Jumat, 17 September 2010

Makan
Oleh Agustinus Wahyono

Andai rasa lapar bisa dibuang ke sungai di belakang rumah hingga terseret ke laut di timur kampungnya, alangkah senang hidupnya. Makan tidak akan menjadi tuntutan paling serius bagi perutnya sehari-hari. Dan andai nasi sama seperti kerupuk alias sekadar variasi kosong, mendingan hari-hari dihabiskannya dengan bermain dan belajar saja.
Begitulah ia mengenang masa kecilnya ketika di rumah kakaknya ia duduk di depan meja makan yang terhidang sop buntut sapi, gulai kaki kambing, ayam kampung semur, ikan emas bakar, timun, selada, terung bulat, daun kemangi, sambal terasi, dan nasi satu panci baru keluar dari penanak nasi listrik. Sementara kakaknya mengambil piring, sendok, gelas, dan ceret air putih. Mentari siap beranjak ke atas bubungan rumah kakaknya.
*
Di kelas tiga SD ia, juga kakaknya, berhenti sekolah. Cukup bisa baca dan hitung, sudah bisa untuk cari duit, pesan emaknya. Yang bisa sekolah tinggi-tinggi cuma anak lurah. Sekolah tinggi-tinggi butuh duit banyak. Emak tidak punya duit banyak. Belum lagi menanggung sekolah adik-adiknya, yang kelak juga cukup sampai kelas tiga SD. Atau jika mendadak genteng bocor, dinding ambrol diterjang angin karena papannya lapuk diganyang rayap, beli sabun, odol, dan lain-lain, jelas semua butuh duit. Ia tidak tahu berapa biaya semua itu, kecuali sehari-hari bisa makan dan main.
Emaknya istri ketiga seorang tentara. Sehari-hari emaknya berdagang penganan goreng di warung mungil beratap daun kelapa bertumpuk dan berdinding anyaman bambu di depan rumahnya. Pisang goreng, bakwan tepung beras berisi seekor udang sungai, dan teh manis. Tak jarang ia dan kakaknya membantu emaknya. Saban sekitar subuh ia dan kakaknya digugah emaknya yang akan berangkat ke pasar, lalu ia menyiapkan kayu, menyalakan api di tungku tanah liat, dan lain-lain. Kemudian, ketika mentari telah bangun dari balik bukit sawah di ujung kampung, ia, kakaknya dan emaknya berjualan.
Tidak satu bulan sekali bapaknya pulang. Kalaupun pulang (tak lupa membawa setengah karung beras dan gula tapi tidak ada uang jajan untuknya atau juga untuk kakaknya), hanya dua-tiga hari di rumah. Dan jika berada di rumah, bapaknya lebih sering ?sembunyi? dalam kamar bersama emaknya. Giliran ia dan kakaknya menjaga warung sampai ibu-ibu dan gadis-gadis kampung berbondong-bondong ke sungai ketika mentari menyisakan sinar hangat di ufuk barat. Belum tentu sepulang berdagang ia akan menjumpai bapaknya karena bapaknya pergi lagi tanpa berpamitan. Jika malam bapaknya pulang, ia sudah tidur. Jadi, ia susah mengingat bagaimana rupa bapaknya. Yang paling diingatnya, emaknya sudah hamil lagi, lagi, dan lagi. Maka ia menjadi lima bersaudara. Sejak kelahiran si bungsu, bapaknya tidak pernah muncul lagi. Entah gugur dalam tugas, entah disekap istri tua, entah dalam pelukan perempuan lain, entah pula meninggal dunia karena sakit.
Suatu pagi emaknya mendapat berita dari ibu-ibu di pasar bahwa besok malam ada layar tancap atau ?bioskop misbar? di lapangan sepakbola kampung tetangga. ?Bioskop misbar? bukan hal yang asing. Tiap panen padi tiba atau ada hajatan kalangan pejabat kelurahan pasti muncul ?bioskop misbar?. Orang-orang kampungnya dan dari luar kampung akan berkerumun di lapangan yang telah dikelilingi dinding anyaman bambu setebal dua lapis. Sebelum senja, ia sekeluarga berkemas-kemas. Emaknya mempersiapkan diri dengan dandanan seperti hendak pergi ke hajatan pernikahan. Tapi ia dan keempat saudaranya tidak diperbolehkan ikut menonton karena, kata emaknya, buang-buang duit saja. Mereka harus menemani emaknya berdagang. Mereka mendapat tugas masing-masing, kecuali si bungsu yang meringkuk lelap di kain gendongan emaknya. Ada yang membawa meja kayu, kursi panjang, penganan, gula, teh, dan lain-lain.
Senja telah habis dilahap pepohonan di ujung kampung itu. Bulan dan bintang telah muncul meski agak terganggu oleh awan yang pekat. Di kursi panjang dari kayu ia sekeluarga duduk berderet. Sedangkan tiga kursi panjang lainnya diperuntukkan untuk pembeli. Apabila ada pria seusia emaknya mendekati atau sekadar lewat di depan lapak, emaknya akan merayu-rayu sambil memamerkan senyum bergigi indahnya. Minum ya, Pak. Teh panas, hangat, manis atau tawar. Ini pisang goreng enak, Pak. Coba saja satu, nanti bikin ketagihan. Sekali-sekali ia mencubit kaki kakaknya saking geli melihat betapa genit emak mereka. Tiba-tiba emaknya bilang, kalian jaga di sini dulu, emak mau pergi sebentar. Ia dan kakaknya mengangguk. Emaknya bangkit dan pergi bersama seorang pria.
Belum setengah jam emaknya pergi, bulan dan bintang menghilang. Pisang goreng dan penganan lainnya masih banyak terbentang. Satu per satu penonton keluar, padahal layar tancap masih menayangkan cerita. Mendadak tampil halilintar membelah langit. Lalu suara gemuruh perang di angkasa. Ia sempat menggerutu. Kakaknya berjalan kesana-kemari bersama adik-adiknya. Emaknya tidak juga kelihatan. Para penonton mulai antri keluar ?bioskop misbar?. Sementara suara air langit rontok terdengar dari arah pepohonan di ujung kampung tetangga itu. Halilintar menyambar-nyambar bumi disusul gemuruh perang berkepanjangan. Tak ayal ?bioskop misbar? menggulung layar di tengah jalannya cerita.
Ia dan kakaknya kebingungan. Emaknya entah di mana bersama seorang pria entah siapa. Mau pulang, nanti emaknya datang, dan ia bisa dihajar (biasanya kakaknya paling mudah dihajar karena tidak mau lari). Ia dapat ide. Sembunyi di bawah meja jualan, dan kursi kayu disusun jadi atap darurat. Begitulah mereka menyelamatkan diri sejenak, kendati kelimanya menggigil hingga kuku membiru, dan kesemutan karena tampah penganan tetap dijunjung di kepala. Lalu ketika hujan reda dan situasi lengang sekali, ia dan adik-adiknya akan membawa pulang dagangan dan perkakasnya. Ia tidak peduli emaknya datang kapan. Keesokan hari emaknya pulang sambil mencangking beras seperempat karung, dan dua kaleng bedak murahan. Ia atau kakaknya tidak pernah bertanya, ke mana saja emak semalam. Sebab, ia sudah hafal. Emaknya selalu lepas-lepas saja meninggalkan rumah setelah menyediakan beras beberapa ciduk kaleng susu kecil di gentong. Dan ia akan memasak beras secukupnya, kemudian diberi air berlebihan. Sayur diambil dari mana saja, termasuk kebun tetangga. Dengan menjadi bubur, ia dan saudara-saudaranya bisa makan.
Suatu pagi jelang siang sebuah gerobak bubur kacang hijau lewat. Lidahnya langsung meliuk dan membasahi bibirnya. Air liur pun diteguknya dalam-dalam. Demikian juga kakaknya. Tapi ia tidak punya uang serupiah pun. Dilihatnya gerobak itu berhenti di depan rumah pak RT sekaligus guru agama di kampungnya. Kemudian tampak pembantu pria paruh baya itu keluar membawa piring. Pak RT terlihat sedang duduk santai di beranda. Tanpa pikir apa-apa, ia mendatangi pak RT. Ia minta bubur kacang juga. Pak RT mau membelikan, asalkan ia mau memijat kemaluan pak RT di balik sarungnya. Demi semangkuk bubur kacang hijau, ia mau melakukannya. Pertama-tama ia tertawa geli dalam hati karena kemaluan itu berubah ukuran ketika diremasnya. Maka setiap lidahnya pengen bubur kacang hijau, ia akan melakukan pemijatan lagi.
Sementara ketika mangga pak RT berbuah, ia dan kakaknya tergiur melihat buah yang ranum. Ia ingin memanjat. Kakaknya tidak berani. Takut ketahuan, dan khawatir pohon mangga sudah diberi ajian antipencuri. Kakaknya hanya mengintip dari luar pagar. Ia mengambil beberapa buah, memasukkannya ke baju kumalnya. Sampai di rumah kakaknya minta bagian. Hari berikutnya ia tersangkut di pohon dengan posisi kepala di bawah. Kakaknya tidak henti-hentinya mencium tanah sambil menyebut nama Tuhan dan minta ia diturunkan. Untung ia selamat, tidak kepergok.
Persediaan beras tidak bertahan satu minggu. Emaknya jarang di rumah. Ia dan kakaknya tidak bisa diam dengan perut lapar digoyang siang. Ia mengajak kakaknya pergi ke pantai di dekat kampungnya (kadang pagi-pagi ia pergi ke sana untuk mencari kerang di pasir pantai). Di pantai banyak kayu terdampar. Lantas ia dan kakaknya pergi ke sana, mengumpulkan kayu-kayu untuk ditukar beras di warung tetangganya. Selebihnya dibelikan sekantong kecil kacang goreng. Dibagikannya merata kepada kakak dan adik-adiknya. Jadinya sedikit. ia makan dengan cepat, ia merasa kurang. Dikoreknya lubang hidung, lalu kerak yang tertempel disodorkan pada kakaknya. Karena sangat jijik, kakaknya terpaksa memberi kacang goreng yang tersisa. Ia tersenyum dalam hati.
Pernah pula, lewat tengah hari, ia hendak melewati warung tetangganya tapi si penjual tidak kelihatan. Dipanggilnya nama penjual warung dengan suara lirih. Tidak ada sahutan. Ia tahu, si penjual pasti sedang terlelap. Perlahan-lahan ia mengendap-endap, lalu mengambil beberapa telur asin. Sesampai di rumah, saudara-saudaranya girang sekali. Suatu ketika ia mencuri telur asin lagi. Tapi tidak dibawanya pulang, melainkan sembunyi dan melahap telur asin curian itu di kebun orang. Agar tidak kepergok orang-orang, ia tergesa-gesa menelannya. Akibatnya, kuning telur tersendat di tenggorokan. Serta-merta ia berlari mencari sungai untuk minum. Lega. Kemudian ia mencari keong di sawah-sawah dekat sungai itu. Di antara petak-petak sawah itu ada parit kecil mengairi sawah. Ia berhenti, membuka baju, lalu ia membendung parit itu. Air terbendung ia buang ke parit yang dasarnya paling rendah dan agak kering. Setelah air dalam bendungan agak kering, ia menangkapi ikan dan udang yang terjebak di situ. Ikan, udang, dan keong bersatu dalam bajunya. Ia pulang hanya memakai celana dalam. Saudara-saudara senang sekali karena mereka akan ikut menikmati seusai dimasak dengan pasir di atas tungku batu.
Demikian pula aksi lainnya. Suatu siang ia mengajak kakaknya ke pemakaman kampung, yang diketahuinya terdapat sebatang pohon jambu biji merah yang batangnya miring dan tepat di atas sebuah kuburan. Buah-buahnya matang menggiurkan. Semula kakaknya tidak mau ikut. Takut kualat. Tapi ia merayunya secara meyakinkan. Akhirnya kakaknya mau juga tapi dengan syarat : kakaknya tidak ikut memanjat. Sesampainya ia di atas pohon, angin bertiup agak kencang. Batang jambu biji meliuk-liuk seolah hendak membanting tubuhnya. Kakaknya panik. Ini pasti kualat, pikir kakaknya. Lalu kakaknya menciumi tanah kuburan itu sambil menangis-nangis minta ampun. Namun ia malah berteriak riang, senang bermain dengan angin. Sementara di suatu malam, di saat emaknya entah di mana, ia diajak tetangganya yang sudah remaja, mencari kodok hijau di sana. Lumayan ia memperoleh delapan ekor kodok berukuran besar.
*
Di ruang keluarga rumah kakaknya yang dilengkapi perabotan mahal, ia ngobrol bersama kakaknya seusai makan (ia tidak menghabiskan makanan di piringnya karena masakan kakaknya tidak seenak masakan yang saban hari dipesannya dari kedai bergengsi atau restoran) tentang emaknya di kampung yang kini beruban rata, bermata kusam, berkulit keriput tapi bergigi tetap rapi, dan tetap menjual penganan goreng di depan rumah.
Ia sempat bertanya pada kakaknya, apakah kakaknya masih ingat ke mana saja dulu emaknya pergi. Kakaknya menjawab, tidak tahu. Kakaknya hanya tahu serta terpenting, apakah hari ini bisa makan, dan besok makan apa lagi untuk mengusir monster lapar. Adik-kakak itu tertawa ngakak. Maklum, sekarang mereka sudah berkecukupan untuk makan sekeluarga. Suami (seorang satpam toko material) dan kedua anaknya juga tidak pernah mengeluh soal perut, selera lidah, pulsa HP, bensin motor, pakaian, apalagi kedua anaknya sudah dibuatkan rumah bagus di sekitar tempat tinggalnya. Rambutnya pun disemir merah. Berbeda saat pertama tiba di kota, ia seperti penjual jamu gendong.
HP-nya berdendang. Ia mengangkatnya. Di ujung sana seorang pria mengajaknya makan siang di sebuah kafe pusat kota. Tapi ia tidak bisa mengiyakan karena sedang berada di luar kota selama dua hari. Kakaknya mengira itu dari suaminya. Ia bilang, bukan. Itu dari pria paruh baya, pelanggan baru salonnya. Tapi ia tidak pernah cerita bahwa ada satu pria yang lebih sering mengajaknya pergi ke kafe kelas menengah, diskotik, karaoke, hotel, sauna, pantai, bahkan biaya sewa tempat untuk salon, bangun rumah kedua anaknya, beli dua sepeda motor baru, dan operasi hidung plastik diperolehnya dari ?pelayanan istimewa?-nya kepada pria tersebut. Belum pria-pria lainnya lagi, yang jumlahnya melebihi jemari tangan dan kakinya, yang tak jarang mengajaknya pergi entah ke mana lalu pulang membawa voucher HP berisi ratusan ribu rupiah dan berbungkus-bungkus makanan kesukaan suami dan kedua anaknya. ***
Daan Mogot, 2006

(Batam Pos, 11 Maret 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar