Jumat, 17 September 2010

Kisah Bambu
Oleh Yetti A KA

Ikatri, adikku, mari kita dengar lagi suara-suara bambu di belakang rumah. Sesuara yang begitu indah di siang hari, tapi selalu menjelma bebisik hantu bila kita dengar pada malam-malam yang membuat kita tidak jarang harus meringkuk sampai pagi di dekat kaki ibu. Kemudian sambil berbisik-bisik kita berencana meminta ayah menebang bambu-bambu itu begitu pagi tiba. Namun saat keesokkannya, mulut kita terkunci rapat-rapat. Kita tidak mau kehilangan bambu-bambu itu. Dan kita saling berbisik lagi: "Jangan. Bambu itu tidak boleh ditebang." "Iya, Kakak. Kita tidak perlu bicara pada ayah." Kita bertatapan penuh arti. Seakan-akan kita ingin mengatakan bahwa bebisik hantu dari rumpun bambu di malam hari tidak lebih menakutkan daripada kita harus kehilangan rumah bermain.
Tidak berapa lama, di pagi dingin dan basah itu, kita sudah terbahak-bahak di antara batang-batang bambu, kejar-kejaran, sembunyi-sembunyian, yang membuat ibu mencak-mencak dari jendela dapur dengan wajah kena noda tepung (pagi-pagi ibu suka membuat pisang goreng atau bakwan atau serabi).
Ayo Adik, kejar Kakak!
Ihh! Kakak curang!
Hahaha, Adik payah!
Kakak! Awas ya!
Adik, ayo tangkap Kakak!
Kita terus kejar-kejaran. Menerobos kulit bambu. Berputar-putar dan bergerak bebas dalam ruas-ruas.
Ayo Adik!
Ihh Kakak!
Adik!
Kakak!
Dan kita terbawa dalam kisah itu. Lantas kaki kita membeku. Tubuh kita jadi batu. Di depan mata banyak sekali pembantaian. Kebencian menyembur-nyembur, bilah-bilah bambu runcing beterbangan. Udara berdarah, angin merah. Orang-orang bermata terong jepang keunguan, pecah. Biji-bijinya berhamburan.
Di mana kita.
Dalam kisah bambu.
Kakak, aku takut.
Jangan. Jangan takut, Adik.
Kakak, ayo kita pergi. Ayo lari.
Kita berlari. Berlari. Dari waktu ke waktu. Ya. Kita orang-orang pelarian itu. Kenapa. Kenapa mesti takut. Selalu membiarkan kita terusir dari satu tanah ke tanah lain. Meninggalkan tanda-tanda yang tidak pernah dibaca sebagai sebuah sejarah, sebab dunia kita terlalu kelam, terlalu tidak terjangkau. Sulit dibaca siapa saja, kecuali beberapa orang tua, yang entah siapa, menjadikannya tempat keramat hingga mereka akan meletakkan sepiring bubur tiga warna di atas bekas perkampungan kita, tanah kita.
Itulah masa lalu yang mengerikan di ruas-ruas bambu.
Karena itukah kita mendengar sesuara bambu di malam hari bagai bebisik hantu.
Kita saling merapatkan tubuh. Aku tahu kau sangat ketakutan, adikku. Kita tak mampu lagi saling berbisik, meminta ayah menebang saja bambu-bambu di belakang rumah hingga kita terbebas dari kisah-kisah anyir darah.
Tubuh kita begitu diam dan lembab. Begitu diam.
"Anak-anak siap-siap sekolah." Ibu sudah berdiri di depan kita. Menarik keluar tubuh kita yang kaku dari balik batang-batang bambu dengan kedua tangannya yang kokoh.
Kita kembali hidup. Pagi jadi terang dan udara wangi bambu segar. Kita sudah tertawa-tawa lagi. Ibu menjepit tangan kita dengan jari-jarinya, dan kita melonjak-lonjak sengaja membuat lebih berat tubuh kita. Begitulah cara anak-anak melibatkan seorang ibu dalam kehidupannya, dalam kemanjaan-kemanjaan sejenak. Suatu hari aku memang sangat merindukan saat-saat itu, di mana kita kembali menjadi anak kecil di bawah kekuasaan tangan ibu yang bau tepung dan aroma goreng-gorengan.
"Kalian harus mandi bersih-bersih. Gunakan sabun antiseptik, tubuh kalian penuh miang bambu." Ibu mengomel. Bibir ibu bergetar-getar. Bibir yang tidak pernah dilapisi lipstik, seingatku, yang membuat ibu terlihat lebih muda, cantik, dan apa adanya.
Kita main mata di belakang ibu seraya menahan kikik.
"Kalian dengar tidak, anak nakal?" Ibu menangkap basah tingkah kita. Menjewer salah satu daun telinga. Kita meringis, pura-pura sakit.
Serempak kita mengangguk. Menyerah. Lalu kita sudah berebutan masuk kamar mandi. Tentu kau, Ikatri, lagi-lagi harus mengalah. Tubuhmu terlalu kecil untuk bertanding dengan tubuhku yang jauh lebih tinggi dan besar. Lagipula kau masih TK, sedangkan aku sudah kelas enam SD. Aku harus cepat ke sekolah, pelajaran pertamaku dimulai lebih awal. Kau merajuk di depan kamar mandi. Bibirmu lebih tebal dari biasa.
Kita cepat sekali besar setelah itu, bukan? Duniaku dan kau mulai berbeda. Diam-diam aku sudah naksir teman sekelas yang tubuhnya sebesar raksasa ketika aku kelas satu SMP. Sesuatu yang tidak pernah kuceritakan padamu juga semua orang di rumah sebab aku malu sekali. Di kamar yang terkunci (sejak itu aku mulai sering mengunci kamar sepulang sekolah yang membuatmu protes pada ibu karena kau harus menunggu berjam-jam di luar kamar untuk ganti baju seragam sampai aku membukakan pintu) aku belajar nulis surat cinta pertama kali. Surat yang tidak pernah jadi kuberikan pada anak lelaki itu karena aku merasa sangat gugup setiap kali akan menyerahkan amplop merah jambu. Sementara kau, tentu masih saja bermain di bawah batang-batang bambu warna hijau. Sendirian kau berlari-lari, seolah-olah tengah mengejar atau mencari sesuatu. Aku tidak pernah sempat menemanimu. Aku terlalu sibuk mempelajari berbagai perasaan baru yang tumbuh dari tubuh sedang mekar. Mungkin saja kau marah dalam diammu itu. Aku tidak pernah tahu lagi tentangmu. Apalagi sejak kamar kita mulai dipisah. Tentu aku yang minta pada ibu dengan alasan aku mulai dewasa dan seharusnya punya kamar sendiri tempat aku menyembunyikan rahasia-rahasia atau cerita-cerita kecil hari-hariku. Ibu setuju. Aku punya kamar merah jambu.
Kenapa aku memilih merah jambu? Barangkali karena nyaris setiap hari aku senang sekali menyukai anak lelaki yang berbeda. Dan itu membuat hatiku selalu berwarna cinta. Ah, aku tidak tahu cara menjelaskannya padamu. Selain bermain di bawah rumpun bambu, kau tidak akan mengerti apa-apa. Juga saat aku menangis berhari-hari dalam kamar gara-gara pada suatu siang seorang lelaki dewasa mencubit dadaku di gang yang sepi. Lelaki itu tertawa-tawa, matanya terlihat nakal sekali. Aku mengambil beberapa batu kecil, ingin melempar lelaki itu, tapi ia cepat sekali kabur. Setelah itu aku membawa pulang dadaku yang nyeri, juga perasaan aneh yang menyerbu hangat secara cepat. Selain kebencian meledak-ledak, aku juga merindukan tangan lelaki itu, membayangkan bertemu kembali dengannya, dan aku menunggu tangan itu menyambar dadaku secara mendadak. Lantaran itulah aku menangis. Kau belum akan tahu tentang perasaan yang demikian, adikku, bahwa dalam satu tubuh, cinta dan kebencian berbagi ruang dan tempat, dan itu membuat kita merasa sakit menahankannya. Setelah kau sedikit lebih besar mungkin kita bisa membicarakannya sebagai perempuan dewasa. Saat itu kau boleh memberikan pendapat-pendapatmu dan aku wajib menghargai.
Untuk sampai ke sana, adikku, kau harus berhenti main sendirian di bawah rumpun-rumpun bambu itu dan kau mesti belajar memelihara bunga, lalu memberikan kembang pertama dari bunga yang kau tanam untuk lelaki yang kau sukai. Hanya lelaki yang kau sukai. Sesuatu yang tidak terlalu sulit, tapi mesti kau lewati jika ingin tahu seluk-beluk perasaan yang bakal merecup dari tubuhmu. Sesudah itu kita akan jadi dua perempuan yang dapat menceritakan perasaan apa saja, terutama ciuman pertama yang kelak kita dapatkan dari anak lelaki yang diam-diam memperhatikan kita dari jendela setengah terbuka atau dari balik pohon-pohon di halaman sekolah. Jika kau setuju, ini antara kita berdua saja, rahasia yang harus dijaga. Jangan bilang-bilang pada ibu. Aku tidak ingin ibu mengadu pada ayah dan setiap saat mereka dapat memperolok kita, tidak berhenti sebelum muka kita mirip kepiting rebus. Nah, ayo Ikatri, kita mulai bertanam bunga. Aku akan membantumu. Mengajarimu. Memberikan kedua tanganku kapan saja kau mau.
"Tidak, Kakak," demikian katamu, "Aku hanya akan menyukai batang-batang bambu."
Ikatri, adikku. Kau benar-benar tidak mau melupakan rumpun-rumpun bambu. Tempat itu tidak pantas lagi untuk seorang gadis kecil yang beranjak jadi perempuan. Apa kau tidak takut ular tanah atau jenis ular lainnya. Kata ibu di musim hujan ular-ular itu sangat suka bersembunyi di balik batang-batang bambu yang rapat. Kau boleh saja tidak percaya pada ibu, apalagi kita memang belum pernah bertemu seekor ular pun sejak mengenal rumpun-rumpun bambu di belakang rumah. Hanya saja, tolonglah adikku, jangan membuat orang-orang merasa kasihan pada gadis kecil yang terlihat kesepian, bermain sendiri di balik batang-batang bambu, hingga orang bisa saja berkata: Lihat! Ia hidup seperti tanpa keluarga.
Aduh, hatiku ditusuk-tusuk ujung bambu, adikku, ketika aku sampai juga pada ingatan itu. Keluarga. Aku, kau, ayah dan ibu. Kita.
Bisakah kau membantu menyatukan kembali kaca retak, adikku? Hidup kita yang lalu pecah setelah malam gelap itu, saat kita dengar ayah dan ibu berbisik halus: Sembunyi di rumpun bambu, Nak. Jangan ke mana-mana.
Kita bergerak hati-hati melewati pintu belakang tanpa bertanya apa yang sedang terjadi di dalam rumah. Tidak ada waktu untuk pertanyaan apa pun, begitu kata ibu ketika aku menatap manik matanya. Kita menurut. Di rumpun bambu kita menunggu kejadian apa yang sedang ayah dan ibu hadapi. Dada kita berdebar-debar. Hingga tiba-tiba tanganmu lepas dari tanganku. Kau berlari kembali ke rumah. Aku tidak mengejarmu karena kudengar ibu berteriak-teriak marah. Dengan cepat segalanya terjadi. Anyir darah menyergapku. Perampokan dan pembunuhan hanya berjarak tiga meter dari tubuhku yang mendadak dingin.
Lalu aku bangkit sekuat tenaga. Aku bergerak mengitari rumpun bambu. Berputar-putar tidak menentu, menembus kulit bambu, bergerak dalam ruas-ruas, masuk dalam kisah-kisah menakutkan, menjadi seorang pelarian, berhadapan dengan tubuh-tubuh penuh luka, dan malam kian anyir oleh darah orang-orang yang selalu dikejar kematian dari satu tempat ke tempat lain.
Di mana kau, adikku, di antara orang-orang dalam ruas-ruas bambu itu. Di mana ayah dan ibu. Dapatkah kita saling mengulurkan tangan, bergenggaman erat, dan membagi setiap derita yang seharusnya kita tanggung sama berat. Apa bisa, adikku.
Kakak, kejar aku!
Adik?
Kakak, aku di sini. Aku sedang menanam bunga.
Ya. Kau menanam bunga pada satu pagi, adikku. Aku menghampirimu. Kau tidak tersenyum. Tidak apa. Aku membantumu. Tidak usah, ujarmu sambil mengambil bibit melati dari tanganku. Kenapa, tanyaku. Ini bungaku, Kakak. Aku harus menanamnya sendiri karena kembang pertamanya nanti akan kuberikan pada anak lelaki yang kusukai, kilahmu. Aku tertawa. Kau malah cemberut. Kenapa tidak tertawa, bukankah kau sedang menyukai seseorang dan seharusnya kau bahagia, selidikku. Tidak, Kakak. Kau tidak mungkin mengerti, aku sedang menanam bunga pertamaku di kuburan ayah dan ibu.
Air di matamu, Ikatri, menitik-nitik di tanah warna kuning. Aku tidak tahan. Aku meninggalkanmu.
Hidup kita memang ditakdirkan berbeda oleh arah-arah. Hatimu bergerak ke Timur aku ke Barat atau kau ke Selatan aku ke Utara. Meski begitu, aku atau kau tidak boleh bicara perpisahan. Kita harus tetap bersama meski dalam hubungan yang asing, tidak saling mengenal, jarak makin menganga.
Kita tidak pernah berhasil lagi menemukan sesuatu yang dapat membuat kita berada dalam satu dunia. Itu kenyataan, adikku.
Tidak apa, Ikatri. Aku mengerti. Luka dan kesedihanmu teramat dalam, membuatmu lebih sering ingin sendiri, tanpa diusik siapa pun. Selain ayah dan ibu, kau juga kehilangan harga diri di usia muda. Perkosaan yang kejam. Kau marah. Aku juga sangat marah sepertimu. Ingin kurobek-robek tubuh lelaki-lelaki itu. Pasti. Kita pasti membalaskan semuanya dalam kisah bambu ini; cerita orang-orang pelarian yang lelah menemukan kematian dalam ruas-ruas bambu berwarna putih dan dingin hingga membuat kita ingin keluar.
Kita keluar, adikku. Kita berada dalam kehidupan yang memberi ruang untuk cinta dan kebencian sekaligus. Kita tidak perlu memilih apa-apa. Bukankah kita memang ingin ada di antara keduanya. Nah, Ikatri, adikku, kita permainkan dunia, layaknya kita menguasai rumpun-rumpun bambu di belakang rumah semasa kecil. Kita taburkan cinta di dada setiap lelaki hingga mereka merangkak-rangkak menuju kisah-kisah bambu, menuju kematian yang rahasia.
Mari adikku, kita main kejar-kejaran di atas tubuh-tubuh lelaki. Tangkap aku, Ikatri. Awas jangan curang. Ayo, aku di sini. Kau lambat sekali, adikku. Wah, kau payah. Kau tidak bisa menangkapku. Kalau begitu kita tidak usah kejar-kejaran. Kita lupakan permainan itu. Bagaimana kalau kau bercerita saja tentang lelaki yang kau sukai. Apa lelaki itu sudah mendapatkan kembang pertama dari bunga yang kau tanam, dan kau pun telah berhasil menaklukkannya, membuat ia meringis-ringis bagai anak kecil bergelayut manja di ujung baju ibunya ketika minta mobil-mobilan. Alangkah senang dapat mengaduk-aduk hati seseorang. Membuat aku terus tertawa membayangkannya.
Tapi kau menangis, Ikatri?
Hujan begitu deras dari matamu. Begitu deras. Apakah itu artinya kau ingin aku menutup cerita ini. Baiklah, adikku. Kita berakhir di sini saja, di kisah bambu yang menginginkan kita menanam bunga di kuburan sendiri.***
Rumah Palung Laut, Maret 2007, 04.50
(Jawa Pos, 11 Maret 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar