Selasa, 12 Oktober 2010

Gandrung
Oleh Lan Fang


APAKAH kau pernah melihat bulan bulat dengan kilap mentega? Itu hanya terjadi setahun sekali. Ketika itu pekat akan menyingkir dari semesta galaksi. Langit bersih seperti baru dicuci oleh hujan. Gelembung-gelembung harum alam merintik dari segenap pori-pori awan.

Konon, dahulu, pada saat bulan bulat sekilap mentega, orang-orang Cina berkumpul di halaman rumah mencecap kue manis berisi biji lotus, kacang hijau, dan gula merah yang manis. Mereka bercengkerama memandang bulan purnama ditemani teh sepat sampai lewat malam.
Hikayatnya, pada suatu waktu, ada seorang putri terkurung di bulan. Namanya Chang Erl. Kekasihnya, Hou Yi, si pemanah ulung yang berhasil memadamkan sembilan matahari dengan anak-anak panahnya. Mereka hanya bisa bertemu sekali dalam setahun, bertemu pada saat bulan paling sempurna untuk rindu yang tidak pernah purna, tidak pernah punah. Orang-orang Cina menyebut saat itu sebagai zhong qiu ye wan. Konon, pada saat itu Chang Erl akan menjatuhkan kembang bulan untuk sepasang sejoli.
“Bulan purnama di pertengahan musim gugur? Kita tidak mengenal musim gugur. Saat ini kita berada pada mangsa labuh, sebuah musim yang terjepit di antara hujan dan kemarau,” gumammu tumpang tindih antara gemerisik dan bisik. Aku tidak bisa membedakannya. Sama saja.
Sebenarnya aku ingin menyanggah kata-katamu. Siapa bilang musim gugur tidak menyapa kita? Tadi aku berjumpa dengannya di sebuah jalan protokol dengan jalur kendaraan dua arah yang selalu sibuk. Pada bagian tengah jalan, lekuk-lekuk pohon meliuk. Mereka menjadi peneduh dari kegarangan sebiji matahari. Pada akar-akar mereka debu-debu mengabu.
Di sana daun-daun gugur. Dari ujung-ujung ranting, mereka melayang dengan pasrah. Mereka berputar-putar sebentar bagai dipermainkan angin lalu terkapar dengan lembut. Seakan-akan mereka tidak berniat untuk melawan. Atau mereka sadar bahwa melawan pun akan percuma?
Ketika itu, lidahku ingin menyeru, “Lihatlah! Angin saja tak tega menghempaskan daun. Kenapa kau begitu kepadaku?”
Tetapi aku terbungkam ketika mereka menyerbu bumi. Beruntun mereka menamparku dengan lembut, tamparan yang tidak mau kuhindari. Kemudian mereka bergerombol, saling menyelip, saling menyelinap, saling menumpuk, saling memenuhi kepalaku. Aku jadi putri dengan mahkota daun, mahkota ringkih yang dipersembahkan sang pedih.
Tetapi, lihatlah…. Aku secantik Chang Erl, bukan?
Tiba-tiba ada laki-laki sekaya saudagar yang menggerutu, “Kau selalu tidak pernah tampil cantik.”
Laki-laki lain yang matanya sekeruh danau berpasir mencibiriku, “Hanya dengan daun, embun, hujan, kau sudah merasa cantik? Hah!” Masih ada laki-laki yang mulutnya dengan murah menyerapahiku, “Kau bukan cantik tapi binal!”
Kemudian saudagar laki-laki itu membawaku kepada seorang perempuan lalu berkata, “Belajarlah tentang kecantikan padanya.”
Sehari-hari, saudagar itu selalu tampak sebaik malaikat. Jadi aku yakin ia pun bermaksud baik padaku. Ia kerap berbisik padaku, berbisik seakan-akan tidak mau dan tidak boleh ada orang lain yang mendengar bisikannya. “Aku ingin mati saja.”
Aku heran, kenapa ia selalu ingin mati padahal seharusnya ia bisa menikmati hidup dengan kekayaannya? Atau karena aku fakir maka aku takut mati?
“Aku capai terbang dengan sebelah sayap,” gumamnya setengah tertawa sekaligus setengah menangis. Sejak itu aku mengerti bahwa ia bukan malaikat melainkan anak burung bersayap sebelah. Dengan letih ia mengayuh sayapnya yang sebelah, sayap kering tanpa bulu-bulu sehalus beludru. Pantas, ia selalu ingin mati.
Perempuan yang diperkenalkannya itu tampaknya juga setulus bidadari. Ia suka sekali menggeliat-geliat untuk mempertontonkan kecantikannya. Matanya selalu berkedip-kedip, lidahnya selalu dijulur-julurkan, kepalanya selalu digoyang-goyangkan, dan wajahnya rata seperti wajan penggorengan martabak.
Si saudagar laki-laki memandang perempuan itu dengan penuh kekaguman. “Lihatlah, betapa cantiknya dia tanpa hidung.” Ia bergairah bagaikan kerbau dicocok hidung. Pasti ia telah membatalkan keinginannya untuk mati.
Lalu perempuan tanpa hidung itu mengajariku cara mempercantik diri. Setiap malam, dengan mahir ia mencopoti hidung-hidung perempuan lain yang sedang bermimpi untuk ditempelkan di mulut, telinga, mata, dan hidungnya sendiri. Ia selalu tampil mempesona dengan wajah yang berhiaskan banyak hidung sampai subuh karena sebelum terang ia sudah harus mengembalikan hidung-hidung yang diambilnya tanpa izin itu.
Sekarang aku tahu kenapa aku selalu bermimpi buruk tentang perempuan tanpa hidung itu. Sebab aku tidak mau memberikan hidungku untuknya sekaligus aku tidak mau mempercantik diri dengan hidung-hidung imitasi.
Kemudian tentang laki-laki bermata pasir. Ia tidak pernah membawaku kepada perempuan lain. Ia kerap mengajakku duduk-duduk saja. Percakapan kami cenderung pembicaraan basi, seperti “kau suka apa?” tetapi ia tidak pernah memberikan apa yang kusukai. Bahkan ia suka melakukan apa yang tidak kusukai. Salah satunya adalah ia suka memegang stopwatch yang berbunyi untuk setiap detik yang telah terlampaui. Ia mirip sekali dengan pelatih atletik yang memacu anak latihnya berlari lebih cepat dari angka stopwatch.
Kesukaan lain yang disukainya adalah cerita tentang perempuan setengah baya yang menempel seperti lintah sehingga ia tidak pernah punya waktu untukku. Ia bercerita tanpa pernah bermaksud memperkenalkan diriku dengan perempuan yang kerap diceritakannya itu. Logikaku mengatakan bahwa ia pun betah menempel pada lintah betina tua itu dengan riang gembira. Karena setiap kali, tepat bersamaan dengan akhir ceritanya, setiap stopwatch berbunyi “tit…tit…tit…”, kulihat matanya mengeruh tetapi aku tidak menemukan pandangan bersalah di sana. Saat kami bertaut pandang ia tersenyum setulus bulus yang sedang berusaha menyenangkan hatiku.
Aku berkata, “Perjumpaan kita seperti pertandingan lari jarak pendek.”
Tetapi tampaknya ia tidak berniat memperpanjang waktu dengan memutar kembali stopwatch. “Maaf, sekarang sudah waktunya aku melayani lintah betina tua itu.” Ia suka sekali mengucapkan kata-kata itu.
Walaupun demikian, aku yakin bahwa ia juga suka padaku sebab laki-laki hanya mau minta maaf kepada perempuan yang disukainya. Jadi, seketika itu, dengan perasaan suka cita, aku menjawab, “Maaf, aku tidak suka dengan maafmu itu.”
Lain lagi dengan laki-laki yang mulutnya begitu murah serapah. Aku tahu betul dari mana ia berbelanja kata-kata sampah. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin tidak pernah membinali laki-laki. Oh, kuralat. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin belum pernah membinali laki-laki. Oh, kuralat lagi. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin sudah pernah diam-diam membinali laki-laki. Oh, kuralat untuk kesekian kalinya. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin tidak suka membinali laki-laki, mungkin perempuan terhormat itu suka membinali yang lainnya.
Jadi, terus terang kukatakan padanya bahwa aku perempuan yang mungkin tidak terhormat tetapi mungkin cantik dan mungkin suka membinali laki-laki. Tentu saja laki-laki yang sesuai seleraku. Seketika itu juga ia menjual semua koleksi kata-katanya: “Pelacur, sundal, lonte recehan!” Percuma. Aku sama sekali tidak berminat membeli kata-kata itu, apalagi membinali dirinya.
Nah, kau tidak seperti mereka. Kita bertemu pada suatu beranda tanpa lampion. Aku tidak yakin saat itu dalam keadaan gelap karena sumbu lilin cukup terang untuk melihatmu dalam keadaan memejam. Tampak wajahmu begitu tenang dan bersih sehingga aku langsung tergila-gila.
Aku ingat sebuah dongeng tentang Putri Tidur yang tertenung sampai seorang pangeran baik hati membangunkannya dengan ciuman. Aku yakin kau juga sedang dalam kuasa tenung sehingga aku ingin membebaskanmu dengan ciumanku.
Atau kau adalah drakula, Pangeran Kegelapan yang akan bangun pada saat gelap tiba? Bila demikian, aku sudah mempersiapkan sesuatu untukmu, akan kurelakan hidupku tidak untuk hidup dan matiku tidak untuk mati. Aku ingin kau segera membuka mata; melihatku dan mendengarkanku, “Inilah leher kekasihmu, Taring Runcing….” Aku menunduk untuk menyentuhkan bibirku pada bibirmu.
Tes!
Lilin yang kupegang lebih dahulu menjatuhkan minyaknya di bibirmu. Aku khawatir bibirmu terkelupas atau melepuh. Ternyata tidak. Bibirmu tetap seindah pualam. Minyak lilin mengental di sudut bibirmu. Pasti bibirmu dingin sekali. Aku kian ingin menghangatinya. Untuk kedua kalinya aku menunduk untuk menyentuhkan bibirku pada bibirmu.
Blep!
Lilinku padam karena desis angin membuatnya tak berdaya. Tetapi keadaan tetap tidak gelap. Ada remah-remah cahaya yang jatuh sehingga aku bisa melihat dengan jelas bibirmu terkuak dengan indah. Lalu dengan ikhlas kusongsong kilaumu yang menancap padaku. Dingin sejenak saja kemudian kurasakan ada yang menetes, bercucuran, mengalir dengan cara yang sangat sepi. Begitu kekal.
Perlahan-lahan kelopak matamu membuka. Aku melihatmu, zahir yang menyihir. “Sssttt, ini aku, Tuan Mimpi. Bungkuslah rapat-rapat setiap pertemuan kita. Jangan sampai ada yang terselip di bulu mata, nanti orang lain menafsirkannya. Berjanjilah, hanya kita yang tahu rindu begitu syahdu.” Aku hanya mampu setia untuk setiap katamu.
Abad pun berganti abad, kunjunganmu kian paripurna. Mimpi bisa terjadi kapan saja. Tetapi aku yakin tidak sedang bermimpi setiap bertemu denganmu. Sebab aku menyimpan dirimu dalam ingatan paling mesra. Segenap ingatan yang bisa kubangunkan setiap saat aku mau.
Kemudian sampailah kita pada mangsa labuh, yang ujarmu kemarau tidak, hujan pun tidak. Pagi-pagi jadi terlukai dan malam-malam jadi terkulai. Nganga dada membuat hari-hari kian berbatu. Kemesraanmu rontok seperti dedaunan yang bergelimpangan sehingga kerinduanku bagai gelandangan tak bertuan. Musim ini ngungun sekali.
“Apakah kau lupa padaku? Ke mana kau tersesat? Mangsa labuh ini hanya sebuah musim yang menjebak!”
“Aku sudah total berubah, tidak dan bukan yang dulu,” jawabanmu persis politisi bertelinga tebal yang tengah meliukkan lidah pada konstituennya.
Bila kau bukan Tuan Mimpi lagi lalu jadi apakah kau sekarang? Apakah jadi gunung, jadi laut, jadi jurang? Aku tidak percaya kau sejahat itu padaku. Kau tidak mungkin berhitam hati dan berputih mata padaku. Aku tetap meratap seperti tidak punya harga diri. Bukankah cinta tidak pernah berhitung dengan harga?
Sambil menangis sejadi-jadinya, aku mengitari jalan demi jalan, jalan yang itu-itu juga; tikungan demi tikungan, tikungan yang itu-itu juga; ceruk demi ceruk, ceruk yang itu-itu juga; tanjakan demi tanjakan, tanjakan yang itu-itu juga; masjid demi masjid, masjid yang itu-itu juga; sampai…
Sampai aku menangisi azan demi azan, azan yang itu-itu juga; harum demi harum, harum yang itu-itu juga; puisi demi puisi, puisi yang itu-itu juga; rindu demi rindu, rindu yang itu-itu juga; mimpi demi mimpi, mimpi yang itu-itu juga; sampai….
Sampai aku tersungkur.
Tidak kuhiraukan ujung-ujung pepohonan yang mendongak pongah padahal sesungguhnya mereka menderita karena terik. Mereka sudah terlalu cerdas untuk menyombongkan diri dari guncangan angin. Seperti itulah diriku yang tidak memedulikan apakah kau mencintaiku atau tidak, apakah kau merindukanku atau tidak, apakah kau mengharapkanku atau tidak. Sebab aku juga sudah terlalu cerdas untuk memanjakan lukaku karena diammu. Kau bahagia bisa membuatku begitu kan?
Aku tidak mendengar apa-apa kecuali semilir angin mengirim gema gumam dari semesta yang menato gendang telinga….
Duh, wong ganteng pepujaning ati. Mung sliramu kang tansah nglelewa. Rina klawan wengi ranane wong lagi gandrung. Among eling sira wong ganteng. Batin ora kuwawa nandang lara wuyung. Enggala paring usada mring wak mami kang lagi ngidam sari uga nandang asmara.
Hoi, sejoli mana yang akan berjodoh malam ini? Pandanganku mengabur. Aku menyesali Hou Yi yang hanya memadamkan sembilan matahari. Kenapa ia membiarkan sebiji matahari itu tetap menyala? (*)
(Jawa Pos, 26 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar