Selasa, 30 November 2010

Perempuan dari Balik Pintu Kamar Berlukis Naga
Oleh Ganda Pekasih


LIDAH-LIDAH api dari lukisan kepala naga yang menjadi pintu rahasia tempat perempuan cantik itu muncul terasa menjilat-jilat bagai hendak membakar siapa saja malam ini. Tubuh-tubuh telah basah oleh keringat. Asap rokok yang berjala-jala dan pijar temaram lampu di sudut-sudut ruangan menjadikan arena para naga ini terasa makin pengap dan mencekam.

Uang terus bertumpuk di atas meja. Tangan Bung Jack bergetar membagikan kartu terakhir kepada semua lawan-lawan tangguhnya, tapi belum pernah dia terlihat gugup seperti malam ini. Napas-napas tertahan, semua sangat mengharapkan kemenangan pada kartu terakhir, kemenangan yang bisa mengembalikan semua kekalahan di malam-malam panjang yang telah lewat.
Tapi ketika seperti pertama kali aku terdampar di sini, dalam situasi genting, dari pintu bergambar kepala naga yang bagiku sangat penuh rahasia di dalamnya tentang Bung Jack dan perempuan cantik itu, dia akan keluar memamerkan pesonanya. Ia benar-benar bak naga betina nan anggun, selalu memakai terusan berwarna merah marun dengan belahan memanjang dari kaki hingga ke pangkal paha.
Itulah warna gaun yang selalu dipakainya sejak pertama kali aku melihatnya, merah marun itu, senyum yang penuh misteri sekaligus mendebarkan jantung setiap lelaki yang memandangnya. Bung Jack biasa memangilnya Karina. Dia bukan sekadar maskot kemenangan lelaki bergelang bahar dan cincin bermata giok itu, tapi bagiku mereka lebih bagai sepasang naga.
Seiring waktu berlalu, sesungguhnya perempuan itu kini sudah jadi milikku, aku sudah menyelingkuhinya tanpa sepengetahuan Bung Jack. Saat itu kedatanganku yang kali kesekian beberapa bulan lalu, entah bagaimana tiba-tiba dia mendekatkan bibirnya ke kupingku, berdesis seperti seekor ular berbisa. “Keluarkan aku dari sini,” pintanya seraya memasukkan secarik kertas berisi nomor telepon genggam ke dalam saku jinsku.
Setelah pertemuan pertama yang membuat kami seolah-olah dalam keterkejutan, saling terpana dengan mata bergelimang cahaya, aku segera tahu bahwa perempuan itu tertarik kepadaku, begitupun yang kurasakan. Aku pun terus memaksa untuk ikut berjudi walau sebenarnya aku hanya mementingkan berjumpa dengannya, menunggu dia kembali mendesiskan harapan ke telingaku. Uang kiriman istriku, Marni, dari Saudi pun ludes demi malam-malam yang mendebarkan itu.
Kini cinta kami menyatu, dan kami akan keluar dari kota ini untuk membina rumah tangga. Risiko jika Bung Jack mengetahui pengkhianatan ini, dia pasti akan membunuh kami berdua.
Dari Karina barulah aku tahu bahwa Bung Jack di samping menjadikannya simpanan, juga umpan bagi mereka yang menang besar malam itu untuk dikuras kembali uangnya. Umpan yang terlalu istimewa menurutku dan sungguh tak pantas dijalani Karina.
Kata yang pernah meniduri Karina, seperti tato naga di lengan Bung Jack, Karina juga memiliki tato yang sama berbentuk melingkar dari mulai punggung hingga ke perut. Mereka yang pernah meniduri Karina serasa bergulat dengan naga betina yang tak berhenti mendesis dan membelit ke sana kemari dengan liarnya.
Pada mulanya dulu, menurut cerita Karina, Bung Jack datang ke desanya untuk mencari wanita-wanita muda untuk dipekerjakan di berbagai tempat hiburan. Desanya selama ini memang terkenal gudang lahirnya perempuan-perempuan cantik primadona tempat-tempat hiburan. Dia sempat pula mendatangi petilasan Nyi Layonsari sang penguasa gaib Pantai Utara meminta restu, hingga dia menemukan Karina di sana. Ketika itu Karina bunga yang baru mekar dan kecantikan unik yang dimilikinya dianggap warga sebagai titisan Nyi Layonsari, tapi hanya beberapa waktu kesenangan dan kemewahan itu mampir padanya, beberapa bisnis Bung Jack kolaps hingga mereka tinggal memiliki rumah kecil tempat mengumpulkan para penjudi.
Mereka bahu-membahu agar tidak kehabisan modal, tapi Bung Jack lebih banyak kalah hingga terpaksa menjual Karina demi modal yang harus kembali. Semua penjudi besar mengaku pernah menikmati Karina, kecuali aku.
Aku akan menjadikan Karina istriku setelah Marni pergi ke Saudi lima tahun silam demi masa depan anak perempuan kami yang kini sudah berumur tujuh tahun, Raisa. Dia tinggal di desa Cibalengkong, Tasikmalaya, bersama neneknya. Marni juga sedang membangun rumah bertingkat  dengan gaya minimalis di kampungnya sana.
Aku dan Karina selalu mencuri janji di mal. Biasanya kami cuma nonton bioskop, berpindah-pindah agar tidak diketahui Bung Jack dan teman-temannya. Aku biasanya membeli dua tiket lebih dahulu dengan nomor bangku berdampingan, satu untukku dan satu untuk Karina yang kutitipkan ke petugas karcis. Beberapa saat setelah film diputar, Karina akan masuk dan duduk di sampingku.
Kami kencan tak pernah lebih jauh dari sekadar nonton, tujuan terbesar kami adalah mematangkan rencana pergi meninggalkan kota ini, hidup di tempat yang tenang dan tenteram, dengan ataupun tanpa kemenangan terakhir di meja judi.
***
Kalau malam ini aku menang besar, membawa Karina pasti makin mudah. Kalau gagal dan Bung Jack juga kalah, Karina bisa ditiduri penjudi lain yang membuat aku bisa nekat membunuh mereka malam ini. Aku sungguh tak tahan lagi membayangkan tubuh calon istriku itu digauli penjudi tengik yang mulutnya berbau alkohol.
Kalaupun aku kalah, asal Bung Jack yang menang, tak masalah. Bung Jack tak akan menjual Karina, dia akan lupa diri bersenang-senang seperti biasa. Judi adalah darah dagingnya.
Ketika kartu terakhirku menjadi penentu permainan malam ini, angka yang kudapat adalah sembilan, kartu di tanganku tidak ada yang bisa mengalahkannya. Aku menang! Bung Jack dan tiga penjudi di kiri kananku dan para pengawal mereka terhenyak. Inilah yang kutunggu-tunggu, menang besar, lalu melarikan Karina. Hidup adalah permainan angka-angka, dan angka adalah takdir yang indah.
Kuraup uang seratus juta lebih di atas meja ke dalam ransel dengan tangan gemetar. Bung Jack memaksaku kembali bermain dengan mempertaruhkan Karina, tapi aku tentu saja menolak.
Kulihat Om Jack meraba si bungkuk yang terselip di balik jaket hitamnya.
“Kenapa kau tidak pernah tertarik dengan dia?”
“Maaf, Bung, istriku jauh lebih cantik daripada Karina, lagi pula dia sangat setia dan bekerja keras di negeri orang demi keluarga yang dicintainya.”
Lelaki itu tampak menahan marah, lalu membiarkanku melenggang keluar menuju gudang belakang.
Tiba di luar aku segera mengabari Karina bahwa aku menunggunya setengah jam dari sini di tikungan Grasia, di sebuah restoran masakan Tiongkok, dekat kios peramal nasib. Malam ini juga aku akan melarikan Karina ke kota yang sudah kami rencanakan dengan menyeberangi laut antara ujung dua pulau dan kami akan sampai di kota pelarian besok malam.
Tiba di Grasia, aku santai sejenak, kupesan minuman dingin dan seporsi kwetiaw sapi Koh Wang langgananku, tapi belum sempat pesananku diantar sungguh aku terhenyak ketika merasakan tengkukku dicokok benda dingin.
“Kubunuh kau…. Ayo kembali.”
Bajingan tengik! Ada apa dengan Karina, kenapa rencana berubah?
Oh, barangkali semua penjudi pernah dia beri cerita atau dia kirimi SMS, tolong keluarkan aku dari sini….
Dasar tolol! Itu pasti semacam tipuan: Tak boleh ada yang menang tanpa kembali ke meja marmer bundar dingin….
***
Aku sangat mencintai Karina. Bahkan setelah pengkhianatannya itu, aku tidak sakit hati. Setelah uang kemenanganku terkuras separo di tangan Bung Jack malam itu, Karina bilang ketika aku berjalan pulang di lorong belakang, bahwa dia sangat menyesal tak sadar SMS-ku diketahui Bung Jack. Aku percaya dengan ucapan itu, aku yakin Karina jujur.
“Sebagai tanda cintaku, bawalah aku tidur bersamamu…,” katanya nakal.
“Aku akan tetap memegang janjiku bahwa aku akan tidur bersamamu setelah aku berhasil melarikanmu dari Bung Jack.”
“Dia naga yang lebih licik dan cerdik di luar dugaanmu, Sayang.”
“Kematiannya ada di tanganku….”
“Sementara aku sudah mati di sini sejak lama? Kau percaya aku tidak pernah dan akan mengkhianatimu bukan?”
“Aku melihat mata yang tidak pernah berbohong.”
“Aku pun melihat sinar cinta di mata sepasang elang yang memancar dari hatimu, yang membuatku lebih baik mati jika tidak bisa keluar dari sini bersamamu.”
“Itu pasti, Sayang, lihatlah bulan itu, kita akan bebas….”
“Bulan itu bersinar sangat indah….”
“Ya, sangat indah, Sayangku….”
***
Marni terpaksa bekerja ke Saudi meninggalkanku lima tahun lalu, minggu depan dia kembali ke tanah air. Dia bilang dia membawa uang seratus lima puluh juta rupiah dalam bentuk riyal, uang bergambar raja Arab Saudi yang diburu jutaan tenaga kerja itu demi suami, istri, anak-anak. Hmm, tentu itu kabar menggiurkan bagi seorang penjudi yang sedang dimabuk cinta.
Marni bilang lewat telepon dari Saudi dua hari lalu, jemput aku di Bandara Soekarno-Hatta pukul tujuh malam. Dia juga sangat rindu kepadaku, majikannya pernah menggodanya, bahkan sempat beberapa kali ingin memperkosanya, tapi tidak berhasil.
Ketika aku menceritakan ide untuk merampok Marni, Karina tersenyum. Matanya menatapku nyaris tak berkedip, lalu dia tertawa gembira.
“Pura-pura ada perampokan dan aku menyamar jadi perampok yang akan menyikat habis uang istrimu?”
“Ya, hal itu mudah sekali, bukan?”
Karina semakin lebar tertawa dan menciumiku.
“Sangat mudah, Sayang. Itu sangat mudah….”
***
Saat yang dinanti, aku menjemput Marni ke bandara, kami berpelukan hangat di pintu keluar terminal kedatangan. Tak henti-henti dari bibir Marni terlontar pertanyaan tentang buah hati kami, Raisa. Tentang kenapa aku tidak meneruskan usaha restoran Sunda yang dimodalinya, tentang rumah barunya di Tasikmalaya, dan semua ditanyainya dengan nyinyir, kenyinyirannya terasa bagiku sangat berlebihan.
Lalu di perjalanan dengan taksi sebelum memasuki terminal luar kota yang akan membawa kami ke Tasikmalaya, di satu tempat yang sudah kurancang bersama Karina, taksi pun kusuruh berhenti, kukatakan kepada Marni aku hendak membeli sebungkus rokok.
Aku turun dari taksi.
Sebuah motor kemudian tepat berhenti di depan taksi, aku tahu itu Karina yang menunggu di samping bengkel motor tempat kami mematangkan rencana siang tadi, tapi kenapa dia berboncengan?
Orang di boncengan motor turun masih dengan helm, kulihat gaya berjalannya…. Oh, bajingan tengik! Lalu, dia menodongkan senjata ke Marni, Marni menjerit-jerit memanggil namaku dan memanggil polisi, lalu di luar dugaanku terdengar pistol menyalak, tas Marni direntapkan.
Lalu, penembak itu membuka helmnya.
“Hei…. Aku tunggu di tempat biasa!”
Aku terhenyak.
Karina pengkhianat!!!
Murni pun tak bergerak. Oh, Tuhan, dia bermandi darah….
Marniiiiiiii!
Jangan mati Marniiiii!
***
Bung Jack duduk mempermainkan asap rokoknya menunggu di meja marmer bundar dingin itu seperti tak terjadi apa-apa. Aku terhuyung mendekati meja di mana si bungkuk tak biasanya ada di situ.
Bung Jack melemparkan tas hitam ke arahku.
“Lima puluh juta bagianmu, isinya tidak sampai seratus lima puluh.”
Aku menangis.
“Marni kenapa mati, Jack…. Raisa tak punya Ibu….”
“Itu kecelakaan kerja….”
Oh… Bajingan licik!
***
Seperti yang dijanjikannya, Karina tiba di kafe pojok Grasia. Malam ini aku harus pergi bersamanya seperti juga keinginannya walau dia seorang pengkhianat.
Tapi….
“Aku tidak akan bisa hidup dengan lelaki yang sanggup merampok uang istrinya, Tom,” katanya penuh sesal.
“Karina… Apalagi? Ayo cepat kita tinggalkan tempat ini.”
“Sudah terlambat, Tom….”
“Semua sudah kupertaruhkan untukmu, hidupku, istriku!”
“Aku berubah pikiran, ingat aku pernah bilang, Jack lebih licik daripada yang kau duga.”
“Kaulah yang licik, kalau tidak dari mana Jack bisa tahu semua ini?’
“Itulah masalahnya, aku dan Jack setiap malam telah bersumpah setia di balik pintu rahasia bahwa kami adalah sepasang naga….”
Aku sadar bahwa selama ini dia adalah perempuan yang keluar dari pintu bergambar naga yang kuanggap rahasia pada mulanya.
Bung Jack tiba-tiba muncul di ujung pintu kaca, melangkah ke arah kami.
Mereka berdua memandang ke arahku kini dengan tersenyum, lalu tangan Bung Jack meraih pinggul perempuan bergaun merah marun itu. Keduanya melangkah pelan meninggalkanku bersama derai tawa.
Mereka berjalan di bawah lampu-lampu temaram dini hari di ujung pecinan yang sunyi, saling berangkulan.
Saat mereka hilang di kejauhan, aku berharap ada suara menyalak lewat tangan Karina yang merampas si bungkuk dari pinggang Bung Jack. Lalu, Bung Jack terguling di selokan berlumuran darah, kemudian Karina datang kepadaku dengan berlari.
Tapi, semua itu hanya angan-angan kosong, tak terjadi apa-apa. Karina tak lebih seorang pemain sandiwara. Dia tak pernah punya cinta itu, dia perempuan licik!
Dini hari terasa semakin sunyi, isakku menderas. Aku kehilangan Marni. Aku seorang pecundang!
***
Pintu bergambar kepala naga itu akhirnya didobrak ramai-ramai dari luar setelah dua hari Bung Jack tidak muncul-muncul. Di dalam kamar remang-remang yang mencurigakan itu terlihat Bung Jack terkapar berlumur darah. Para penjudi yang berkerumun di luar terhenyak.
Di mana Karina?
Pada kaca rias di kamar temaram itu aku penasaran melihat bercak-bercak tulisan berwarna merah dari sepotong lipstik yang berceceran….

Titisan malam….
bersayap malam….
berpulang ke malam….

Siapa kamu yang sesungguhnya Karina…?
***
Sebuah taksi berwarna biru malam tepat berhenti di sampingku saat aku baru saja keluar dari gudang belakang rumah Bung Jack, dini hari. Jalanan sunyi beraroma kematian, hanya terdengar suara walet-walet yang sudah memadati sarang-sarangnya di loteng-loteng rumah.
Jendela taksi biru malam terbuka bak layar.
Dia tersenyum nakal….
“Karina….”
“Selamat tinggal, Tom. Kau masih beruntung dibandingkan Jack, dibandingkan Bahar yang membunuh istri dan menjual organ tubuhnya, juga dibandingkan Bobi yang lompat dari apartemennya karena meja marmer bundar itu. Selamat tinggal, Tom. Aku akan pergi ke malam lain dan meja yang lain….”
Lalu, pintu jendela taksi hitam itu menutup seiring derai tawanya.
“Karina…!”
Aku berusaha mengejar taksi itu, tapi dia lebih cepat.
“Bajingan, iblis licik….”
Sepanjang jalan sunyi aku hanya bisa memaki dan merutuki perempuan licik itu, yang membawa lari cintaku hingga detik ini. (*)


Ganda Pekasih, menulis cerpen, novel, dan skenario. Pernah menjadi editor majalah Anita Cemerlang. Kumpulan cerpennya yang laris berjudul Cinta Wanita Berhati Cahaya. Novel terbarunya, Sang Dewi. Saat ini tinggal di Jakarta.

(Jawa Pos Edisi 28 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar