Jumat, 17 September 2010

Pemimpin
Oleh Putu Wijaya

Cemas karena anak-anak sekarang mulai apatis, tidak punya cita-cita, saya bertanya kepada cucu saya.
"Agus, nanti kalau sudah besar kau mau jadi apa?"
Cucu saya dengan tegas menjawab, "Mau jadi pemimpin."
Saya tertegun. Bangga karena penerus saya punya cita-cita besar. Perkara bisa kejadian atau hanya sekadar mengkhayal, tidak apa. Punya impian paling tidak membuat ada arah yang pasti di tengah kebingungan dunia yang edan ini.
"Jadi pemimpin?"
"Ya! Memang kenapa?"
"Tidak apa-apa. Semua cita-cita itu baik. Tapi kenapa kamu mau jadi pemimpin?"
Agus kontan menjawab seakan-akan pertanyaan itu sudah lama ditunggunya.
"Karena aku sudah bosan diperintah. Disuruh bangun pagi. Disuruh sekolah. Disuruh belajar. Disuruh nganterin pergi belanja. Disuruh ikut arisan. Disuruh nemenin kalau ada resepsi pernikahan. Disuruh jaga rumah. Disuruh anteng kalau ada tamu. Capek ah! Sekarang aku mau memerintah!"
"O jadi kamu pikir pemimpin itu tukang ngasih perintah?"
"Bukan tukang perintah doang, tukang larang juga! Tidak boleh begadang, tidak boleh keluar malam! Tidak boleh ngomong jorok! Tidak boleh main motor. Tidak boleh cemberut kalau ada tamu! Tidak boleh, tidak boleh, tidak boleh! Ini tidak boleh, itu tidak boleh, semuanya tidak boleh! Capek deh!"
"Itu artinya kamu mau bebas?!"
"Persis!"
Saya bengong.
"Kamu pikir pemimpin itu raja bebas?"
"Ya dong! Kalau tidak bebas itu bukan pemimpin."
"Salah! Pemimpin itu justru orang yang paling tidak bebas. Buat seorang pemimpin tidak ada hari Minggu, tidak ada hari libur, semua hari adalah kerja!"
"Itu pemimpin yang goblok!"
"Agus … "
"Kalau rakyat antre beli minyak tanah, pemimpin tinggal makan saja, yang masak kan rakyat. Masak pemimpin masak sendiri. Kalau rakyat tidak boleh masuk jalan bebas kendaraan bermotor, pemimpin bablas saja nggak ada yang berani larang. Kalau rakyat dibakar karena maling ayam, pemimpin yang makan uang rakyat triliunan diampuni dan dijadikan pahlawan. Kalau rakyat ketiduran waktu kerja dipecat, tapi pemimpin main SMS dan ngorok, yang selingkuh pada jam kerja, malah jadi selebriti! Masak Kakek tidak tahu?"
Saya mau menjawab tapi Agus langsung angkat tangan.
"Stop jangan ceramah, aku ada pekerjaan yang lebih penting!"
"Apa?"
Cucu saya langsung meloncat ke dekat TV. Sebab jam menunjukkan pukul 5. Itu jatahnya untuk main PS2 sampai pukul 6.
Saya hanya bisa mengurut dada. Berdebat dengan cucu tidak mungkin. Saya kira kunci konsleting itu pada orang tuanya. Anak saya dan mantu saya hampir tak pernah ada di rumah. Keduanya sibuk. Saya hampir tidak mengerti, apa gunanya rumah kalau mereka lebih banyak tidur di hotel karena ikut seminar dan rapat-rapat yang tidak satu pun yang tidak penting.
Saya kira mereka sudah jarang tidur bersama. Mungkin itu sebabnya Agus tidak punya adik lagi. Kalau sudah sampai di situ, saya tambah bingung. Pernikahan sekarang memang beda dengan zaman saya dulu. Dulu pernikahan adalah mencari teman tidur. Untuk berbagi suka-duka bersama. Sekarang perkawinan seperti mendirikan PT, untuk mengumpulkan duit.
Memang cucu saya jadi tidak kekurangan apa pun. Segala fasilitas yang dia butuhkan ada, karena penghasilan anak saya dan istrinya berkelebihan. Sekolah cucu saya juga lebih mahal dari sekolah kedokteran. Tapi begitulah, keduanya tidak pernah ada waktu mendampingi anaknya berkembang. Akibatnya cucu saya menderita kemiskinan jiwa.
Lalu saya minta waktu untuk bicara pada anak saya. Saya jelaskan bagaimana bahayanya membiarkan anak berkembang sendirian. Sekolah mahal, segala fasilitas melimpah, tidak cukup untuk menggantikan kasih-sayang yang hilang, karena anak tidak bisa tumbuh tanpa doping kasih-sayang orang tua.
"Kurangi sedikit aktivitas kalian. Beri waktu sedikit saja buat Agus," kata saya.
Anak saya, juga mantu saya, paham apa yang saya katakan. Mereka kemudian mencoba untuk menyediakan waktu buat Agus. Tapi apa yang terjadi. Pertengkaran.
Agus merasa tersiksa. Gerak-geriknya yang diawasi dengan berbagai halangan, membuat dia senewen. Rumah dirasanya menjadi neraka. Orang tuanya juga kaget dan merasa Agus tidak mampu untuk mempergunakan kebebasan. Lalu Agus dimasukkan ke dalam asrama.
Sejak itu saya yang kehilangan. Buat lelaki tua yang tak punya rencana lagi, cucu adalah segala-galanya. Memiliki cucu lebih dari memiliki anak, kebahagiaannya bertumpuk. Kehadiran seorang cucu adalah jaminan dada lapang, karena tahu riwayat kita akan berkelanjutan, walaupun nanti kita sudah tak hadir lagi.
Saya mencoba untuk bertahan. Rasa sepi itu saya injak. Pagi hari, saya kehilangan burung yang menyanyi. Siang hari, berjam-jam waktu lambat berjalan, sehingga saya jadi kelimpungan. Tidur bosan. Nonton televisi menyebalkan. Ngobrol sama istri, nenek cucu saya, menjengkelkan. Semua omongannya sudah saya tahu, seperti juga sudah saya hapal seluruh lekuk tubuhnya termasuk jumlah tai lalatnya.
Malam hari saya tak bisa tidur. Saya coba jalan-jalan keluar rumah. Tapi baru satu kali, saya langsung masuk angin. Istri saya marah-marah dan menuduh saya sedang memasuki puber keempat. Nggak akan ada artis yang mau sama tua bangka seperti kamu lagi, biar pun duit kamu segepok, katanya, sehingga saya malu.
Akhirnya saya mulai menghibur diri dengan ngomong sendiri. Dan ini membuat saya dibawa ke seorang psikolog. Untung dokter lulusan Jerman itu pintar. Dia tidak memberikan nasehat supaya saya kawin lagi. Dia hanya minta cucu saya ditarik dari asrama. Karena dia menyimpulkan bahwa jiwa saya sudah terganggu kehilangan sebuah cahaya hati.
Tapi anak saya tidak peduli. Buat dia lebih penting anaknya aman. Saya, bapaknya, mungkin dianggap sepeda tua, karatan juga biarin saja. Cucu saya tetap di asrama. Hanya sebulan sekali boleh pulang untuk mengobati rindu saya. Apa boleh buat. Negosiasi yang tidak terlalu menguntungkan itu terpaksa saya terima juga.
Ketika cucu saya pulang pertama kali, saya limpahi dia dengan seluruh kerinduan. Saya berikan dia hadiah yang selalu dirindukannya, tapi tak pernah dikabulkan oleh orang tuanya. Sebuah motor balap.
Agus senang sekali. Dia memeluk saya, sehingga saya merasa hidup lagi. Dipeluk oleh cucu seribu kali lebih nikmat dari dipeluk oleh istri yang memeluk karena tugas. Agus langsung terbang ke sana-kemari dengan motor itu. Hati saya rasanya pecah karena melihat kegembiraannya. Rumah kembali nyaman. Dan saya ingin hari lebih panjang. Makanan yang selalu saya kutuk saya kecap. Tidur pun jadi asyik.
Tapi itu hanya satu hari. Motor cucu saya ditemukan ringsek diinjak truk. Untung truk itu sedang berhenti. Rupanya ada yang mencoba untuk meniru kelakuan jagoan dalam film yang nyerosot menerobos bawah truk sambil memiringkan kendaraannya.
"Untung Agus tidak apa-apa, hanya motornya saja yang hancur!" kata istri saya menyumpahi perbuatan saya yang dianggapnya sebagai dosa tak berampun itu.
Saya tidak bisa memberikan pembelaan. Meskipun yang mengendarai motor itu bukan Agus tapi kawannya. Artinya peristiwa itu tidak bisa dianggap sebagai kesalahan Agus. Juga tidak bisa dianggap sebagai contoh bahwa Agus memang tidak pantas naik motor. Contoh itu justru penting untuk menjelaskan pada Agus bahwa naik motor itu berbahaya bagi orang yang tidak terlatih. Jadi dia tidak akan naik motor karena dilarang, tapi karena memang dia mengerti dia tidak siap.
Sejak itu Agus tidak pulang lagi. Kalau liburan, orang tuanya menjemput. Lalu mereka keluar kota berlibur. Saya tidak diberi kesempatan dekat lagi dengan cucu karena dianggap berbahaya. Itu berlangsung cukup lama. Tapi untunglah saya tidak jadi gila karena itu. Karena perlahan-lahan kemudian saya mengalihkan perhatian saya pada istri saya.
"Ternyata manusia itu bukan besi tua, tapi tape yang makin matang makin menendang," kata saya.
"Maksudmu siapa?"
"Kamu!"
Meskipun itu hanya rayuan gombal, ternyata istri saya senang. Dan itu memperbaiki hubungan kami menjadi segar lagi setelah bertahun-tahun terasa hambar. Aneh, meskipun dia sudah tua, tapi kalau diperhatikan sebenarnya dia masih menarik. Bahkan kemudian saya tahu bahwa dia masih tetap romantis.


***
Beberapa tahun kemudian, ketika cucu saya lulus SMA saya kembali bertanya-tanya. Saya cemas, karena di depannya sekarang terbentang banyak jalan yang harus dipilih dengan tepat. Salah pilih resikonya berat.
"Sebelum memastikan kamu mau melanjutkan ke mana, kamu harus tentukan dulu sebenarnya kamu mau jadi apa, Agus?"
Cucu saya yang sudah mulai pakai kumis menjawab tanpa ragu-ragu.
"Aku ingin jadi pemimpin."
”Lho, itu kan cita-citamu yang dulu?"
"Memang!"
"Kenapa?"
"Sebab pemimpin itu punya banyak fasilitas yang tidak dimiliki orang biasa!"
"Fasilitas?"
"Ya! Kemudahan-kemudahan. Rumah, kendaraan, keamanan, kesejahteraan, semuanya dicukupi. Tidak perlu memikirkan apa-apa, semuanya sudah ada. Masak pemimpin naik angkot? Paling sedikit Mercy. Ngapain naik bus, pasti naik kapal terbang dan mesti kelas satu. Masak pemimpin ngontrak rumah, pasti rumah bertingkat dengan taman dan penjaga dan pengawalan kalau lagi jalan. Masak pemimpin makan nasi kucing, pasti steak sirloan. Masak pemimpin gajinya sama dengan tukang ojek, paling sedikit 45 juta satu bulan, belum lagi uang sidang dan berbagai fasilitas plus kemudahan lain. Belum lagi hadiah-hadiah, sumbangan, kado, bingkisan dari masyarakat dan para konglomerat yang mendukung,. Paling sedikit kunci mobil yang harganya 3 miliar."
Saya tercengang.
"Lho kamu pikir pemimpin itu seperti itu?"
"Lebih dari itu, Kek!"
"Masak?"
"Ya! Lihat saja pemimpin-pemimpin itu. Pasti kaya. Mobilnya paling sedikit 5. Rumahnya di mana-mana. Padahal gajinya kecil. Berapa sih? Tapi kenapa bisa punya hotel, perkebunan, saham, pabrik, puluhan perusahaan?"
Saya mulai marah. Jelek-jelek saya juga pernah jadi pemimpin. Minimal saya menjabat RT selama 30 tahun di pemukiman kami dulu.
"Pemimpin itu tidak begitu!"
"Memang tidak! Pemimpin itu abdi masyarakat. Aturannya dia orang kelas dua, karena dia hanya mewakili rakyat. Wakil kan orang suruhan. Tapi kalau orang datang maksa-maksa ngasih kunci mobil, kunci rumah, ngasih duit segepok bahkan ngasih perempuan, bagaimana bisa menolak? Orang bisa tersinggung, terhina, marah kalau ditolak mentah-mentah. Jadi pemimpin harus bisa memuaskan hati rakyat. Bukan hanya rakyat yang memerlukan sandang-pangan, juga rakyat yang kelebihan dan ingin memberi. Ya kan, Kek?"
Saya mau membantah. Tiba-tiba cucu saya mengulurkan sebuah kotak kecil.
"Apa itu?"
"Hadiah buat ulang pernikahan Kakek dan Nenek. Agus beli dengan uang tabungan Agus sendiri."
Cucu saya kemudian membuka kotak itu. Istri saya yang nyamperin ketika melihat cucunya mengulurkan sebuah kotak, menjerit.
"Berlian!"
"Ya. Ini kalung berlian untuk Nenek dan jam tangan untuk Kakek!"
Sebelum saya bisa menjawab, istri saya sudah langsung menyambut kotak itu dan memeluk cucunya. Lalu ia terbang ke tetangga untuk menyiarkan kebanggaannya mendapat hadiah berlian dari cucu, walaupun saya yakin berlian itu palsu.
"Kakek boleh menolak kalau berani," kata Agus.
Saya tidak bisa menjawab. Saya mengerti apa yang hendak dikatakan oleh cucu saya. Bagaimana saya akan bisa menolak, kalau istri saya, neneknya itu, begitu bangga dengan pemberian itu.
Saya lupakan saja soal berlian itu. Kalau Agus memang mau jadi pemimpin, ya sudah jadiin saja. Saya mendukungnya. Siapa tahu dia akan menjadi pemimpin yang lain. Pemimpin yang berbeda dari pemimpin-pemimpin yang selama ini kita sesali.

Dengan sungguh-sungguh saya ikuti sepak terjang Agus dari jauh. Sekolahnya melaju dengan bagus. Akibat tempaan asrama yang ketat, dia menjadi gigih dan berdisiplin. Tidak jauh dari target yang sudah tersedia, dia bisa menyelesaikan pendidikan tingginya dengan baik. Tidak istimewa, tetapi dia lulus tepat pada waktunya.
Agus langsung bekerja. Di samping itu seperti juga orang tuanya, ia aktip berorganisasi. Dalam waktu yang pendek, karirnya menanjak. Kemudian dengan tidak terasa, ia mulai mendapat jabatan penting. Lalu akhirnya pegang pucuk pimpinan.
Agus yang nakal itu kini sudah jadi orang. Ia menikah dengan seorang bekas Ratu Dangdut. Kehidupan keluarganya serasi. Anaknya sudah dua. Namanya bagus. Masyakat mencintainya. Dia benar-benar memenuhi hasratnya untuk menjadi seorang pemimpin.
Itulah saatnya saya kembali bertanya. Lalu saya mencari kesempatan baik dan bicara dari hati ke hati.
"Agus," kata saya dengan blak-blakan, "sebagai lelaki dengan lelaki, Kakek ingin bicara terus-terang kepada kamu sekarang."
"Apa yang bisa saya bantu, Kek?"
"Tidak. Kakek tidak minta dibantu. Kakek hanya mau bertanya. Sekarang kamu sudah jadi pemimpin."
"Ya lebih kurang begitu kata orang."
"Itu berarti kamu sudah mencapai cita-citamu."
"Ya, bisa dikatakan begitu."
"Jangan menjawab dengan: bisa dikatakan begitu. Yang tegas saja. Memang kamu sudah mencapai cita-citamu jadi pemimpin. Betul tidak?"
"Ya, betul tapi mungkin tidak seperti Kakek bayangkan."
"Maksudmu?"
"Saya memang seorang pemimpin sekarang."
"Dengan segala fasilitas dan kemudahan yang pernah kamu rindukan dulu kan?!"
Agus tersenyum.
"Betul."
"Tidak ada yang memerintah kamu lagi. Karena kamulah yang memberikan perintah?!"
"Ya memang."
"Kamu dapatkan banyak fasilitas yang tidak dimiliki oleh rakyat biasa. Orang antre mau beli karcis Java Jazz, nabung untuk beli karcis Lionel Richie, setumpukan karcis diantarkan kepada kamu dengan jemputan mobilnya sekalian. Betul?"
Agus ketawa.
"Betul."
"Orang kepingin punya perusahaan untuk jaminan masa tua, tapi pengusaha malah datang kepada kamu dan minta kamu jadi Presdir perusahaan penerbangan baru. Betul?"
Agus mengangguk.
"Betul."
Saya tertawa, karena si Agus cucu saya tidak bisa membantah. Saya juga bangga, sebab apa yang dilamunkannya sudah jadi kenyataan. Itu tidak akan terjadi kalau dia tidak ampuh dan hebat.
"Kakek bangga karena kamu tidak hanya mimpi dan melamun tapi bekerja nyata!"
Agus ketawa.
"Terima kasih, Kek. Memang betul apa yang Kakek bilang. Tapi terus-terang, cara Kakek melihat itu tidak adil."
"Maksudmu?"
"Ya Kakek menceritakan semua itu seperti menceritakan tentang orang yang mendaki Gunung Himalaya, lalu menancapkan bendera di puncaknya."
"Tapi memang begitu kan? Kamu seorang pendaki gunung yang sukses!"
Muka Agus tiba-tiba murung.
"Seorang pemimpin tidak sama dengan pendaki gunung yang sukses, Kek. Kelihatannya memang sama, tapi beda. Pendaki gunung setelah sukses tinggal menikmati prestasinya. Tapi seorang pemimpin?"
"Sama kan?"
"Tidak. Sesudah menjadi pemimpin, aku tidak bisa lagi menjadi Agus, cucu Kakek. Aku harus memimpin. Aku harus bertanggung jawab terhadap segala hal. Bahkan terhadap semua kekeliruan dan dosa-dosa orang lain yang menjadi tanggung jawabku. Aku harus mengurus banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan aku. Aku tidak punya hak untuk tertawa, tersenyum, apalagi tidur seperti manusia biasa. Aku sudah jadi mesin, robot, bulan-bulanan dan tong sampah. Ada ayam mati juga aku yang ditoleh dan ditanya kenapa? Ada orang kejepit juga aku yang disalahkan, sebab di puncak segala-galanya aku yang harus bertanggung jawab."
Agus berhenti bicara dan menahan dirinya, sebab kelihatannya semua mau tumpah. Aku belum pernah melihat dia curhat dan menderita seperti itu.
"Aku sudah mati, Kek."
Saya tercengang. Ketika ingin menjawab untuk menghiburnya, tiba-tiba HP dan telepon bunyi bareng. Agus cepat menggapai. Mukanya langsung pucat. Lalu ia berdiri.
"Maaf Kek, aku terpaksa pergi. Anak buahku ada yang tertangkap oleh KPK, kasus penyuapan uang negara puluhan miliar. Nanti kita lanjutkan!"
Saya tidak bisa bilang apa-apa. Tiba-tiba segala kebanggaan saya rontok. Hati saya terenyuh melihat cucu saya sudah dijadikan mayat seperti itu. Pasti itu kesalahan anak buahnya, tetapi kalau ada apa-apa dia yang akan diseret, karena dialah puncak yang tertinggi.
Di tempat tidur, saya sampaikan semua itu pada istri saya. Perempuan tua itu tak jadi ngorok. Matanya nyap-nyap sepanjang malam. Kami terkenang pada masa lalu. Teringat Agus yang nakal, tetapi ceria dan hidup. Kini cucu kami sudah begitu jauh di awang-awang dan menggelepar tak berdaya karena terikat oleh begitu banyak tanggung jawab.
"Kita tidak bisa membiarkan cucu kita mati," kata istri saya.
"Ya. Untuk apa jadi pemimpin, kalau harus mati."
"Kalau begitu suruh dia berhenti dan jadi orang biasa saja. Yang penting dalam hidup ini kan kebahagiaan. Buat apa mendapat fasilitas dan bisa memerintah kalau tidak bahagia?"
"Betul sekali!"
Kemudian saya mencari kesempatan yang tepat untuk bicara hati ke hati lagi dengan Agus. Lama sekali baru kesampaian. Walaupun dia cucu saya, tapi sejak jadi pemimpin, dia memang sudah seperti orang lain yang jaraknya ribuan kilometer.
"Agus, Kakek sudah berembuk dengan Nenek. Setelah kami pertimbangkan masak-masak, melihat keadaanmu serta mendengarkan semua penderitaan yang harus kamu tanggung sebagai pemimpin, kami mendesak, lebih baik kamu berhenti. Kami lebih senang kamu tetap hidup daripada menjadi pemimpin, tapi mati."
Agus tersenyum.
"Terima kasih, Kek. Aku juga sudah berusaha, tapi tidak bisa."
"Tidak bisa? Apa susahnya berhenti?"
"Tidak bisa, Kek."
"Ah, jangan bilang, tidak ada yang tidak bisa mengganti. Lihat di sekitarmu, mereka antre seabrek-abrek bahkan gontok-gontokan untuk mengganti, kalau kamu mau mundur."
"Itu betul."
"Makanya berhenti saja!"
"Tidak bisa, Kek!"
"Kenapa?"
Agus tersenyum pahit.
"Kenapa?"
"Karena, meskipun mati, jadi pemimpin itu ternyata enak, Kek." ***
Astya Puri, 30 April 2008

(Sumber: Jawa Pos 4 Mei 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar