Senin, 18 Oktober 2010

Peta Buta
Oleh S Yoga


SELAMA setahun kami mempersiapkan pemberontakan yang lebih besar lagi. Kota Rakyat menjadi markas kami dan menjadi pusat kekuatan pasukan Dadeda. Tuan Jabro kini sedang menyusun rencana pemberontakan sistematis, dikembangkan dari revisi buku Keluar dari Lorong Gelap. Sebenarnya tak ada yang baru dalam revisian ini, hanya strategi pengerahan massa sedikit dimodifikasi hingga lebih mangkus dan sangkil. Dan sebuah peta buta yang katanya menyebutkan hari, tanggal dan tempat pemberontakan akan dimulai. Aku dipercaya menjadi pemimpin sebuah pasukan, beranggotakan lima puluh orang, sebuah pasukan yang sangat minim, untuk daerah yang cukup luas seperti wilayah Kota Senja, sebuah kota di barat Kota Fajar, yang sebenarnya masih merupakan bagian Kota Fajar. Kota dalam kota.
Setiap pemimpin operasi Keluar dari Lorong Gelap diberi sebuah buku yang harus dirahasiakan. Di dalam buku tercantum lima puluh nama pemimpin yang bertindak sebagai tokoh kunci suksesnya pemberontakan, tapi separuh nama-nama pemimpin itu sama sekali tidak aku kenal. Bagaimana mungkin seorang yang namanya tak pernah kedengaran ditelingga masyarakat tiba-tiba diangkat menjadi pemimpin operasi mahapenting. Kebijakan apa yang telah ditempuh. Apa karena ia masih sekerabat. Isi buku petunjuk sebenarnya sangat sulit aku mengerti, bagaimana tidak, hampir seluruh buku hanya berisi peta buta daerah yang sama sekali tidak aku kenal.
Ketika aku tanyakan pada Jangos, katanya, “Nanti saja, bila saatnya tiba.” Para pemimpin operasi pemberontakan yang lain juga tak mau buka mulut sedikit pun, entah mereka tahu atau sama tidak tahunya seperti diriku.
Kini sudah setahun tak ada kontak lagi dengan Tuan Jabro tentang kebijakan apa yang harus dilakukan. Para pemimpin pemberontak yang lain tetap saja tak mau komentar akan rencana apa selanjutnya. Dalam posisi seperti ini, aku menjadi curiga, jangan-jangan mereka telah meninggalkanku, karena mengetahui adanya sesuatu motivasi yang tidak beres dengan diriku.
Jangos aku tanya, “Kenapa tidak ada perintah apa-apa?” Katanya, “Dalam mempelajari buku petunjuk pemberontakan sendiri akan memakan waktu cukup lama.” Ini hal yang mustahil bagiku, bagaimana bisa buku yang hanya berisi peta buta dan beberapa motto perjuangan harus dipelajari begitu lama.
Aku buka kembali buku petunjuk pemberontakan. Tak ada yang dapat aku simpulkan sebagai sesuatu yang berguna. Mungkin ini semua, tergantung pada daya tafsir si pembaca. Dan, Tuan Jabro telah mengunakan kekuatan sihir untuk melindungi buku ini, dengan mengerahkan para dukun sakti, sehingga siapa pun yang berniat jahat tak akan mampu menginterpretasi dengan baik isi buku. Pasti ini perbuatan Tuan Jabro untuk mengelabuiku. Satu-satunya jalan adalah memaksa seseorang untuk mengutarakan interpretasinya atas buku ini. Tanpa ini mustahil aku menemukan jawaban rencana besar Tuan Jabro. Setelah aku sarapan telur-telur burung onta segar, segera aku pergi menemui Jangos di Kota Rakyat.
Aku hentakkan seluruh tubuh Jangos, aku seret tubuhnya ke gudang tembakau. Aku letakkan sebilah belati di samping urat lehernya. “Akan aku putus satu-satu urat lehermu, bila kau tak mau mengatakan apa sebenarnya yang dimaksud dalam buku petunjuk. Tolong pecahkan teka-teki di peta buta, yang memuat kapan dan di mana pemberontakan akan dimulai,” gertakku.
Dengan berlinang air mata, akhirnya Jangos menceritakan pemahamannya tentang isi buku. Menurutnya, “Hanya dengan memahami rasa sakit, kita akan keluar sebagai pemenang dalam kehidupan. Karena rasa sakit diciptakan oleh diri sendiri yang putus asa, atau mungkin orang lain yang sok berkuasa atas tubuh orang lain, maka jalan keluarnya adalah menguar rasa sakit semaksimal mungkin, biar kita dan semua orang tahu, serta memahami kalau rasa sakit itu benar-benar sakit—ada.”
Aku merasa dibohongi. Menurutku, Jangos hanya mengigau tak keruan, bukan kebenaran yang keluar dari mulutnya, tapi bisa ular yang bisa mencelakakan diriku.
Aku tikam perlahan urat lehernya, perlahan pula mengucurkan darah. Tapi Jangos tak merintih, justru tersenyum bangga.
“Dasar bodoh!“ pekikku. Dengan tak banyak buang waktu, aku gorok leher Jangos hingga hampir putus.
Setelah nyawanya pergi, aku seret mayat Jangos ke dalam wc—ketika itu rumah Jangos sepi tak ada siapa pun selain kami, aku potong-potong tubuhnya menjadi sayatan-sayatan yang dapat aku masukkan ke dalam lubang WC. Aku perkirakan tak akan ada yang mengetahui Jangos telah terbunuh dan mayatnya dimasukkan ke dalam WC. Orang pasti mengira Jangos diculik oleh pasukan Negeri Senja. Mungkin seratus tahun lagi semua akan terbongkar, mayat seorang pejuang yang dulunya hilang tak ketahuan rimbanya, ditemukan potongan-potongan kerangka seorang laki-laki di dalam WC rumahnya.
Hari berikutnya sama sekali tak ada berita tentang hilangnya Jangos. Tetangga-tetangganya tak ada yang membicarakan. Saudara-saudaranya kutanya di mana Jangos sekarang, tak ada yang mau tahu. Istri Jangos ketika kuhubungi, mengatakan, paling-paling suaminya masih kelon dengan pelacur kesayangan. Kalaupun Jangos mingat, istrinya sudah rela-ikhlas, tak ada gunanya mempertahankan gading yang telah retak. Kuhubungi Tuan Jabro, kutanyakan keberadaan Jangos, kenapa sudah seminggu belum muncul juga, apa mungkin dia telah dibunuh orang. Tuan Jabro malah tidak cemas sama sekali, dia mengatakan, itu kebiasaan lama Jangos, dulu ia sering pergi tanpa pamit berminggu-minggu, namun kembali juga, biarlah ia melepaskan ketegangan. Perjuangan ini memang menguras fisik dan otak kita. Biarkan pikiran Jangos segar dulu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan diri Jangos. Kerjakan tugasmu dengan benar, jangan suka ngurusin orang lain.
Aku muak melihat mulut Tuan Jabro mencerocos tak tahu apa yang telah menimpa Jangos. Akhirnya aku dengarkan siaran radio. Tak ada berita kemenghilangan Jangos. Surat kabar juga tak memuat berita tentang Jangos secuil pun.
Lalu aku beranikan diri menyurati Tuan Jabro. Aku katakan, kapan rencana pemberontakan dimulai? Seminggu aku tunggu jawaban, tidak ada. Aku surati lagi, aku katakan, kalau kita tidak segera menyerang, pasukan Negeri Senja akan terlebih dahulu menyerang, jika itu terjadi musnahlah impian kita memenangkan pertempuran. Aku tunggu surat balasan berminggu-minggu. Balasan yang kunanti-nanti belum juga datang.
Dalam penantian yang sangat membosankan, aku putuskan untuk bergerilya, menyerang beberapa markas pasukan Negeri Senja yang menyusup di Kota Senja. Kami menanti berhari-hari di jalan yang kami duga akan dilewati pasukan Negeri Senja. Kami harus bisa menangkap paling tidak seorang dari mereka untuk dimintai keterangan di mana markas mereka berada. Di hari ketiga penantian kami, malam itu sekitar pukul sepuluh munculah tanda-tanda adanya orang berjalan ke arah kami. Pada mulanya hanya terdengar salak anjing di kejauhan, kemudian berlarian babi-babi ke arah kami sambil bercicuit, jelaslah bahwa ada orang sedang berjalan cepat. Segera kami siaga. Kami bergeser dari jalan yang kami duga, ke arah datangnya suara babi di sebelah kanan, ternyata ada jalan setapak yang tersembunyi. Kami tunggui hampir lima menit, akhirnya terdengar burung-burung berterbangan dari arah depan, jelas sudah dekat. Kami hanya berlima, memang segaja pasukan aku bagi lima orang-lima orang untuk menyebar di wilayah Kota Senja, dan dua puluh lima sisanya aku tugaskan menjaga markas. Tak lama kemudian terdengar orang-orang berbisik-bisik, berbicara perlahan. Badanku ikut gemetar, inilah pengalaman pertama kaliku memberi komando, aku tenggak tuak ramuan pasukanku banyak-banyak, badanku sendikit tenang. Aku tenggak lagi. Rasanya aku mabuk. Tanah lapang di hadapanku seolah berkabut, sinar rembulan begitu suram.
Mereka nampak memasuki tanah lapang, mereka menggotong tandu, pastilah seseorang sedang terluka, di depannya ada tiga orang bersenjata, di belakangnya dua orang membawa perbekalan. Begitu mereka ada di tengah lapangan, kami segera menyerbu, tembakan ke udara berulang kali rupanya telah membuat mereka lari kocar-kacir dan meninggalkan tandu di tengah lapangan. Jadi, kami tak perlu menembak mereka.
Kami dekati tandu yang tergeletak, kami buka, rupanya seorang yang terluka parah di pahanya, mungkin pahanya hancur terkena berondongan peluru. Kami interogasi, di mana markas mereka berada. Perundingan sangat alot, ia tetap tak mau mengaku, habis kesabaranku, aku perintahkan pasukan untuk segera menghabisi. Aku pergi ke dalam hutan, aku menenggak tuak lagi.
Rupanya anak buahku mampu melumpuhkan keperkasaan hatinya dengan persuasif hingga mau mengaku. Pasukanku bersedia menjamin keselamatan dan mengobati sakit yang ia derita, bila ia mengatakan di mana markas pasukannya berada. Ia mengaku pasukannya berada di lereng Bukit Pandak.
Segera kami menuju ke sana. Kami tetap berlima. Aku ingin menikmati petualangan ini. Mungkin dengan tindakanku ini, semua yang masih curiga bahwa aku mata-mata musuh menjadi terbuka dan sadar akan kesetiaanku pada Tuan Jabro. Aku tuang tuak lagi ke dalam tenggorokan. Jalanku sempoyongan. Rasanya benar-benar berat mata ini. Aku tak peduli. Aku butuh keberanian dan kenikmatan dalam petualangan ini. Karena rasa takutku mulai meyeruak, menggapai-gapai ingin diperhatikan. Kalau aku mati pun, aku mati dalam kenikmatan yang tiada tara. Kami menyusup ke daerah markas yang ditunjukkan, dari hasil pengintaian, nampak hanya beberapa orang yang berkeliaran, mungkin hanya sepuluh orang. Segera kami berondong dengan senjata, terjadilah kontak senjata, tak begitu lama, aku putuskan menghujani dengan granat. Aku nikmati hujanan peluru dan ledakan granat, yang mengingatkanku pada permainan petasan di waktu kecil. Begitu membahagiakan. Lumpuhlah perlawanan mereka.
Kami ingin menanyai si tawanan, di mana markas besarnya bersembunyi, namun ia telah tiada, nyawanya melesat entah ke mana, lehernya terkerat pisau, bunuh diri, mungkin tak kuat melihat kawan-kawannya terbantai. Akhirnya kami buang mayatnya di sungai. Di lereng sungai, kami minum tuak bersama-sama, sebagai tanda kemenangan. Kemenangan dari peperangan yang tak berakhir. Sebuah kemenangan yang hampa dari jiwa yang mati.
(Suara Merdeka, 17 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar