Jumat, 17 September 2010

Lebaran Ini Aku Tak Pulang
Oleh Fuska Sani Evani


Ibu, bapak, adik-adik, akhirnya kita bertemu lagi dengan Bulan Ramadhan. Ibu masak apa buat buka puasa...? Kata Nari, selama ini Ibu cuma masak mi terus, ganti dong menunya, pada bosan katanya. Kan masih ada bayem di belakang rumah kita yang roboh, kan ada ayam, yang kata bapak masih selamat. Jangan di wet-wet bu, gak baik makan mi terus, bisa keriting.
Bu, aku dengar dari koran, dana untuk mbangun rumah susah turunnya ya? Ya sepertinya, kita harus berusaha sendiri bu. Karena itu, kalau pada Lebaran sebelumnya aku pasti pulang, kali ini ijinkan aku untuk tetap bekerja di sini, biar aku dapat uang tambahan. Lumayan, bisa jadi tambahan buat mendirikan rumah kita yang rubuh.
Aku dengar dari bosku, kalau aku tetap bekerja dan tidak cuti, maka aku dapat tambahan setengah gaji. Kan lumayan bu, aku bisa kirimkan untuk tambahan beli batako dan semen. Bu jadi ijinkan aku tidak pulang ya. Bukan karena apa, tapi lebih baik aku cari uang dulu.
Suryati (60) pelan-pelan melipat surat anak perempuannya, Arni (29), yang bekerja di sebuah pabrik di Bekasi itu dengan berlinangan air mata. Di sebelahnya suaminya, Wardoyo (65), dan dua anaknya masing-masing Arman (24) dan Wati (18), duduk mendengarkan ibunya membaca surat dari Arni.
Suryati bangkit dari duduknya di tikar. Ia berjalan ke luar tenda, di antara barisan tenda-tenda lainnya di Desa Ringinharjo, Kecamatan Bantul, Bantul, DI Yogyakarta.
Ditengoknya kebun belakang rumahnya yang runtuh akibat gempa tektonik 27 Mei lalu. "Wah, bayamnya tertutup debu, apa mungkin dibersihkan?" ujarnya kepada diri sendiri. Arman juga mengikuti langkah ibunya. Ia mencari-cari sesuatu di halaman rumahnya.
"Pak," teriak Arman. "Jumlah ayam kita sebetulnya berapa to?"
"Paling tinggal 20 atau 30 ekor," jawab Wardoyo ringan.
"Lumayan. Itu ada ayam jago, gimana kalau disembelih satu?"tanya Arman.
Wardoyo terdiam sejenak. "Terserah. Tapi betul juga kata kakakmu, mosok kita hanya makan mi dan sarden. Bolehlah sekali-kali makan ayam," katanya.
Arman pun menguber ayam. "Lumayan, buka puasa nanti bisa makan enak," katanya. Keluarga itu berencana mengundang tetangga di tenda sebelah untuk berbuka bersama.
Suryati mengingatkan suaminya bahwa pukul 13.00 WIB, semua kepala keluarga harus berkumpul di tempat Pak RT guna membagi kelompok.
Suryati lalu bertanya. "Kita dapat jatah kapan pak?"
Yang ditanya hanya termenung, entah karena menahan haus dan lapar atau kebingungan. "Yang jelas, nanti kita harus membentuk kelompok dulu. Nanti ketemu sama bapak-bapak pendamping dan mas-mas mahasiswa lalu undian siapa duluan baru membuat proposal mendirikan bangunan. Setelah itu baru kita tahu siapa yang duluan," terang Wardoyo pada istrinya.
Suryati lantas mengeluh. "Baru lima hari puasa rasanya lama sekali. Mau tandur (tanam padi, Red) tidak ada air, mau kerja di pasar kok lemes, Nek 'ra kuat, tak medhot yo," ujar Suryati. Suaminya terkekeh. "Barangkali ini ujian bagi umatNya. Siapa yang tabah ya bisa bertahan, yang tidak ya bisa edan," katanya.
Pembicaraan kemudian beralih ke surat Arni. "Wati, kamu saja yang nulis," kata Wardoyo. Wati pun membenahi manik-manik pesanan kawannya. Dicarinya kertas dan pena.
Kepada Kakakku, begitu tulisnya.
Ibu bilang, gak papa, tidak pulang, tetapi kakak harus jaga kondisi. Memang kami butuh uang untuk mbangun rumah, tapi tidak perlu ngoyo, apa adanya. Kalau hanya bisa mbangun rumah dari gedeg, ya tidak apa-apa, nanti kalau bapak panen bawang lagi, bisa nambahi semen.
Sekian dari adikmu mewakili bapak, ibu dan Arman.

(Sumber: Suara Pembaruan, 1 November 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar