tanpa tujuan, kemudian menggeletakkan motor itu tanpa bensin di tangkinya, maka Joyok menjadi malas meminjamkan motor kepada kita. Untuk itulah kebohongan harus diucapkan; dusta harus diembuskan kepada Joyok agar luluh hatinya.
Lalu kita putar-putar kota. Keliling tanpa arah, hanya mengikuti jalan beraspal. Dan...Masya Allah! Ada operasi polisi lalu-lintas di dekat Pesantren Al Huda. Kita tak bisa mengelak. Untuk mundur sudah terlalu sulit karena kerumunan polisi itu telah melihat kita. Malah seorang di antara mereka menghidupkan motor, kemudian menghampiri kita yang tiba-tiba berhenti.
"Selamat sore," ucap polisi itu setelah berdiri di samping kita yang sedang gugup. "Bisa lihat surat-suratnya."
Karena aku yang tepat berada di belakang setang motor, maka akulah yang harus mengeluarkan surat-surat itu. Aku mengambil dompet, membuka-bukanya; entah untuk mencari apa. SIM aku tak punya. STNK pun tiada karena sebelumnya kita lupa memintanya kepada Joyok. (Oh, kenapa kita begitu pandai membohongi Joyok untuk mendapat pinjaman motor sekaligus pandir karena tak meminjam pula STNK motor itu.)
Aku keluarkan amplop warna ungu dari dompetku. Kemudian menatap mata si polisi sambil memegang amplop yang berisi surat cinta dari mantan pacarku itu. Tentu saja bukan surat itu yang dimaksud si polisi. Tapi, sumpah, Mun, saat itu aku tak tahu harus mengeluarkan surat-surat apa. Melihat tingkahku, aku yakin kau ingin tertawa kalau saja tak ada polisi di depan kita. Dan kau memang ingin tertawa, namun menahannya—mungkin agar si polisi tak sakit hati.
"Operasi apa, Pak?" Kau memberanikan diri bertanya kepada si polisi.
"Ada motor hilang. Baru dicuri dari daerah kampus," jawab si polisi dengan muka serius. "Mana surat-suratnya?"
Aduh, kenapa pertanyaan itu muncul lagi.
"Ini motor pinjeman, Pak. Kami mau menengok teman yang sakit. Tadi buru-buru. Jadi lupa bawa surat-suratnya. Gimana, Pak?"
Mun, kau sigap sekali saat itu. Lincah sekali lidahmu bersilat.
Polisi itu terdiam mendengar penjelasanmu. Namun, matanya melihat-lihat pelat nomor motor yang kita naiki. Mungkin dia memeriksa keaslian pelat itu.
"Ini motor Joyok, Pak. Teman saya dari Jombang," ucapku. "Pelat Jombang memang W kan, Pak?"
Polisi itu tetap terdiam. Kulanjutkan cerita tentang Joyok kepada dirinya. Aku katakan bahwa Joyok itu anak yang baik, keluarganya adalah petani melon di Jombang yang rajin ikut istigasah dan ia selalu tak lupa salat lima waktu. Tetapi, Mun, mengapa saat aku berbicara kepada polisi itu, tanganmu malah menyolek pinggangku berulang kali? Apa ada yang salah dengan ceritaku?
"Ya sudah. Kalian balik saja. Jangan terus," kata polisi itu setelah menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mun, mungkinkah polisi itu terkesima dengan ceritaku hingga dia berperilaku demikian? Nanti, kalau kita bertemu dia lagi, sebaiknya kita tanyakan hal itu kepadanya. Tapi, Mun, apa kau masih ingat wajahnya? Aku sih sudah lupa.
***
Aku tulis cerita ini, Mun, untuk mengingatmu, tetapi bukan untukmu. Cerita ini untuk orang-orang yang mungkin belum pernah mengenal dirimu. Aku mengarang kisah ini, Mun, agar mereka tahu bahwa kita selalu punya cara bikin hati jadi senang, termasuk ketika kesedihan menerjang. Seperti peristiwa di pinggir jalan itu, ketika kita duduk di warung Cak Gondrong.
Malam itu pekat, Mun. Seolah dua gelas kopi yang sedang duduk santai berhadap-hadapan dengan kita telah melunturkan warnanya kepada malam. Tetapi kita tak marah kepada kopi yang membuat malam kian suram secara meyakinkan. Sebab kita kembali memesannya kepada Cak Gondrong kalau isi gelas di depan kita tinggal ampas.
Aku sangat masygul ketika kau buka suara hanya untuk mengantarkan kesedihan yang disebabkan oleh gadis dari Kota S itu kepadaku. Seolah kau mengkhianati kegembiraan yang selalu kita ciptakan sebelumnya. Kau bercerita bahwa kau kecewa karena gadis itu akhirnya memilih lelaki lain hanya karena ibunya selalu melihat lelaki itu dalam mimpi.
"Bagaimana kalau setan yang datang ke mimpi ibunya?"
Kau tak menjawab pertanyaanku. Tanganmu malah asyik menggoyang gelas yang menyebabkan air pekat di dalamnya serupa pikiranmu; menari-nari tak tentu gerak. Jujur saja, saat itu aku kuatir kau akan membantingnya.
"Kalau benar-benar setan yang ada di mimpi si ibu itu, berarti kamu yang menang, Mun."
"Kok bisa?" (Eh, kamu tergoda juga menyahuti ucapanku)
"Ya, soalnya cewek itu sudah ikut ke jalan yang sesat. Setan kan sudah berjanji menyesatkan manusia, Mun," jawabku santai.
"Sialan."
Aku tertawa kecil. Kau pun tersenyum. Tapi pasti hatimu belum gembira. Maka aku berjanji untuk menunjukkan jalan kegembiraan kepadamu.
"Kita harus balas dendam kepada cewek itu, Mun."
"Hah! Buat apa?"
"Biar dia kapok karena sudah melukai hatimu," jawabku.
Aku tak menoleh sama sekali ke arahmu. Padahal, aku mengintip lewat sudut mataku, kau tengah memandangku lekat-lekat. Aku tahu kau tak sabar ingin mendengar rencanaku. Asal kau tahu saja, Mun, aku berekspresi macam itu agar hatimu penasaran dan jantungmu kian berdegup kencang.
"Ayo, kasih tahu. Gimana cara balas dendamnya?"
Nah, kau penasaran kan? Bahkan sampai dua hari sejak obrolan malam itu, kau tetap bertanya perihal yang sama kepadaku. Tapi aku tetap tak menjawab. Itulah caraku, Mun, mengalihkan kesedihanmu menjadi rasa penasaran tak tentu.
Beberapa hari kemudian, kau datang membawakan senyuman untukku. Rupanya kau baru saja mendengar bahwa aku telah membalaskan dendammu kepada gadis itu. "Dasar gendeng!" Katamu sambil memukul bahuku.
Ya, Mun. Cinta memang harus gila. Aku memang membaca puisi bikinanku ketika si gadis sedang berada di rumah indekosnya. Kalau kau bersamaku saat itu, Mun, kau akan melihat teman-teman indekos si gadis berkumpul di beranda rumah dengan roman muka riang gembira menyaksikan aku membaca puisi berjudul Les Gratis untuk Temanku, yang bait pertamanya berbunyi:
Terimakasih, telah kau perkenalkan temanku kepada cinta
Malam itu, kami duduk bermuka-muka dan temanku telah
Mengubah kesedihan menjadi kata-kata.
Oh, wanita! Ternyata kau pun membawakan temanku secawan duka
Cinta yang kau ajarkan kepada temanku memang gratis adanya
Tetapi, aku harus membayarkan bergelas-gelas kopi untuknya
Oh, wanita! Kesedihan temanku merajalela
Dan kini kantongku makin tipis karenanya
Itulah Mun, caraku membalas penolakan si gadis terhadap cintamu. Itulah caraku yang telah membuat teman-teman indekos si gadis bertepuk tangan sebagai tanda bahwa aku tak mempermalukan dirinya. Mun, aku bukan Tuhan yang pernah mengirimkan banjir sebagai hukuman kepada umat Nabi Nuh. Dan, karena aku bukan ibu si gadis, bagaimana mungkin aku membalaskan dendammu dengan mengutuknya menjadi batu?
***
Setelah kubaca lagi cerita ini dari awal, Mun, aku sadar bahwa kisah ini bukanlah lagi semata-mata tentang dirimu. Inilah cerita tentang kita yang dulu selalu tak lelah mencari cara agar gembira.
Namun apakah kini kita telah bertemu dengan gembira? Aku tak tahu, Mun. Mungkin pertanyaan itu lain kali mampu kujawab dengan cerita. Untuk itu, kita harus bertemu, Mun. ***
Seputaran Pasar Cendrawasih, 1 Maret 2010

(Lampung Post Edisi 18 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar