Senin, 11 Oktober 2010

Kisah Seekor Ayam
Oleh Dadang Ari Murtono


Datanglah ke kota ini dan kau akan mendapati setiap orang mengerti kisah ini. Kisah yang dituturkan ibu-ibu untuk mengantar tidur anak-anaknya. Kisah yang diulang-ulang oleh para lelaki di warung kopi. Kisah yang bermula dari masa ketika binatang-binatang dapat berbincang.

Adalah seekor ayam kampung yang bermimpi menjadi elang. Ayam berbulu blorok dan berparuh kuning lancip. Matanya berkilau dan dadanya tegap membusung. Tajinya panjang dan tajam. Ia gemar bertarung. Ia serang setiap jago yang berpapasan dengannya. Ia terjang tiap-tiap yang berkokok lebih nyaring darinya. Ia senantiasa menang. Hanya dalam beberapa detik lawannya akan tersungkur dengan leher koyak atau dada moyak.
Paruh, taji, sayap, dan cakarnya seakan menyimpan belati tajam yang dapat merobek siapa pun, apa pun. Awalnya, pertarungan-pertarungan itu dilakukannya untuk menarik betina-betina agar mau menampung bibit benihnya. Namun kemudian, pertarungan-pertarungan itu dilakukannya semata untuk menuntaskan dahaganya. Ia kecanduan melihat darah. Ia merasa nikmat tiap kali taji atau patuknya menancap di tubuh lawan. Pertarungan telah menjadi candu baginya. Sebagaimana candu lainnya, ia merasa sakit ketika tak ada yang dapat diserangnya. Semakin hari, semakin meningkatlah jumlah jantan yang mesti dikaparkannya.
Kemudian, ia ingin jadi elang. Ia lihat elang itu. Elang yang berdada lebih tegap dan lebih membusung dari dadanya. Elang yang berparuh serta bercakar lebih kokoh dan tajam dari paruh dan cakarnya. Elang dengan sepasang sayap lebar yang sanggup menerbangkan pemiliknya di awang-awang, sementara sayapnya sendiri cuma mampu membantunya melompat dari planggrangan ke tanah. Ia ingin menjadi elang agar segala unggas kian takut kepadanya.
Sudah lama ia memendam iri. Ia ingin menjadi yang paling perkasa, paling jemawa bagi segala ayam. Tapi, elang jauh lebih bersembada, bukan hanya dalam lingkaran unggas, tapi juga reptil dan ikan. Maka, lihatlah bagaimana induk ayam berkotek sedih melepas salah satu piyiknya tercengkeram cakar dan lesap dalam paruh elang. Lihatlah pula bagaimana ikan-ikan mempersembahkan sebagian kelompoknya untuk mengenyang-kenyangkan elang itu, reptil-reptil paling tidak, mesti mengikhlaskan ekornya untuk santap siang sang elang. Adakah yang berani membantah elang? Bahkan, angin dan hujan paling badai sekalipun tak sanggup menggoyahkan terbangnya.
Ia ingin menjadi elang. Ia mulai berdoa untuk itu. Berdoa agar sewaktu terbangun esok hari ia telah menjelma elang yang perkasa. Namun, doa tetaplah sekadar doa, sekadar pinta penuh harap yang lebih sering berujung kecewa daripada tercipta. Sudah begitu dari dulu, dari zaman permulaan, dari zaman Nietszche belum mengatakan bahwa tuhan sudah mati. Orang-orang sangat tahu hal itu sebab moyang manusia pun, Adam yang mulia, tak terkabul doanya agar diberi keteguhan untuk tak menjamah khuldi. Toh, Adam malah menelannya. Pun, Nuh, nahkoda paling cemerlang dalam bentang sejarah, yang berdoa agar anak istrinya selamat dan mendapat hidayah dari banjir mahabesar juga tak terkabul. Maka, apalah arti dari doa seekor ayam yang bermimpi terlalu muluk? Ia terbangun pada parak pagi sebagai seekor ayam dan akan selalu terbangun sebagai ayam sebagaimana ketika ia menetas dari cangkang telurnya. Selalu seperti itu.
Namun, ayam itu tak menyerah. Ia kecewa karena doa-doanya sia-sia. Tapi, ia tak putus asa. Kau tahu, berhari-hari kemudian ia tak beranjak dari pangkringan. Ia hilang selera makan dan gairah bertarung yang biasanya menggebu-gebu. Di luaran, ayam-ayam lain merasa heran untuk kemudian dilanjutkan dengan gunjingan-gunjingan. Beberapa dari mereka yakin bahwa jantan itu sedang sakit. Yang lain mengira ia telah mati. Sebagian yang lain menyangka ia tengah bertapa agar semakin kuat dan kokoh tubuhnya. Namun, rekaan-rekaan kejadian itu sebatas gunjingan yang tiap hari bertambah tak jelas.
Pada hari keempat, seekor betina yang diiringi tujuh piyiknya bercerita bahwa jantan itu telah muksa ke neraka sebagai hukuman atas kejahatannya selama ini. Lepas dari itu semua, walau tak ada yang secara langsung mengungkapkan, para ayam itu merasa lega dan berharap bahwa jantan pembikin kacau itu tak akan pernah kembali lagi, tak pernah keluar lagi dari pangkringannya.
Namun, sebagaimana doa jantan yang ingin jadi elang, doa-doa para ayam itu juga tak terkabul. Pada hari keenam, jantan itu keluar. Badannya kurus kurang makan dan bulunya kusut. Namun, tatapan matanya jauh lebih tajam dari biasanya, teramat tajam. Ia terlihat mengerikan dengan penampilan seperti itu. Ayam-ayam lain yang berpapasan jalan dengannya menyingkir sambil berkotek dengan nada penuh ketakutan. Ia berjalan terus menuju lapangan paling luas. Sesampai di sana, ia berkokok dengan suara paling keras yang pernah dikeluarkannya, mengundang ayam-ayam lain untuk segera berkumpul.
Tak lama, lapangan telah penuh dengan ayam. Ia berkata, “Tuhan telah menemuiku selama enam hari berturut-turut. Itulah sebabnya aku tak pernah turun planggrangan. Tuhan memintaku menjadi elang. Tuhan telah memberiku pengetahuan tentang bagaimana menjadi elang. Mulai sekarang, semua mesti menganggapku elang, memanggilku elang.”
Tiba-tiba suasana gaduh. Ayam-ayam yang jumlahnya ratusan itu berkotek tak jelas. Salah seekor dari mereka tiba-tiba berteriak, “Bagaimana kami bisa percaya dengan apa yang kau katakan bila penampilan fisikmu masih berupa ayam?”
Jantan itu merasa diremehkan dengan pertanyaan bernada mengolok-olok seperti itu. “Yang tak percaya akan mati sebab mengingkari perintah Tuhan yang diwahyukan langsung kepadaku,” jawabnya.
Suasana kembali gaduh. Kali ini diselingi teriakan-teriakan, “Kami percaya. Kami percaya.”
Menjelang sore, kerumunan bubar. Semua ayam menyimpan pikirannya sendiri-sendiri. Pikiran-pikiran yang tak berani mereka keluarkan. Mereka mengira jantan itu sudah gila. Barangkali ia telah mengalami hal mengerikan selama enam hari yang mengganggu syaraf-syarafnya. Namun, sekali lagi, tak ada yang berani mengatakannya. Mereka lebih memilih diam saja daripada berkata hal yang pasti berujung kematian di ujung patuk atau taji jantan itu.
Tak ada satu pun yang menduga bahwa pertemuan hari itu adalah perjumpaan terakhir mereka dengan ayam jantan yang mengaku elang itu. Sekali lagi, ia menghilang. Berbulan-bulan. Mungkin, memang tak akan muncul lagi.
Ah, Tuhan memang tak seperti yang kita kira. Ia senantiasa menjawab doa-doa dengan yang tak terkira. Maka, demikianlah Tuhan menjawab doa-doa para ayam agar jantan itu tak ada lagi. Beberapa ayam kemudian memberi kesaksian bahwa mereka melihat dengan mata kepala sendiri seekor elang menukik dari langit, menghunjamkan cakar-cakarnya ke tubuh jantan itu sesaat setelah pertemuan bubar dan pelataran telah sepi. Semua ayam sepakat meyakini kebenaran berita itu.

***

Datanglah ke kota ini. Singgahlah di warung kopi atau nimbrunglah di kelompok ibu yang tengah bergunjing sambil bergantian mencari kutu. Kau akan mendengar mereka menceritakan kisah ini dengan segala variasinya. Kau boleh meminta versi mana yang ingin kau dengar. Dengan senang hati, mereka akan berkisah panjang lebar.
Inilah beberapa versi cerita itu yang sempat kudengar: pencuri yang mengaku pejabat negeri, penjahat dan pembunuh yang mengaku pemuka agama, atau pembual yang mengaku penyair. Masih banyak versi-versi lain turunan dari kisah ayam jantan itu yang tak mungkin kutulis dalam cerita ini karena akan terlalu panjang.
Kau hanya perlu datang ke kota ini. Kau akan tahu semuanya. Sungguh. (*)

(Republika, 3 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar