Jumat, 17 September 2010

Kapal Kertas
Oleh Beni Setia


Kalau jengkel, kalau marah, kalau kecewa, kalau bete, dan kalau iseng: Ani selalu menulis empat sampai lima kalimat di buku tulis. Lantas merobeknya, lalu membuangnya ke tong sampah atau dilempar di sembarang tempat. Terkadang, kalau hal yang diungkapkannya itu tak tuntas menenangkan hati, ia melipatnya menjadi pesawat kertas yang dilempar sembarang di halaman atau melipatnya menjadi kapal kertas yang dihanyutkan di sembarang saluran pecomberan.
Setelah itu ia menjadi tenang. Setelah itu ia bisa bersenandung - upaya buat melepas energi ingin berteriak yang diapungkan sedikit demi sedikit. Dan karenanya ia bisa kembali tenang membaca, bisa kembali tenang belajar, bisa kembali tenang mendengar lagu, bisa kembali tenang nonton TV, dan malah tambah nikmat makan atau ngemil. Meski akhir-akhir ini ia merasa tidak bisa tuntas memikirkan - mengkhayalkan - Herman, dan karenanya catatan-catatan kecil yang semakin sering ditulis itu memenuhi keranjang sampah dan terpaksa harus dibakar diam-diam. Se-kaligus tak tuntas saat diterbangkan sebagai pesawat kertas. Mungkin karena cuma meliuk-liuk di halaman. Tak mumbul, melintasi rumah demi rumah, halaman demi halaman, dan dengan menandai jalan demi jalan bisa diam-diam singgah di kamar belajar Herman - lewat jendela yang dibuka lebar-lebar.
* * *
Pada saatnya, ketika Herman pulang dari main basket dan terutama ketika ia bersiap menggarap PR atau mau belajar dan menyalakan lampu: Ia akan menemukan pesawat kertas itu, membukanya, dan membaca kegelisahan yang ditulis Ani. Mungkin ia akan bertanya-tanya tentang apa maksud kalimat pendek tiga atau lima kalimat di lembaran kertas yang kini kusut itu. Mungkin ia akan bertanya-tanya sekitar siapa orang yang menerbangkan pesawat kertas itu dengan ahli sehingga bisa mendarat dengan tepat di meja belajarnya. Dan karenanya ia ingin berkenalan dengan si penerbang pesawat kertas dan si penulis pesan. Tapi mungkinkah itu?
Ani tahu itu tidak mungkin. Karenanya ia menulis dan terus menulis, sambil membayangkan ada kapal kertas yang bisa naik dari bak kamar mandi, menaiki cucuran air kran dan masuk ke dalam pipa saluran PDAM. Terus melaju menentang arus sampai ke pipa utama yang ditanam sepanjang jalan. Bergerak mencari saluran ke rumah orang tua Herman, lalu masuk ke pipa rumah setelah menaklukkan sudut-sudut turbin meteran. Bersitahan dari arus sampai Herman mandi atau kencing atau berak dan tercengang saat mau menciduk air - karena ada kapal kertas yang meloncat ke bak kamar mandi dari kran PDAM.
Kemudian ia menyimpannya sebagai sebuah keajaiban. Yang diceritakan kepada setiap orang sebagai sihir atau mejik. Karena tidak akan ada seorangpun yang mempercayainya maka ia akan menyimpannya sebagai koleksi pribadi - diletakkan secara mencolok di meja belajarnya. Setiap pulang sekolah, setiap pulang bermain, setiap pulang basket, atau sekedar bangun tidur: ia akan mendekati meja untuk menyentuh atau mengambilnya untuk dikecup. Bertanya-tanya tentang siapa yang sedemikan ahli membuat kapal kertas, yang bisa selusupan pada pipa PDAM bagai kapal selam? Sekaligus - bila terdorong membongkar dan memeriksanya - ia mengagumi teks yang tertera dalam kertas lungsep dan basah itu.
Tulisan-tulisan seperti: Bila kau matahari akulah daun yang gelisah sepanjang malam - mengharap siang menggejala dan kau menghidupi nafasku. Bila kau siang akulah matahari yang bergegas sepanjang malam - agar bisa menjaga ka-mu dengan kehangatan. Bila kau ruh kasih akulah tubuh yang berjaga sepanjang masa - mimpi bisa bangkit dan menyanyikan lagu cinta.
Atau: Karena jari-jari ada dalam telapak tangan maka aku jari yang merindukan nampan nasib. Karena tungkai hanya kukuh pada torso tubuh maka akulah tangan yang kelayapan mencari batu pegangan - supaya tiang keberadaanku utuh. Karena dada menjaga jantung dan jantung mengirim hidup ke seluruh tubuh maka akulah nafas yang ingin berada dalam degup jantung dan hangat darahmu Karena aku cuma arca lempung yang dikeringkan dan dibakar gairah maka engkaulah nafas yang ditiupkan Allah dan menjelmakan manusia. Datanglah, jangan asingkan aku dalam asin laut tropika atau beku laut artik. Rindukanlah diriku.
Dan karena kapal kertas yang ia kirim hanyut di pecomberan dan tersangkut di pecomberan lantas karam di pecomberan maka yang senantiasa terngiang dalam ingatan Ani cuma tiga atau lima kalimat yang mentersuratkan keresahan batinnya. Teks yang semakin kuat dan semakin tajam membayang, sehingga terpaksa diterakan dalam HD komputer - yang semakin lama makin banyak jumlahnya. Mungkin karena pesawat kertas yang diterbangkannya itu hanya meliuk-liuk di halaman. Dan terkadang melengos ke kiri ketika dikirim ke kanan, dan terkadang melambung ke ketinggian ketika ingin dilajukan datar, dan kemudian menyangkut di atap atau pohon atau disia-siakan di halaman ketika tangannya merasa lelah menerbangkannya.
* * *
Sementara teks baru semakin nyaring berbunyi dalam benaknya, sementara HD komputernya makin sesak oleh kumpulan tiga atau lima kalimat yang ditersuratkan sebagai cara meredam bisikan dan teriakan yang diimlakan si Entah Siapa (dari ke-tiadaan) ke dalam benak, maka ia terdorong untuk menyampaikan hal itu tak lewat pesawat kertas gaib yang meliuk-liuk mengatasi halaman, pepohonan atau julangan tlnggi tiang listrik dan atap rumah tingkat. Nun. Nun. Dan karena tidak sekali pun mungkin sampai di meja belajar Herman, maka diam-diam Ani mengirimkan puisi-puisinya ke koran dan majalah dengan nama lengkap Lailina Chaerani Aminoedhin Setiatuhu Karo Wongtua. Dan dengan ajaib bermunculan, dan kemudian dikomentari banyak kritikus dan penyair sebagai ungkapan murni seorang remaja putri yang tidak banyak bergaul dengan puisi.
"Ia penyair yang berpuisi dengan gaya Phenomenologis. Tanpa teori dan prasangka!" kata Sutardja Senjajaya dan Afrizal Helfies. Yang segera dikutip oleh guru Bahas Indonesia di SMA Ani, dan dibacakannya agar siswa-siswanya mau be-rani mencoba menulis puisi. "Jangan takut! Coba saja!" katanya, dengan iming-iming akan memberi nilai 9 bila berhasil menulis puisi dan dimuat di koran atau majalah. Teman sekelas Ani serentak melirik kepadanya, dan menyuruh Ani untuk menunjukkan puisi yang ditulisnya selama ini, dengan tak seorangpun yang menghubungkannya nama Lailina Chaerani Aminoedhin Setiatuhu Karo Wongtua dengan nama resminya Lailina Chaerani Aminoedhin dan panggilan pendek Ani, yang po-puler di sekolah dan lingkungan rumah. "Menyebalkan!" guman Ani.
* * *
Dan karena karyanya terus-terusan muncul, dan karenanya ia terus mengirimkan karyanya secara acak ke segala koran dan majalah, dengan meninggalkan alamat e-mail dan nomor rekening Bank. Menghindar. Tak bereaksi ketika dihubungi Pikiran Masa dan Ufuk, agar mau tampil dalam panel diskusi terbatas di kanor redaksi, dan sama sekali menolak ketika dimintai biodata singkat dan potret diri. Entah bagaimana, mendadak mereka - seperti sepakat - menghentikan pemuatan teks-teks tiga atau lima kalimat itu, mereka sengaja menahan publikasi puisi-puisi terbarunya, mungkin itu cara untuk memancing kemunculannnya di muka umum, di ruang publik dalam acara baca puisi dan diskusi di Gedung Kesenian.
Hukuman yang mengerikan. Karena ia semakin gencar dirayu bisikan dan dikagetkan teriakan dari si sesuatu yang terus mengimlakan teks-teks baru dari ketiadaan - yang dalam ketidaktertahankanannya terpaksa hanya ditersuratkan dalam HD komputer. "Kenapa jadi begini?" gumannya, "Kenapa tak jadi sesuatu yang mengalir deras ke dalam kesadaran Herman, lewat koran-koran dan majalah? Sehingga ia tahu apa yang terasa dalam diriku - karenanya aku tidak bisa atraktif menunjukan ketertaraikan dan kemesraan centil model Tri Herayu Diyah Syiirsyah?" Tidak ada jawaban dan karenanya ia makin resah mendengar bisikan dan teriakan yang diim-lakan si Entah Siapa yang bersembunyi dalam ketiadaan, dan karenanya ia semakin kerasukan menuliskan teks tiga atau lima kalimat di buku tulis - yang kemudian disobek, diremas dan dibuangnya ke sembarang tempat. Atau dilipat jadi pesawat kertas yang diterbangkan sembarangan asal-asalan atau dilipat menjadi kapal kertas yang dihanyutkan di sembarangan pecomberan.
Sehingga teks-teks itu semakin keras berteriak dalam benaknya, sehingga HD komputernya makin disesaki oleh teks-teks yang terdiri dari tiga atau lima kalimat, dan karenanya terpaksa dikirimkan secara digital ke rubrik budaya Suara Karsa, Ruas Pembaru, Medan Indonesiana, Pedoman, Harian Waja, Derma Nyala, Sumonggo Pagi, Tempa Haruan, La Publikasi, Mitra dan Ahrisan. Dan karena ia tak sekali pun mau menjelaskan dirinya, maka mereka menekannya dengan tidak menerbitkan karyanya - yang mengalir deras, produktif. Mereka serentak minta dikirimi esei proses kreatif, biodata dan potret dirinya. Mereka berjanji, bila ia mau melakukan itu, maka puisi-puisinya akan dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku. Tapi apa itu perlu? Apa itu bisa membuat Herman tersentak, tertarik, dan datang memuja?
* * *
Dan bisikan dan teriakan yang diimlakan itu semakin deras frekuensinya, dan karenanya ia menjerit kuat-kuat - dalam batin -: "Herman .... Tolllooongngng!" Tapi Herman tak mendengar apa-apa dan karenanya tidak sekalipun punya perhatian untuk sekedar menyapanya. Ya. Dan karenanya ia membuat umbai jerat dari tambang plastik kuning di dahan belimbing yang melintang di depan jendela kamarnya. Ya! Dan pada gerimis panjang, ketika malam membeku dan anjing memilih mengkuku-kung menahan dingin: ia memasukkan jenjang lehernya ke bulatan jerat. Meloncat! Dan tersentak ditarik masuk dalam segala sumber suara dalam benak. Nun di sana. Dalam kegelapan di mana segala hal membeku dan kaku.
Tanpa angin. Tanpa sungai. Sunyi menjulang. Pohon-pohon berlapis es beku.***

(Suara Karya, 14 April 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar