Senin, 18 Oktober 2010

Januari untuk Cintaku
Oleh Tri Wulandari


Masih terasa jelas ketika tangan itu menggenggamku. Memintaku tuk tetap tinggal di sisinya, tuk tetap berada di hatinya. 

Aku pergi bukan karena aku tak mencintainya, bukan karena aku tak menginginkannya, tapi aku pergi karena aku terlalu mencintainya.
Aku hanya seorang laki-laki biasa yang tak mungkin lepas dari salah dan khilaf. Mungkin lebih tepatnya, aku adalah seorang laki-laki yang terlalu liar tuk dimiliki dan memiliki. Cap playboy adalah cap yang mungkin memang pantas ditujukan buatku, paling tidak seperti itulah teman-teman menilaiku demikian. Mungkin karena petualangan cintaku, mungkin karena begitu banyaknya daftar orang yang menjadi mantanku. Yah, mereka tak salah ketika menyebutku demikian, walau sebenarnya aku sangat tak nyaman dengan sebutan itu.
Dina, teman semasa kecilku. Aku dipertemukan dengannya kembali setelah hampir tujuh tahun kami terpisah. Bukan jarak yang memisahkan kami, tapi keadaan, rumahnya pun sebenarnya tak jauh dari rumahku, bahkan tiap hari aku selalu lewat di depan rumahnya, hanya saja selama tujuh tahun itu tak pernah terjadi komunikasi antara kami berdua.
Sampai pada suatu saat kami dipertemukan. Tak ada yang spesial, semua terasa biasa saja. Tapi entah mengapa semenjak pertemuan itu, hubunganku dengannya menjadi lebih dekat dan akrab. Entah mengapa semenjak pertemuan itu, setiap kali aku melewati rumahnya, aku selalu berharap ada dia di sana. Aku selalu berharap dapat melihatnya sekadar tersenyum tuk menyapaku.
Perasaan aneh yang kurasakan, Dina yang dulu bukan siapa-siapa, sekarang menjadi orang pertama yang selalu kusapa lewat telepon setiap paginya. Satu bulan, dua bulan berlalu, hubunganku dengannya makin dekat dan mungkin layak disebut spesial. Aku makin tahu tentangnya dan dia pun mulai tahu tentangku bahkan tentang keplayboyanku.
Ternyata di usianya yang ke-22 tahun, Dina mengaku belum pernah yang namanya pacaran. Bukan karena tak ada laki-laki yang mendekatinya, hanya saja belum ada laki-laki yang mampu menyentuh hatinya. Dari fakta itu, aku pun berpikir tak mungkin dapat menyentuh hatinya. Sampai pada suatu malam kuterima sebuah pesan singkat darinya yang berisi sebuah puisi yang katanya ditujukan buatku.
Sering aku bertanya. Kapan aku mulai cemburu padamu. Tapi sungguh aneh memikirkan bagaimana bisa. Perasaan cemburu itu menjajahku. Bahkan sering membelenggu begitu kuat. Tapi waktu yang berjalan. Memelesatkan perasaanku.
Dan tahukah, Semakin kupikir, semakin aku sadar. Pada detik pertama aku cemburu padamu. Aku telah jatuh cinta...Jadi, perkenankan aku menyatakan cemburu padamu... (penggalan-penggalan dari puisi Asma Nadia)
Sesaat setelah kubaca bait-bait itu, perasaanku seketika menjadi kacau. Antara rasa bahagia dan cemas. Aku bahagia karena pada akhirnya aku mampu menyentuh hati Dina yang selama ini belum terjamah orang lain. Tapi rasa cemas lebih membelenggu hatinya.
Aku masih ragu akan hatiku sendiri. Saat ini aku yakin aku mulai mencintai Dina, tapi bukankah perasaan itu jugalah yang kurasakan pada semua mantan-mantanku pada setiap awal hubunganku. Terlalu gegabah ketika aku pun menyatakan cintaku pada Dina. Aku sendiri tak yakin akan perasaanku, tak mau aku mengulangi kisah-kisahku yang dulu, kandas di tengah jalan. Dina terlalu lemah dan berharga untuk kusakiti dan kucampakkan seperti nasib mantan-mantanku dulu.
Akhirnya aku pun membiarkan semua berjalan seperti biasa, mungkin aku tlah membuat Dina menunggu sebuah jawaban dariku tapi kupikir inilah yang terbaik untuk saat ini. Di saat aku belum yakin akan perasaanku sendiri, biarlah semua berjalan apa adanya tanpa ada suatu hubungan yang mengikat kami.

***

Di bulan ketiga hubungan tanpa status ini, aku harus meninggalkan kotaku. Kota di mana Dina pun tinggal di sana. Aku harus merantau ke kota orang demi sesuap nasi dan masa depanku. Saat terakhir sebelum kepergianku, ingin ku mengungkapkan semua yang ada dalam hatiku pada gadis itu. Tapi nalarku mengatakan ‘jangan’. Aku tak mau meninggalkan Dina dengan suatu ikatan di mana aku sendiri pun tak yakin apakah aku akan setia pada ikatan itu. tentu saa Dina merasa kecewa pada sikapku.
Dia merasa aku telah mempermainkan hatinya. Ya, aku memang telah mempermainkan hatimu Din dan aku memang sering mempermainkan hati orang. “Jika jodoh maka takkan ke mana.” Kata-kata itulah yang menyakinkanku untuk melepas Dina. Jika dia memang jodohku maka suatu saat nanti aku akan datang menjemputnya ke dalam hatiku tuk selama-lamanya.
Setahun telah berlalu. Di bulan-bulan awal aku di kota orang, Dina masih sering menghubungiku bahkan dia pun masih mengharapkanku. Tapi entah di bulan-bulan berikutnya, tak kudengar kabar sedikitpun darinya. Aku pun sudah tak dapat menghubunginya lagi. Kami pun kehilangan komunikasi. Dan di saat-saat itulah aku merasakan betapa aku merindukannya, betapa aku kehilangan dia dan saat itulah aku mulai yakin, aku memang telah mencintainya. Aku pun memutuskan untuk segera pulang kembali ke kotaku dan meminta Dina untuk menjadi pendamping hidupku karena ternyata aku sangat mencintainya.

***

Bukan bahagia yang kuperoleh ketika aku sampai di kotaku, tapi rasa kecewa. Dina telah memilih tuk menjadi pendamping hidup orang lain. Orang lain itu adalah Januari Saputra, temanku semasa bangku kuliah. Saat itulah baru aku tahu betapa sakit hati ini ketika aku harus kehilangan orang yang benar-benar aku cinta. Aku tak mau percaya akan karma, tapi mungkin memang benar bahwa aku kena karma. Selama ini akulah yang sering membuat orang patah hati.
“Semoga laki-laki itu memang yang terbaik buatmu Din. Terima kasih atas semua cinta yang telah kau berikan selama ini. Penyesalan terdalamku adalah ketika aku terlambat meyakini adanya cinta ini di hatiku. Januari memang lebih pantas untukmu.”  

(Solopos, 10 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar