Jumat, 17 September 2010

Anak yang Menyelamatkanku
Oleh Ambhita Dyaningrum

Bau menyengat menyeruak manakala dua orang perempuan naik ke dalam angkot. Aku menahan napas. Beberapa penumpang lain tampaknya juga terganggu dengan aroma yang datang bersamaan naiknya dua perempuan itu. Dan, astaga, mereka duduk persis di hadapanku. Ingin kukeluarkan tisu dan menutup hidungku, tetapi aku khawatir tindakanku akan menyakiti mereka.
Mereka tampaknya juga sadar bahwa keberadaan mereka kurang menyenangkan buat para penumpang angkot yang lain. Gerak-gerik mereka mencerminan rasa kikuk. Setelah berhasil menguasai diri, barulah mereka bersuara dan saling bercakap di antara keduanya. Mereka bicara tentang rencana mereka untuk mencoba tempat bekerja yang baru, di perempatan ramai tak jauh dari tempat kerjaku. Kurasa demi menjalankan profesi mereka sebagai -- aku memerhatikan penampilan mereka-- pengemis.
Salah satu pengemis itu memangku seorang anak perempuan, dengan usia sekitar dua tahun. Anak kecil itu memandang ke arahku. Mau tak mau aku jadi memerhatikannya. Sepasang matanya yang bening mencerminkan kesucian dirinya. Ia begitu murni dan tak berdosa. Dia seharusnya berada di tempat yang lebih baik ketimbang berada di gendongan ibunya dan belajar meminta belas kasihan dari orang lain. Terlalu dini buatnya untuk ikut menyangga kemiskinan orang tuanya.
Aku tiba-tiba tergerak. Kukeluarkan biskuit dari dalam tasku day pack-ku yang lusuh. Sebenarnya itu sarapan pagiku. Satu-satunya yang bisa kumakan pagi ini. Aku menimang-nimbang sesaat dalam hati. Lalu, kuputuskan mengulurkannya kepada anak kecil itu. Perempuan yang menggendongnya terperangah. Kurasa ia tidak menyangka aku akan melakukan ini. Sejurus kemudian ia mendorong tangan kecil itu untuk mengambil biskuit yang kuulurkan.
''Bilang, makasih, Om.'' Bibir anak itu merekah, tersenyum. Dengan tampang dekil dan ingusnya yang mengering, ia tampak manis sekali saat tersenyum. Ia memegang biskuit itu erat-erat. Sejurus kemudian ibunya telah mengupaskan biskuit itu untuknya. Anak itu pun makan dengan lahapnya. Tampaknya ia sudah sangat kelaparan.
Para penumpang angkot lain melirik diam-diam. Mereka pasti heran melihat tindakanku. Setengah kesal barangkali, karena aku telah menyenangkan orang yang telah membuat mereka tidak merasa nyaman. Sebenarnya, aku bisa saja tidak peduli dan lebih sibuk mengusir bau tidak enak yang kuhirup semenjak para pengemis itu naik di angkot yang kutumpangi. Bisa saja, aku malah duduk menjauh karena merasa jijik melihat penampilan mereka yang kotor dan dekil.
Bahkan, bisa saja anak itu bukan benar-benar anak si pengemis, melainkan anak yang dipekerjakan untuk 'melancarkan' pekerjaan pengemis itu dengan mengundang rasa iba, dan aku telah menjadi korban pertamanya pagi ini. Atau, anak itu mungkin anak yang diculik untuk djadikan pengemis? Yah, bukankah banyak kejadian seperti itu di zaman sekarang? Tetapi … lebih dari semua kemungkinan itu, aku memilih tidak memikirkannya. Anak itu bagaikan magnet buatku.
Di perhentian berikutnya aku turun dan kami pun berpisah. Masih sempat kulihat mereka menatapku melalui jendela angkot. Perempuan pengemis itu memegang tangan anaknya dan melambai-lambaikannya ke arahku. Aku balas melambai kecil.
Ah, mengapa dia harus tumbuh di tengah-tengah lingkungan yang sulit memberinya masa depan? Apakah dia juga akan menjadi pengemis seperti orang tuanya? Aku terus berpikir dalam perjalananku menuju tempat kerjaku, sebuah restoran dim sum di tengah kota. Ketika aku sampai di sana, buru-buru aku menepiskan pikran-pikiranku tentang anak itu karena pekerjaan sudah menunggu. Dan seperti hari-hari lalu, aku bersicepat dengan waktu demi upah menghidupi diri. Aku mesti berpikir membayar kontrakan yang jatuh temponya tinggal dua minggu lagi. Aku sudah nunggak tiga bulan ini.
Jika sebulan lagi tak bisa kututup, aku terancam diusir dari sana. Belum lagi, Ibu minta dikirimi uang untuk SPP adikku yang harus dibayar bulan ini. Juga, harus menyisihkan uang sebagian untuk keperluan biaya pernikahanku beberapa bulan mendatang. Pendeknya, aku harus kejar setoran untuk menutup semua kebutuhan itu. Kepalaku seperti mau pecah saja rasanya.
Pukul lima, shift kerjaku selesai. Aku menarik napas lega. Hari ini cukup melelahkan karena pengunjung restoran cukup ramai.
Mendung sudah menggayut berat di langit. Aku berjalan cepat-cepat membelah lalu lintas yang begitu padat. Dalam situasi begini, semua orang ingin cepat-cepat sampai tujuan dan tidak memedulikan kepentingan orang lain, apalagi seorang pejalan kaki sepertiku.
Sampai di halte, hujan turun bergegas. Bukan hanya itu, angin yang sejak tadi kencang bertiup, kini kian menggila. Aku mendekap tasku erat-erat. Rasa khawatir melandaku. Sampai beberapa saat, hanya ada aku di halte itu. Tubuhku sudah basah karena air hujan yang berhamburan. Aku melipat tubuhku demi melindungi diri dari angin yang begitu kencang. Pohon-pohon berguncang, kabel-kabel listrik mengombak kencang. Tuhan layaknya anak kecil yang tengah bersenang-senang dengan mainannya. Tiba-tiba, aku melihat seseorang datang menembus angin dan hujan. Setelah dekat, aku baru mengenali sosok itu sebagai sosok seorang ibu yang menggendong anaknya. Dan, mereka adalah pengemis dan anaknya yang bertemu denganku di angkot pagi tadi.
Akhirnya mereka sampai juga di halte. Mereka duduk di ujung bangku yang berseberangan denganku. Lalu, sesaat kemudian, kudengar ibu itu kebingungan mencari sandal anaknya yang terjatuh. Sandal yang buat mereka pasti sangat berharga. Sandal pelindung kaki kecil anaknya itu rupanya terjatuh saat mereka berlari-lari tadi. Si Ibu menurunkan anaknya dari gendongannya. Ia tidak mau membawa anaknya kembali dalam hujan.
''Tunggu di sini, ya, Ndhuk. Ibu cari sandalmu sebentar. Jangan ke mana-mana, ya?'' Setelah mewanti-wantianaknya, si Ibu berlari ke arah yang mereka lewati tadi. Kilat menyambar langit, anak kecil itu menangis ketakutan. Jangankan anak kecil, orang dewasa pun miris dengan cuaca begini. Ketika itu, sebuah angkot berhenti tepat di tempatku berdiri. Aku ragu-ragu sejenak. Menimbang antara naik angkot yang sudah tinggal satu-dua, atau menemani anak kecil yang ketakutan itu terlebih dulu. Aku memutuskan untuk menolak angkot dan menemani anak pengemis itu. Beberapa langkah mendekati anak itu, tiba-tiba ''Kraaak... bummm!!!'' Terdengar suara berdebum keras dari arah belakangku. Refleks aku terpekik dan melompat. Ada perih sempat menghajar punggungku. Aku membalikkan badan. Dan, pemandangan yang terhampar di mataku membuatku terperangah.
Sebuah pohon besar di dekat halte tumbang dan melesakkan sebagian atap halte. Sebagian cabangnya yang besar-besar ambruk persis di tempat sebelumnya aku berdiri, dan sebagian mencapai badan jalan. Angkot yang menghampiriku tadi baru beberapa meter jauhnya dari pohon yang tumbang itu.
Lututku gemetar. Aku meraih anak kecil itu dan menggendongnya.
Subhanallah. Pungungku memang sempat tersambar ranting-ranting pohon dan tergores, tetapi, rupanya Tuhan belum berkehendak mengambil hidupku. Dia memberikan pertolongan kepadaku melalui anak pengemis ini. Anak kecil tanpa dosa yang pagi tadi kuberi sebungkus biskuit yang meredakan rasa laparnya.
(Republika, 16 Maret 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar