Jumat, 17 September 2010

Lindu
Oleh Zainal Arifin Thoha


SUDAH hampir sebulan ini, burung gagak berkaok-kaok mengitari daerah kami, terutama di malam hari. Konon, kata para sesepuh, bila burung gagak berkaok-kaok di malam hari, seperti itu, adalah pertanda akan ada kematian. Tetapi, fenomena burung gagak itu tak hanya terjadi di daerah kami saja, melainkan di daerah lain, menurut kawan saya, juga acap terdengar.

Bagi kami, antara percaya dan tidak dengan pertanda alam itu, merupakan hal lumrah, lantaran antara kami dengan generasi masa lalu terpaut jauh dalam hal keyakinan ataupun ilmu titen.

Tapi nyatanya, Mbah Imam, sesepuh masjid yang juga abdi dalem keraton menangkap isyarat lain. Itu sebabnya, hampir saban hari ia membaca Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani. Ketika saya tanyakan kepadanya, untuk apa membaca Manaqib seperti itu, Mbah Imam menjawab untuk keselamatan. Bagi siapa? Ya, bagi diri sendiri, keluarga, para tetangga, serta masyarakat pada umumnya.

Nah, ketika Lindu terjadi di hari Sabtu pagi itu, saya teringat dengan aktivitas yang dilakukan Mbah Imam. Bagaimana kabar beliau? Sebab yang saya lihat dari berita televisi, rumah-rumah di daerah Mbah Imam telah luluh lantak, bahkan beberapa orang menjadi korban dari bencana itu.

Saya sendiri, bersama keluarga, sehari sebelum lindu atau gempa itu terjadi, telah pergi ke Jawa Timur, selain untuk suatu acara juga kangen dengan orang tua. Maka demi mendengar Yogya digoyang gempa, kami segera balik. Sesampainya di Yogya, saya segera meluncur ke rumah Mbah Imam. Namun, yang saya dapati hanya rumah beliau yang utuh, sedangkan Mbah Imam sendiri menurut informasi yang saya dapatkan dari tetangganya, tengah pergi ke rumahnya yang berada di gunung daerah barat.

Sepanjang perjalanan menuju dan balik dari rumah Mbah Imam, saya menyaksikan rumah-rumah yang berobohan, hanya tinggal puing-puing. Begitu pula, saya dapati, keluarga-keluarga yang hidup di tenda-tenda darurat. Pada saat seperti itulah, teringat dengan apa yang disampaikan seorang kiai muda yang saya temui di Kediri saat bencana Yogya terjadi.

”Bencana itu memang tak bisa dihindarkan,” ucapnya.

”Mengapa,?”

”Ya, karena memang sudah saatnya, dan semuanya itu ada hubungannya dengan ulah manusia sendiri.”

”Maksudnya?”

”Alam sudah tak lagi sabar menyaksikan tingkah polah manusia.”

”Mengapa yang banyak menjadi korban rakyat kecil?”

”Para korban itu, sebenarnya justru diselamatkan, utamanya dari bencana yang lebih besar.”

”Maksud bencana yang lebih besar?”

”Saya sendiri tidak begitu tahu. Menurut guru saya, kurang lebih sebulan sebelum bencana itu terjadi, beliau ditemui Nyai Roro Kidul yang mengabarkan akan datangnya lindu yang akan banyak menelan korban.”

”Lantas, mengapa...” Saya belum sempat menyelesaikan kalimat.

”Iya, sebenarnya guru saya telah mencoba berunding dan juga berdoa kepada Tuhan, namun lindu itu memang sudah waktunya terjadi, tak bisa dielakkan. Bahkan, kata beliau, bencana akan terus terjadi hingga tahun 2010, di mana-mana di negeri ini”
”Terus,” saya bertambah penasaran.

”Menurut saya sendiri, yang dimaksud bencana lebih besar itu, tidak lain adalah bencana akidah, bencana moral, bencana iman. Mereka, para korban itu, telah diselamatkan Allah dari bencana yang jauh lebih berbahaya. Sebab rusaknya iman, rusaknya moral, jauh lebih berbahaya dari bencana.”

Ya, apa yang disampaikan kiai muda yang saya temui di Kediri itu masih terus terngiang, terbayang-bayang, hingga saya sampai di rumah kembali. Kepada istri, saya sampaikan bahwa Mbah Imam tak berhasil saya temui.

Anehnya, sore tatkala saya masih tertidur kecapekan, Mbah Imam telah hadir di rumah kami.

”Bukankah Mbah Imam pergi ke gunung di barat?” tanya saya pada beliau.

”Benar, saya memang nyambangi keluarga dan saudara saya di sana.”

”Lantas, kok sekarang sudah di sini lagi?”

”Kata tetangga saya, Sampean da-tang ke rumah saya.”

Mbah Imam terlihat tenang-tenang saja. Tapi justru itulah yang makin membuat saya penasaran kepadanya. Sebab tidak hanya sekali ini perilaku dan tindakan Mbah Imam terasa nyeleneh di mata saya. Setahu saya, daerah gunung barat sangat jauh dari sini, diperlukan waktu kurang lebih seharian untuk perjalanan.

”Menurut Panjenengan, apa sebenarnya penyebab semuanya ini, Mbah?” saya memancing hikmah dari beliau.

”Ya, seperti yang pernah saya sampaikan sejak dulu itu, bahwa apa pun bencana yang terjadi menimpa manusia, itu disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.”

”Tapi, kan banyak yang tak berdoa terkena bencana itu?”

”Bencana itu, mengandung di dalamnya teguran dan peringatan. Dan menjadi hak Allah untuk mengambil orang ini dan orang itu, yang kita sebut sebagai korban. Tapi intinya, terhadap bencana, seperti lindu besar itu, kita musti pandai-pandai mengambil hikmah”
”Terus, apa yang musti kami lakukan, Mbah?”

”Kalau kita masih dilindungi oleh Allah, itu berarti kita diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Jangan sampai kita berbangga, bahwa kita yang diselamatkan berarti kita tak memiliki banyak dosa. Tidak begitu. Sebaliknya, kita musti lebih banyak introspeksi, memperbaiki diri dan menambah rasa peduli terhadap sesama. Jangan sampai kita bertambah egois dan mementingkan diri sendiri. Sebab nyata-nyata hanya Allah yang paling berkuasa. Kita, manusia ini, bergelimang dosa dan tak memiliki kekuatan apa-apa, kecuali kekuatan yang telah diberikan oleh Allah Swt.”

Tidak seperti biasanya, sore itu Mbah Imam sepertinya terburu-buru. Saya tak habis mengerti, orang setua beliau ternyata memiliki kepedulian yang tinggi. Sewaktu pamit dari rumah saya, beliau bilang hendak mengunjungi orang-orang yang tertimpa bencana di daerah selatan. ***

(Kedaulatan Rakyat, 27 Mei 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar