Jumat, 17 September 2010

Sang Insinyur
Oleh Zainal Abidin

Ketika musim kemarau, di kampungku yang letaknya di tepi Sungai Komering, anak-anak sebayaku sangat bersuka cita. Kehidupan masyarakat kampungku sangat akrab dengan sungai. Sungai inilah tempat mandi, mencuci, sumber air minum, bahkan tempat buang hajat. Saat musim kemarau, air sungai akan surut. Di musim ini airnya sangat bening. Di tengah sungai akan terhampar pasir bak sebuah pantai. Kadang kami harus berenang atau berjalan untuk mencapai hamparan pasir itu. Kami bermain sepak bola, meskipun bolanya akan menjadi berat karena sering kena air. Ada juga yang bermain kejar-kejaran hingga jatuh bangun. Ada yang bermain layang-layang dan ada pula yang bermain pasir, membentuk miniatur gunung.
Setelah pulang sekolah, siang sampai menjelang sore hari, biasanya anak-anak sebayaku bermain layang-layang di hamparan pasir itu. Meskipun sinar matahari begitu menyengat, tak kami hiraukan. Kulit tubuh kami menjadi hitam dan rambut kami pun menjadi kemerah-merahan terbakar matahari. Inilah salah satu ciri khas kami sebagai anak-anak kampung.
Model layang-layang di kampungku berwarna-warni, berbeda dengan layang-layang yang pernah kulihat di kota. Layang-layang kami bahannya dari kertas minyak yang sebenarnya untuk kertas hias atau pembungkus kue. Kami mengadu layang-layang dengan anak-anak kampung seberang. Jika angin bertiup ke arah kampungku, kami pihak yang beruntung karena layang-layang yang putus akan jatuh di kampung kami atau di sungai wilayah kami. Namun, tak jarang pula menyangkut di dedaunan kelapa yang tumbuh di sepanjang tepi sungai. Layang-layang yang jatuh di sungai tentu tidak utuh lagi, terkadang yang tersisa kerangkanya saja. Tetapi kami tetap bangga, sebab inilah lambang kemenangan sebuah adu layang-layang. Sang pemenang akan mendapat pujian dari teman-temannya.
Banyak sekali anak-anak menonton adu layang-layang, ada yang dari tepi sungai dan ada pula yang duduk di hamparan pasir atau sambil bermain kejar-kejaran. Jika kami yang menang, bergemalah sorak-sorai kami. Inilah sebuah kegembiraan anak kampung sepertiku.
Sebaliknya, ketika angin bertiup ke arah kampung seberang, kami pihak yang rugi. Sebab, biarpun kami menang, layang-layang yang putus akan jatuh di kampung seberang. Hal ini tidak mungkin kami mengambilnya. Sebab anak-anak kampung kami tidak akan berani ke kampung seberang.
Anak-anak kampung kami bermusuhan dengan anak-anak kampung seberang. Ketika air sungai surut, sering terjadi perang batu antara anak-anak kedua kampung. Namun, jika mereka sudah menginjak remaja, permusuhan ini hilang dengan sendirinya. Dan permusuhan itu pun akan dilanjutkan oleh generasi anak-anak berikutnya.
Aku termasuk salah seorang anak yang gila bermain layang-layang. Jika libur tiba, aku akan berhari-hari bermain layang-layang, pulang ke rumah hanya untuk makan. Aku salah seorang anak yang disegani dalam adu layang-layang. Pernah suatu kali, aku mengulur layang-layang ke kampung seberang. Tak kurang dari sepuluh kali aku dapat memutuskan layang-layang lawan. Sehingga sorak-sorai pun bergema dari kampungku.
Aku sangat bangga waktu itu, meski tak satu pun layang-layang yang kuperoleh. Inilah hiburan kami dan kebanggaan di masa kanak-kanakku.
Aku masih ingat, saat itu aku masih duduk di sekolah dasar, bila liburan sekolah tiba, kadangkala aku diajak ayahku pergi ke kota.
Ayahku seorang pedagang, dari kampungku membawa beras berton-ton untuk dijual di kota. Dan pulangnya membeli pakaian untuk di ual kembali di kampungku. Anak kampung seperti aku tentu sangat terkagum-kagum dengan keramaian kota. Gedung-gedungnya mewah dan bertingkat. Mobil dan sepeda motor berseliweran hilir mudik. Asap knalpot kendaraan menjadi santapan paru-paru orang-orang kota. Aku membatin, betapa enaknya setelah lulus sekolah dasar nanti, aku dapat bersekolah di kota. Aku akan dapat menjadi siapa saja yang kuinginkan; dokter, sarjana hukum, insinyur, doktorandus atau berbagai gelar sarjana yang dapat menaikkan nilai "kebangsawanan"-ku. Aku sudah hafal sejak kecil gelar-gelar kesarjanaan itu. Karena aku selalu mendengar cerita dari kakak-kakakku yang juga kuliah di kota. Lalu aku menjadi orang kota. Amboi! Sebuah impian anak kampung.
Setiap bulan Ramadan, sekolah-sekolah libur panjang. Kebiasaan keluargaku setiap bulan Ramadan, ayahku tidak pergi ke mana-mana sebab kakakku yang sekolah di kota akan mudik. Ketika kakakku mudik, akan bercerita dengan teman-temannya tentang kota. Aku sering nguping mereka bercerita. Aku sangat ingin tahu keadaan kota. Berjam-jam aku tetap betah mendengar cerita mereka yang mudik dari berbagai kota di Sumatera atau Jawa.
Menjelang Hari Raya Idulfitri, banyak keluarga yang sudah menetap di kota, mudik ke kampungku. Sehingga kampungku yang biasanya sepi menjadi ramai. Keluarga yang sudah berhasil hidup di kota, mudik dengan mobil dinas atau pribadi. Inilah salah satu pertanda keberhasilan mereka hidup di kota.
Beberapa hari menjelang Lebaran, kampungku semakin ramai. Masjid penuh sesak, hingga tidak mampu menampung lagi jemaah salat Jumat. Selesai salat, mereka duduk-duduk di beranda masjid dengan berbagai obrolan sambil menunggu waktu asar atau berbuka puasa. Ada juga yang duduk-duduk di warung hanya untuk mengobrol.
"Siapa yang bermobil sedan tadi itu?" tanya seseorang ketika sebuah sedan biru melintas di depan warung.
"Anaknya Sangun Radin," entah dari mana datangnya jawaban itu.
"Sangun Radin yang mana? Hulu atau hilir?" desak yang bertanya tadi.
"Dekat jembatan kayu, sebelah rumah Mat Panilih."
"Ooh, si Dul..."
"Hebat ya, punya mobil bagus. Kerja di mana dia?" tanya seseorang lagi, terkagum-kagum sambil merapikan pecinya yang miring.
"Di Jakarta. Katanya di Departemen Pertanian."
"Insinyur?"
"Doktorandus!" bantah seseorang sekenanya sembari menguap panjang.
"Dokter..." yang lain lagi ikut bicara, tampak ia diserang kantuk berat.
"Ah, Kau ini! Mana ada doktorandus atau dokter pertanian!" sanggah lainnya yang berkumis hitam lebat. Ngotot.
"Insinyur pertanian. Dulu dia kuliah di Bogor," seseorang menjelaskan. "Dari bapaknya itu, masih terhitung keluarga sama aku ini," ujarnya pula dengan rasa bangga.
Aku dan teman-temanku masih terus nguping percakapan di warung itu. Aku hanya berdecak kagum dalam hati: Insinyur punya mobil sedan, kerja di Jakarta, Departemen Pertanian...
"Kan tiga tahun lalu dia ngawini anaknya Haji Singa Gumuntur. Ingat nggak, Kau?"
"Anaknya yang paling tua itu," sambung yang lain lagi.
"Si Maryam...," ujar seseorang sambil ngeloyor pergi.
"Ooh, yang dulu hajatannya besar-besaran itu."
"Yang pestanya pakai orkes dangdut dari kota!"
"Ya, itu! Tapi empat tahun yang lalu, bukan tiga...!"
"Oh, Insinyur itu tadi yang nyumbang masjid. Tadi kan, diumumkan..."
"Berapa sumbangannya?" desak seseorang ingin tahu.
"Seratus ribu..."
Aku terkagum-kagum, tidak sedikit uang seratus ribu pada waktu itu. Aku masih ingat betul, harga segulung benang layang-layang dua puluh lima rupiah.
Menjelang azan magrib berkumandang, warung pun berangsur-angsur sepi. Orang-orang telah pulang ke rumahnya untuk berbuka puasa. Aku pun ikut pulang. Namun masih tetap membekas di benakku, sang insinyur yang sukses hidup di kota, punya mobil sedan, dan tentu saja banyak uang.
***
Hari ini, kebetulan aku tidak ada kuliah. Di bulan Agustus seperti sekarang ini, udara pagi Kota Gudeg dingin menggigit sampai ke sumsum tulang. Aku belum juga mandi. Aku duduk di ruang tamu rumah indekosku.
"Nggak kuliah, Kau?" sapa teman indekosku.
"Nggak...!" jawabku, "Kau mau ke mana, Jeck?" tanyaku pada Zakaria, anak Aceh, yang lebih suka dengan panggilan itu, karena agak berbau kebarat-baratan.
"Ini, lagi mau berangkat. Ada kuliah tapi agak siangan."
"Bagaimana rencana demon besok, Jeck?" tanyaku pula.
"Mungkin gagal?" jawab si Jeck.
"Kenapa, rupanya?" desakku.
"Nantilah, Kau ke kampus aja. Panjang ceritanya," jawab si Jeck tanpa menoleh sambil ngeloyor.
"Gagal bagaimana, Jeck...?" tanyaku penasaran sambil mengejar si Jeck.
"Itu, anak ekonomi. Mereka belum sepakat."
Aku kejar si Jeck sampai ke halaman. "Apanya yang belum sepakat? Kan, sudah disetujui dalam rapat?"
"Kalau temanya tentang korupsi, mereka nggak setuju. Udahlah, Kau ke kampus aja nanti. Kutunggu di kantor senat!"
Aku masuk kamarku. Aku makin penasaran. Tema korupsi? Demonstrasi gagal? Kunyalakan tape, lagu Deep Purple, Speed King's, bergema di kamarku yang sempit. Lagu-lagu rok menggugah semangatku. Suara vakolisnya, Tommy Page, melengking tinggi, terasa menyengat. Gairah mudaku bergejolak.
Pukul sembilan lewat tiga belas menit tiga belas detik waktu Kota Gudeg, aku menuju kamar mandi. Air di bak mandi masih berasa dingin juga. Selesai mandi, aku pergi ke kampus. Aku mau menemui si Jeck, batinku. Namun, langkahku berbelok ke kantor Senat Mahasiswa Fakultas Sastra. Aku akan cari informasi dulu, pikirku. Kebetulan si Doni, ketua senat mahasiswanya sedang menempelkan selebaran di depan kantor senat. Aku langsung ngobrol dengannya.
"Bagaimana, Don, rencana demon besok?" ujarku membuka obrolan.
"Entahlah, nanti sore mau diadakan rapat lagi."
"Jadi benar, kata si Jeck tadi?"
"Bilang apa si Jeck?"
"Katanya, anak ekonomi belum sepakat dengan rencana itu."
"Memang, itu yang akan dibahas dalam rapat nanti sore."
"Rapatnya di mana? Dasar plin-plan, dalam rapat yang lalu mereka udah setuju...!"
"Sudahlah, kita masuk dulu!" Doni mengajakku masuk ke kantornya.
"Anak pertanian, bagaimana?" tanyaku lagi padanya.
"Kaulah yang harus melobi mereka!" desak Doni. "Kau kan punya pengaruh di fakultasmu."
Aku terdiam. Di meja kulihat ada koran Ibu Kota terbitan kemarin. Aku bolak-balik halaman demi halaman dan membaca judul demi judul. Mataku terbelalak ketika membaca judul berita, Gelapkan Dana Reboisasi 2M, AG Divonis 10 Tahun. Aku baca berulang-ulang berita itu sambil memperhatikan fotonya. Benar! Inilah sang insinyur yang sangat aku kagumi, hingga menjadi salah satu motivasiku masuk Fakultas Pertanian. Aku lunglai. Ingatanku menerawang ke masjid di kampungku dan layang-layang jatuh di sungai.
(Sumber: Lampung Post, 23 November 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar