Jumat, 17 September 2010

Seperti Terdengar Suara Tonggeret
Oleh Beni Setia

KAMPUNG Sono memanjang 1,1 kilometer ke selatan. Rumah-rumah ada di timur dan barat jalan makadam, yang bermuara di jalan provinsi kota kecamatan, dan berawal dari setapak di kampung dan ladang perbukitan—5 kilometer di sana. Rumah-rumah luas dengan halaman depan luas, dengan halaman belakang pesa-wahan yang datar ke barat dan ke timur, dan dengan halaman samping yang sangat lebar—terkadang 2 atau 3 petak sawah.
Kota kecamatan Pahatu merupakan rentang jalan aspal timur dan barat. Ada pertigaan di timur, dengan jembatan saluran primair dan Pegadaian di sebelahnya. Dan pangkalan bis dan dokar, pasar, deretan toka, pertigaan Kampung Sono, per-tokoan, perumahan, kantor kecamatan, alun-alun dengan masjid di barat dan SD di utara dan timurnya. Merentang 2 kilometer, Kampung Kidul, dari pasar sampai di belokan barat, yang dibatasi irigasi saluran primer di selatan.
ADA lima saluran tersier di Kampung Sono. Memotong jalan dengan gorong-gorong berdiameter 0,60 meter. Yang tak cukup besar untuk menampung limpahan hujan dari sawah dan karenanya meluber ke jalan dan halaman atau tanah terbuka.
Pada usia 4 tahun, dengan membawa kaleng bertali, aku pernah bingung dan penasaran akan sesuatu yang dengan kuat menarik ke dalam gorong-gorong. Aku turun. Merasakan arus. Dengan berpegangan mencari sesuatu yang dengan amat ku-at menarik kaki ke dalam gorong-gorong. Lalu aku terhisap dan pingsan. Dan te-tangga yang selalu menonton banjir setelah hujan reda berlarian, mencebur ke sa-luran dan menarik tubuhku yang menyumbat mulut gorong-gorong.
Itu momen kematian yang pertama. Tubuhku dibaringkan di tanah, ditekan di perut dan dada. Air kotor muncrat. Aku menangis ketakutan dan kedinginan. Mung-kin begitu, saat mendengar cerita orang beberapa tahun kemudian. Aku cuma ingat samar, seperti realitas mimpi, akan rasa ingin tahu dan kesembronoanku mencebur dan mencari sesuatu yang manarik apa pun ke dalam gorong-gorong. Arus deras itu, belum dipahami.
SALURAN primer itu bermula dari Sungai Sigana. Mungkin 4 kilometer dari kota kecamatan Pahatu, dari bendungan yang terletak di mulut ceret Lembah Luhur dan Lembah Handap, yang menyempit jadi zona 50 meter. Di kanan perbukitan. Di kiri perbukitan, yang dipotong jadi jalan provinsi ke kota kecamatan Nenggang dan saluran irigasi di bibir palung Sungai Sigana -- jurang sedalam 7,40 meter. Saluran yang meliuk ke timur dan menuruni kemiringan tanah 10 derajat zona kota Paha-tu. Saluran beton sempit dengan arus deras yang dipakai berhanyut di siang hari, oleh anak-anak yang berdatangan dari kampung-kampung dan kota Pahatu.
Tapi hiburan berenang terbesar ada di setiap lubuk Sungai Sigana. Sederetan kolam renang yang berjajar sepanjang 6 kilometer zona kota Pahatu. Anak-anak memilih secara acak lubuk yang dijadikan kolam renang, dan dari mulut ke mulut disampaikan ajakan untuk mendatanginya. Tak pernah pasti, kenapa satu lubuk di-pilih dan kemudian ditinggalkan.
Dalam kelasakan di hari cerah musim penghujan aku dan tiga kawan menca-ri lubuk untuk mencebur, berhanyut-hanyut lalu berenang-renang. Kemudian makin ke hulu mencari awalan yang lebih deras. Setelah mengabaikan sebuah ulekan, men-dadak aku memilihnya dengan sembrono. Mencebur ke ulekan, terhisap dan terpiut sehingga nafas sesak dan tak ingat apa-apa selain instink menyebut Allah. Spontan. ”Aku mati!” seruku. Tiga menit kemudian ulekan itu mengapungkanku ke kederasan arus. Berhanyut menenangkan diri dan berenang ke tepi, meraih batu dan berbaring menumpulkan kesadaran.
PASAR kota Pahatu buka setiap hari, tapi Selasa dan Kamis merupakan hari pasar besar, karena selalu muncul tukang obat keliling, yang mengumpulkan orang dengan permainan sulap. Batu besar yang ditegakkan di ujung lelancipnya dengan seimbang, aplikasi simetris bentuk yang menakjubkan. Pemain biola buta yang bisa meniru lenguh angin dan tangis. Ilmu kuat, di mana anak terpilih bisa menyangga orang dewasa -- meski awalnya naik ke kuduk si anak berulang-ulang dan kemudian naik ke punggung setelah minum obat. Sepeda roda tunggal, sapu tangan yang hi-lang dan diketemukan entah di mana Dan banyak lagi.
Saat belum sekolah, aku selalu pergi menonton. Tertawa dan terpuaskan mes-ki yang dijual itu cuma nonsense, hanya placebo pemberi kekuatan ekstra, untuk menghilangkan kutil, obat demam, dan pasta gigi bubuk. Dan di tengah kerumuhan dan lalu lintas yang jadi lebih ramai aku terkadang menyeberang ke utara ke de-retan toko Cina, lantas menyeberang lagi -- sekedar menunjukkan berani dan bisa. Dan satu kali aku menunggu sebuah truk mendekat, lantas segera menyeberang di hadapannya. ”Biar terlihat oleh si sopir,” pikirku.
Truk direm kasar. Orang-orang berteriak panik. Seseorang menjemba tanganku dan mmbawa ke trotoar. Memarahi dan beruleng-ulang mengtakan agar aku menye-berang setelah kendaraan lalu dan jalanan kosong. Aku mengernyit. Bukankah akan lebih aman bila menyeberang di hadapan kendaraan yang melaju agar sopirnya bi-
sa melihat yang menyeberang?
AKU menemukan cincin bermata coklat-kehitaman dengan ring yang dibelah sehingga lingkarannya bisa dibesarkan atau dikecilkan. Aku suka memainkannya di telunjuk kanan dengan jari kiri. Sehingga sering tidak konsentrasi ketika berjalan. Sekali aku berhenti di tepi aspal ketika mau menyeberang. Membenahi cincin dan tersentak oleh teriakan orang-orang dan sebuah laju deras roda sepada motor seki-tar dua senti dari ujung kaki. Aku tersentak. ”Selamat,” pikirku.
Tapi, dua jam kemudian, aku meloloskan cincin itu dan melemparkannya ke tepi jalan setelah merasa pasti tidak ada orang yang mengawasiku. Membuangnya sembarangan seperti satu saat dulu aku menemukannya secara sembarangan. Mung-kin memang cincin itu yang menyelamatkanku, dengan menahan langkahku menye-berang secara semborono di lalu lintas kota Pahatu yang lengang. Tetapi mungkin juga cincin itu yang membuatku memusatkan diri padanya dan melupakan keseki-taran sehingga menyeberang secara sembono. Mungkin.
Saat itu aku masih SMP, dan percaya kalau aku masih terlalu kecil untuk barang perhiasan seperti itu. Lagi pula aku harus bangun lebih pagi agar tak ter-lambat memasuki sekolah, 3 kilometer dari pertigaan di timur kota, dengan berjalan kaki. Setiap hari. Senantiasa.
KETIKA SMA aku kos di kota kabupaten Nunggelis, 20 kilometer ke timur. Bertemu dengan banyak orang, senang nonton film, dan bergerombol dan memben-tuk gang. Suatu malam kami berkelahi di depan bioskop, saling memukul, tapi ka-mi terdesak sehingga berpencar sambil diuber, dilempari. Aku lari, pontang-panting dan menyeberang memburu sebuah gang. Ketika menyeberang aku melihat sebuah motor laju dan direm mendadak menimbulkan derit yang melengking. Lajunya pas terhenti di hadapan, sehingga harus memutar di depan roda sebelum lari ke gang.
Aku ngos-ngosan di kamar kos. Terengah-engah diburu hantu kelompok liar, yang memburu sambil sesekali melemparkan batu, dan laju dan derit sepeda motor yang membuat waktu seperti berhenti, sehingga orang-orang yang memburu itupun jadi kelu. Dan karenanya aku punya momen untuk menyelinap. Menarik nafas lega. Menurunkan tensi darah dan ruap keringat menyisakan rasa kersang di kulit. Sete-lah itu bangkit. Mandi keramas. Menyalakan radio dan berjanji tak akan mengha-biskan waktu untuk selingan di luar belajar.
Aku lulus dengan gemilang. Ikut tes PT dan lulus, kuliah serius dengan bi-aya ngepres, dan merasakan hidup yang biasa-biasa saja. Terkendali. Datar. Dan, kata banyak orang, berhasil. Setidaknya setelah lulus dan jadi PNS di Kabupaten.
Ikut beberapa pendidikan dan jadi yang dapat promosi. Lancar. Biasa-biasa saja.
SEKARANG, ketika langsam melajukan mobil di jalan Kampung Sono, aku mengenangkan semuanya. Mungkin sebenarnya aku sudah mati lima kali dan tidak jadi mampus karena belum waktunya mati. Memang -- Subhanallah! Sekaligus aku juga mengerti, kalau hidup itu berbatasan langsung dengan maut dari detik ke de-tik, meski mungkin perbatasan tipis dalam ukuran hanya sepermilyar detik atau se-detik itu tak pecah karena kunci pemacahnya adalah takdir si bersangkutan. Tapi kapan itu? Bukankah itu bisa berarti sesaat lagi?
Aku mengawasi rumpun bambu yang meladang menaungi zona wakaf kubur-an kampung di ujung Kampung Sono. Dan seperti terdengar suara tonggeret, nya-ring seperti memanggilku untuk datang memburunya -- seperti di masa kecil dulu. Dan menyadari itu di setiap pulang membuatku merasa yakin akan dikuburkan di sana. Mungkin setelah sampai di rumah dan berselonjor menunggu makanan disaji-kan. Mungkin ketika pulang ke kota kabupaten Nunggelis. Mungkin ketika tidur di rumah. Mungkin ketika menulis di kantor. Mungkin ...
Dan krenanya aku hidup dengan istigfar serta kalimat tauhid. Aku yakin: aku tak punya banyak kesempatan lagi, dan karenanya menyuntukkan diri dengan men-dekatkan diri pada Yang Maha Memiliki. Sudah lama mnereguk nikmat dunia dan kini saatnya meninggalkan segala fatamorgana dunia -- di luar kewajiban menum-buhkan anaknya jadi yang bisa mandiri. Memang!***
(Jawa Pos, 11 November 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar