Jumat, 12 November 2010

Pengarang yang Disandera Tokoh Karangannya
Oleh Kurniawan Junaedhie


Ruangan itu dingin temaram. Baunya aneh, mengesankan bahwa rumah itu sudah lama tidak berpenghuni. Hanya ada terang dari tungku pembakaran yang merah menyala berkobar-kobar. Mengingat suhu yang dingin, ditambah ada tungku pembakaran, aku sempat berpikir, apakah aku sedang berada di sebuah rumah di sebuah kota dunia semacam Amsterdam, Oostende, Paris, Stuttgart, Brussels, atau Manhattan, New York? Nama-nama kota yang sesungguhnya hanya kutahu dari sajak-sajak para penyair Indonesia. Anehnya, aku juga merasa seperti berada dalam sebuah tempat di mana tinggal makhluk-makhluk aneh seperti yang digambarkan Lewis Carrol dalam Alice in Wonderland.

Begitulah. Dalam cerita ini, dikisahkan aku telah dibawa ke rumah itu oleh tokoh perempuan dalam salah satu cerpenku. Padahal, beberapa menit lalu, aku masih asyik bekerja di ruang kerjaku. Tiba-tiba perempuan itu muncul, mengerdipkan mata, dan --seperti dihipnotis,-- aku patuh saja pada perintahnya untuk membuka garasi, menyalakan mobil, menjalankannya, menutup pintu garasi, dan meninggalkan rumah. Padahal, aku yakin, saat itu aku sedang tidak bermimpi sambil berjalan atau noctabulism [1]. Karena kalau aku mengalami somnambulism [2], seharusnya ada yang melihatku, dan mencegahku. Nyatanya tidak. Jadi ini sebuah cerita yang sungguh mustahil, absurd dan tidak masuk akal sama sekali seperti cerita-cerita rekaan Kafka.
Di dalam ruangan itu juga ada lampu gantung yang bergoyang-goyang. Hanya sinarnya lemah, kalah oleh benderang tungku perapian. Sehingga, sempat pula aku membayangkan bahwa tempat ini semacam Kastil Neuschwanstein, yang letaknya di bukit dekat Hohenschwangau di selatan Bavaria, Jerman. Atau paling tidak aku merasa sedang berada di sebuah rumah bergaya gotik (kalau istilah ini benar). Ini juga mengherankan. Aku tidak pernah membuat cerita dengan setting seperti ini.
Sebagai pengarang, aku dikenal tidak pandai melukiskan rumah-rumah yang sophisticated, karena aku bukan dari kalangan itu. Jadi itulah nasibku. Akibat ketidakbecusanku menulis cerita-cerita glamor (seperti novel pop, novel metro pop), sains fiksi dan sejenisnya, maka aku hanya bisa menulis cerita tentang cinta yang abstrak dan tentang perempuan, dua hal yang siapa pun bisa melakukannya, apalagi karena semua itu dengan setting kemiskinan, sesuai kemampuanku.
Aku jelas bukan pengarang sekaliber Budi Darma yang bisa menulis Orang-Orang Blomingtoon,  atau Umar Kayam yang menulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, atau Sitor Situmorang yang menulis Paris La Nuit. Aku bukan jenis pengarang yang bisa menulis tentang salju, musim gugur, atau karpet Parsi seperti Goenawan Mohamad. Aku sendiri sebetulnya tak yakin benar, apakah kalau berada di luar negeri maka ilham akan bermunculan dan kata-kata berhamburan seperti salju? Aku tidak berani mengira-ira. Yang jelas, aku hanya bisa memeras-meras daya khayalku agar bisa menuliskan bualan menjadi kebenaran. Hanya itu tugasku, dan inilah hasilnya. 
***
Bunyi sepatu yang dipakai perempuan itu menyadarkanku bahwa saat itu aku tidak sendirian. Dibantu tempias cahaya dari perapian dan lampu gantung, samar-samar aku menangkap sosoknya. Perempuan itu hadir persis seperti tokoh yang kugambarkan dalam salah satu cerpenku: tinggi semampai, cantik, tubuhnya padat, dadanya membusung, berambut panjang, dan umurnya 37 tahun. Mirip Ken Dedes.
Karena dia diam, dan aku tak sabar menunggu, maka akulah yang memulai percakapan.
"Apa yang akan kamu katakan sehingga membawaku ke tempat ini?" tanyaku.
Aku menunggu jawabannya. Tapi, perempuan itu tidak juga menjawab. Jadi aku meneruskan, "Kalau ini menyangkut ceritaku yang membawa-bawa dirimu, katakan saja terus terang, biar aku mengerti. Percayalah, itu sekadar bualanku. Bualan itu pun tidak bermaksud untuk menjelek-jelekan kamu. Saat itu aku sedang suntuk di depan komputer, lalu karena tidak menemukan kata untuk menulis sajak, maka aku coba mereka-reka cerita. Itulah awalnya," kataku melanjutkan.
Lagi-lagi, perempuan itu tak bergeming, diam seperti patung. Itu membuatku dalam posisi yang sangat inferior. Aku hanya melihat dia menggeser posisinya sehingga sekarang berdiri di depan perapian. Oleh cahaya dari perapian, tubuh perempuan yang dibalut gaun panjang transparan itu tentu saja menghasilkan sebuah siluet yang sangat indah. Mungkin seperti lukisan S Sudjojono, atau Hardi. Pada saat ini aku sesungguhnya sedang menyesali, kenapa sebagai pengarang aku tidak mau belajar di luar masalah-masalah kepengarangan, seperti membuat film dokumenter, geografi, teknologi, astronomi? Mengapa hari-hari senggangku hanya kuhabiskan untuk nongkrong-nongkrong di kafe, sekadar membahas daun gugur, kepak burung, ricik air? Mestinya waktu yang banyak itu juga bisa kugunakan untuk bisa belajar berdebat, atau atau membaca buku-buku agar khasanah sastraku bertambah luas.
Amboi! Perempuan itu sekarang beranjak. Ia duduk di kursi bar. Kakinya mengangkang. Aku lihat betis dan pahanya yang seperti lilin. Benar kan? Aku merasa sebagai Ken Arok yang sedang terpana melihat betis Ken Dedes. Perempuan itu tetap menatapku sekaligus membuatku kikuk. Aku ingat peristiwa di hotel itu. Dia membugil di depanku, menyodorkan payudaranya yang sintal. Saat itu aku sedang mengambil air minum, tiba-tiba dia meraih pundakku, menjatuhkan tubuhku ke ranjang, dan melucutinya. Untuk sejurus lamanya dia bergerak-gerak di atas tubuhku: pelan, kemudian cepat, selanjutnya cepat sekali. Hm. Kalau orang hanya melihat mimiknya yang tidak berdosa, mana mungkin orang percaya pada kenyataan itu? Pasti dikiranya aku yang membual. Dasar pengarang.
Perempuan itu tetap tak bergeming. Dia masih duduk dengan posisi seperti tadi: mengangkang. Aku lihat paha dan betisnya yang seperti lilin. Aku sungguh-sungguh merasa seperti Ken Arok melihat betis Ken Dedes.
Kudengar suara hujan dan halilintar menyambar-nyambar. Di tengah kegelapan, di antara cahaya api yang muncul berkobar dari tungku perapian, kulihat juga ada cahaya mengerjap yang ditimbulkan oleh cahaya kilat. Tahulah aku bahwa saat itu hujan turun dengan lebat di luar rumah. Bahkan, rumah itu pun seperti terpengaruh, terbukti lampu gantungnya ikut bergoyang. Saat itu juga aku merasa limbung, seperti lampu yang dipermainkan angin.
"Cobalah berempati sedikit, seandainya kamu berada di pihakku. Bukankah cukup fair, kalau aku hanya mengambil sedikit saja dari realitas, mungkin 10 sampai 25 persen; selebihnya hanya bualanku belaka. Bukankah itu fair?" kataku menjelaskan. "Lagi pula kamu toh tahu, aku bukan pengarang yang dengan gampang membuat fakta menjadi fiksi. Tugasku hanyalah membuat sebuah bualan menjadi sebuah kenyataan tanpa harus membuat pembaca merasa dibohongi, risi, dihina intelektualitasnya, dibodohi, atau direndahkan. Lihat. Masih banyak pengarang yang mengambil hampir seluruh bagian dan peristiwa dari dirinya sendiri, dan malah mengubahnya seolah-olah menjadi fiksi. Mereka menjadi tokoh dalam fiksinya. Kenapa kamu timpakan kesalahan hanya padaku? Ini sungguh tidak adil," kataku ingin memekik.
Sekelebat aku ingat kata-kataku dalam cerpen itu:
Dia duduk seenaknya di samping saya menyetir. Dia menyilangkan kaki bahkan, mengangkat kakinya di dashboard seperti orang slebor sehingga roknya tersingkap. Dengan sendirinya, diterpa lampu-lampu jalanan, dengan sangat jelas saya bisa melihat celana dalamnya. Saya pikir, dia mabuk, kebanyakan alkohol. Tapi, saya pura-pura tidak tahu. Perempuan memang sering tak terduga.
"Oh, kalau itu masalahnya, sesungguhnya karena aku hanya ingin melukiskan kepada pembaca betapa sensualnya dirimu. Tidak lebih tidak kurang. Aku merasa punya hak untuk mengatakan bahwa kamu memang melakukan hal itu," kataku terbata. "Dan cobalah kamu ingat-ingat lagi. Tak sedikit pun aku menceritakan adegan yang lebih dari itu. Apalagi dalam kisah itu aku melukiskan diriku sebagai seorang pria budiman. Apakah aku salah?"
Aku menekuk pandangan.
Perempuan dalam cerpen itu sekarang turun dari kursi barnya. Sekilas tampak belah dadanya. Bersamaan dengan adanya kilat yang disusul halilintar, lagi-lagi muncul running text yang menampilkan bagian kalimat dalam cerpenku itu:
Begitu pelayan pembawa air minum meninggalkan kami, dia sudah memeluk saya. Saya agak kaget. Terkesiap. Dia menciumi saya. Mencopoti pakaian saya sambil juga mencopoti gaunnya sehingga kami berpelukan dalam keadaan telanjang.
"Jadi kamu mau menyanggahnya?"
Aku lihat reaksinya. Wajahnya dingin, seperti patung lilin. Dia sekarang melangkah memutariku. Aku ikut memutar pandangan mengikuti gerakannya. Terdengar tik-tok sepatunya yang berhak tinggi di antara rinai hujan.
"Atau kamu malah ingin menolak semua fakta itu dengan mengatakan bahwa tulisanku mencemarkan nama baikmu?"
Aku menangis. Terus terang, aku menangis mengingat peristiwa di hotel itu. Alangkah sialnya, kenapa pada hari itu aku harus menemui perempuan itu. Padahal, dia datang diantar oleh suaminya yang hanya menurunkannya di teras hotel untuk selanjutnya bablas pergi. Saat itu juga aku sempat bertanya, kenapa suaminya tidak ikut turun supaya kita bisa berkenalan? Tapi perempuan itu hanya tersenyum, dan mengatakan dia akan langsung pulang karena harus menjaga anak-anak mereka yang sedang belajar di rumah. Saat itu bahkan dia menampakkan wajah gembira, dan mengatakan bahwa keadaan itu lebih baik karena kita bisa bebas. ‘Bebas untuk apa?' Saat itu aku sudah ingin berteriak. Tapi, itulah salahku, aku malah ikut saja ajakannya untuk ke kamar hotel itu.
Aku sekarang menangis.
"Aku ingin minta maaf pada suamimu," teriakku pada perempuan itu.
Suasana hening itu tiba-tiba pecah oleh suara tokek di balik lemari. Aku lihat perempuan itu masuk ke dalam gelap. Hanya kulihat punggungnya yang mulus sekelebatan karena pantulan api pembakaran dari tungku pembakaran. Lampu gantung tetap terayun dengan sinar lampu yang lemah. Tubuhku mendadak jadi dingin dan lapar. Aku merasa dalam sebuah ketidakpastian. Linglung tak berdaya. Bersamaan dengan itu, aku juga mulai putus asa.

(Jurnal Nasional Edisi 7 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar