Senin, 18 Oktober 2010

LAILA: Tarian Pengorbanan
Oleh Zeventina Octaviani


DUA “bodyguard” mengantarku, satu bertugas merangkap supir. Badan mereka besar-besar. Dari ototnya terlihat bahwa mereka adalah orang-orang terlatih untuk menjagaku. Mereka mengantarku ke sebuah hotel mewah berbintang 5.
Kamar 462. Doakan aku selamat, ya…,” bisikku lirih. Salah satu dari bodyguard itu menatapku. Sorot matanya sulit kumengerti. Aku tak tahu apa yang ada di dalam hatinya, tetapi di balik wajah garangnya, kulihat kedamaian.
“Hati-hati,” katanya singkat saat melepasku. Pistol tersembunyi di balik celananya yang tertutup kantong besar. Aku tersenyum padanya sebelum berlalu. Rahadian.
Di lift, kulihat bayang diriku. Tubuhku tirus terbalut rok mini dan atasan hitam menerawang. Tubuh yang jiwanya seperti keluar dari jiwaku. Entah jiwa milik siapa, sulit kukenali lagi.
***
Di Indramayu, setelah ibu sakit keras yang mengakibatkan tubuhnya mengeluarkan bau-bauan tak sedap, aku sering mencari tikus untuk ditukar sejumlah uang. Aku sudah berusaha melamar untuk bekerja ke sana-ke mari, namun begitu sulitnya dengan ijazah SMA yang kumiliki.
Karena banyak sekali tikus liar, maka pemda setempat memberikan sejumlah uang untuk setiap tikus yang terbunuh. Aku bisa mengumpulkan uang untuk pengobatan ibu.
Teman sebayaku banyak yang menjajakan tubuh ke para lelaki hidung belang. Mereka bergerombol berdiri di pinggiran jalan setiap malam tiba. Dalam sekejap mereka mendapatkan uang cukup banyak. Aku tak tertarik. Aku memilih berburu tikus, lebih halal daripada menjajakan tubuh.
Kini, aku terpaksa harus mengingkari janjiku. Walau seluruh manusia di muka bumi ini mengutuk pun aku rela. Angina Pectoris yang di derita ibu, di tambah Herpes Simplex Virus yang menyebabkan bisul bau dan bernanah di sekujur wajah ibu, membutuhkan biaya besar untuk mengobatinya. Aku ingin ibu sembuh.
***
Lelaki yang akan meniduriku kali ini adalah seorang bos dari Jepang. Perawakannya pendek dengan perut tambun. Setelah mandi, aku mulai menari. Menarikan tarian yang sengaja kuciptakan untuk membuatnya ketagihan. Tarian yang melibatkan seluruh panca indraku bekerja. Tarian penuh gelora.
Terkadang, tangan kasarnya memperlakukanku tidak senonoh. Mencakar kulitku hingga terasa pedih, namun semakin pedih, bayang wajah ibu semakin tergambar jelas. Semakin pedih terasa, kecintaanku pada ibu semakin kuat.
***
Bapak kandungku adalah seorang bupati. Dia yang seharusnya bertanggung jawab, malah lari bersama wanita simpanannya, membawa semua harta yang kami miliki. Kini kami menempati rumah kontrakan yang kecil dan kumuh.
Bapak menceraikan ibu di saat ibu butuh dukungan atas sakit yang dideritanya. Bapak memanipulasi harta gono gini bersama pengacara sahabatnya. Permainan kotor yang menyakitkan hatiku.
Luka yang diderita ibu begitu sempurna. Jiwa dan raga. Aku marah pada Mbak Ning yang menghalangiku menusuk bapak dengan pisau.
“Biarkan bapak gila, kita tak usah terbawa gila.” kata Mbak Ning. Aku menangis di pelukannya.
***
Dari hasil melacur, rupiah demi rupiah kubayarkan ke rumah sakit. Dengan perasaan bahagia membayangkan ibu akan segera sembuh, kutengok tidurnya yang pulas. Wajah ibu mulai cerah. Bisul dan nanah di sekujur tubuhnya sedikit berkurang.
Mbak Ning tengah bersenandung ketika aku datang. Dia begitu telaten merawat ibu. Namun begitu melihatku, raut wajahnya berubah.
“Jangan dekati ibu!” bisiknya ketus.
Tak ingin ibu paham apa yang terjadi, aku keluar diikuti Mbak Ning. Di kursi ruang tunggu, kami duduk berhadapan.
“Jika kau masih mau kuanggap sebagai adikku, berhentilah melacur!” katanya tegas. Aku menciut. Tak mengira Mbak Ning akan tahu. Kepadanya, aku berbohong mengatakan aku kerja di bank.
“Tuhan akan membuka jalan dari setiap kesukaran. Tak perlu melacur pun, Mbak yakin ibu bisa sembuh!” katanya.
Aku tersenyum sinis. Aku telah lakukan itu. Tak seorang pun dari rekanan-rekanan bapak yang mau membantu. Bahkan mereka melecehkan dan menghinaku.
“Percuma Mbak. Aku sudah mencoba, tapi mereka balik menghinaku.”
Mbak Ning menggeleng. “Tetap akan kucoba. Tolong jaga ibu dan berjanjilah padaku untuk berhenti melacur!”
Aku mengangguk. Mbak Ning menghampiriku lalu memelukku. Dengan ketegaran luar biasa, Mbak Ning meninggalkanku. Dalam hati aku berjanji untuk berhenti melacur.
***
Dua hari sudah, Mbak Ning menghilang. Dua hari itu pula, aku tak beranjak dari rumah sakit menemani ibu. Suster mulai bicara tentang rupiah yang harus kubayar untuk menebus obat ibu. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan untuk mengulur waktu.
Malamnya, saat ibu tertidur pulas dan aku tengah duduk di luar menatap bulan, seseorang menghampiriku. Dari kelibas bayangnya, cara dia melangkah sampai detail gerak-geriknya, aku hafal.
“Apa kabar?” sapanya kaku. Walau lama berteman, kami jarang bicara.
“Baik.” jawabku.
“Kapan kamu akan kembali?”
“Aku tak akan kembali.”
Lalu sunyi.
Dia menatap langit. Tubuhnya yang tinggi menjulang menciptakan bayangan raksasa. Sampai pagi, dia tetap berdiri mematung. Menungguiku yang duduk bertopang dagu di bangku.
Pagi hari, saat suster datang dan mulai bicara masalah keuangan, kudengar kabar itu. Paimin, tetanggaku yang berjualan bakso di samping rumah, menyeruak masuk dengan napas tersengal.
“Mbakmu di PGD, Cah Ayu. PGD sini.”
“Eh, kenapa? Ada apa dengan mbakku?”
Paimin berlari, aku mengikuti. Di PGD kulihat Mbak Ning. Ususnya terburai keluar. Seprai rumah sakit yang berwarna putih berubah merah pekat. Aku menggigil. Tanganku gemetar sulit digerakkan.
“Dia menjual organ tubuhnya secara ilegal. Saat kutemukan, kondisinya sudah parah. Tak tertolong lagi.”
“Tak tertolong? Tidak!!!” Bagaimana bisa mbakku yang sangat tegar dan tenang bisa pergi dengan cara begitu?
“Dia menitipkan ini padamu.” Paimin menyerahkan sebuah amplop coklat berisi segepok uang seratus ribuan, dengan sepucuk surat. Sulit sekali membuka surat dengan tangan gemetar.
“Adikku sayang, kujual organ tubuhku demi ibu. Semoga uang ini cukup sampai ibu sembuh. Pesan terakhirku, apa pun terjadi, janganlah melacur, bekerjalah yang halal, walau untuk itu kau harus kehilangan nyawamu.”
Mbakmu, Ning.
Dunia terasa gelap. Tubuhku lunglai. Tulang kakiku tak sanggup lagi menopang tubuhku. Aku terjatuh di pelukan Rahadian….
***
Setelah pemakaman Mbak Ning, kondisi ibu turun drastis. Ibu tak mau makan. Dalam tidurnya dia selalu menyebut nama Mbak Ning. Tak pernah sedetik pun kutinggalkan ibuku. Aku menjaganya siang malam.
Rahadian, entah kenapa, jadi sering menemaniku di rumah sakit. Dia terkadang membantu mencucikan baju kotorku dan baju milik ibu.
Suatu malam, ibu memanggilku. Aku duduk di samping tempat tidurnya.
“Nak, kembalilah bekerja. Biarlah Ibu dijaga suster. Ibu tak mau melihatmu pucat pasi begini. Ayolah, kau lanjutkan hidupmu.”
“Tidak, Bu. Aku akan tetap di sini menemani Ibu sampai sembuh.”
“Jangan hancurkan masa depanmu, Nak. Bagaimana kalau kau dipecat dari kantor gara-gara sering alpa? Tinggalkanlah Ibu, kau butuh istirahat juga.”
Aku mengangguk. Ibu begitu baik. Dengan berat, kuturuti permintaan ibu.
Paginya, aku bergegas ke rumah sakit. Aku ingin memastikan ibu baik-baik saja. Sejak semalam perasaanku tak enak. Selalu kepikiran ibu. Ketika sampai di kamar ibu, kulihat ada police line. Begitu banyak orang berkumpul. Bergegas kudekati kerumunan itu.
Ternyata firasatku menjadi kenyataan. Ibu yang kukasihi bunuh diri dengan selendang biru. Selendang laknat itu diikat ibu ke besi di atas tempat tidurnya. Mata ibu melotot dengan lidah terjulur kaku.
Dengan perasaan hancur, kuusap air yang menganak sungai di mataku. Hatiku sakit sesakit neraka.
Kuambil selendang biru yang dipegang polisi itu. Kucaci maki suster, dokter, dan semua satpam rumah sakit yang tak bisa menjaga ibuku dengan baik. Kupukul dan kutendangi tembok rumah sakit dan semua orang yang berkerumun di sana. Berharap mereka bisa merasakan sakit yang kurasa.
Duniaku gelap dan suram. Air mataku kering sudah. Aku benar-benar ingin menyusul mereka ke surga.
***
Berbulan-bulan sesudah kematian ibu, di rumah hanya ada aku. Kadang aku tertawa sendiri. Menertawakan nasibku yang edan.
Kuingat lagi kenangan hidupku bersama ibu dan Mbak Ning. Dulu kami sangat bahagia. Kurunut lagi di mana letak kesalahan itu. Bapak. Ambisinya akan kehormatan, uang, dan wanitalah penyebab semua ini. Andai sekarang bapak datang padaku, memohon ampun sekalipun, aku tak sudi memaafkannya. Harga kehilanganku pada ibu dan Mbak Ning terlalu mahal untuk ditukar kata maaf.
Tadinya, aku berniat mengikat leherku dengan selendang atau kawat berduri. Atau aku ingin dilindas traktor berisi beban jutaan kilo. Namun setiap kali datang keinginan itu, suara Tuhan melintas.
Aku adalah pelacur. Namun di saat-saat kritis itu, toh aku masih mengingat nama-Nya. Dalam sedih, aku berdialog dengannya. Kadang, aku menangis menceritakan nasibku pada-Nya. Aku memang pelacur tak tahu malu, karena masih mengingat Tuhanku.
Dalam saat terberatku, Rahadian rajin merawatku. Dia menjadi dekat denganku. Hampir setiap hari, dia jambangi rumahku. Kepadanya, kuberikan kehangatan dan cinta, sesuatu yang sebelumnya belum pernah kuberikan pada lelaki mana pun di dunia ini.
Karena aku sudah sebatang kara, saat dia melamar, kuterima pinangannya. Kami pun menikah secara sederhana.
***
Setahun setelah pernikahan itu, anakku lahir. Kami menyambutnya dengan sukacita. Ibu Rahadian dari Kalimantan datang. Melihat cucu pertamanya, kebahagiaan terpancar jelas dari sinar matanya.
Bayiku yang lucu digendongnya. Lalu dari tas yang dibawanya dari Kalimantan, dia mengeluarkan selendang biru. Coraknya sama dengan corak selendang biru yang dipakai ibu gantung diri! Sama persis!!
(Kompas Edisi 17 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar