Jumat, 17 September 2010

Hamsat Mencuri Jambu Klutuk
Oleh Idris Pasaribu

 
Anak-anak berlompatan dari sebuah jembatan, bernama Titi Kuning. Air bening berair deras dengan lubuk yang agak dalam, membuat anak-anak senang berlompatan dari atas titi. Sembari melompat satu persatu, anak-anak berteriak apa saja untuk menambah semangat dan membesarkan nyali. Lian, umpamanya, dia melompat sembari berteriak; Hamsat sama Aisyaaah! Bluuur!
Suara air membuncah di lubuk, bawah Titi Kuning. Anak-anak lain pun bersorak riang. Semua tahu, kalau Hamsat anak kelas 6 Sekolah Rakyat (SR) itu suka pada Aisyah yang sekelas dengannya. Anak-anak pun tertawa.
Tiba giliran Lokot melompat, dia berteriak pula; Hamsat mencuri jambu klutuuuk! Bluuur! Air pun kembali membuncah di bawah titi. Kembali anak-anak tertawa. Hamsat yang mulanya ikut tertawa senang, ketika Lian meneriakkan Hamsat sama Aisyah. Ada rasa bangga pada dirinya.
Aisyah, gadis kecil, berambut panjang, berbelah dua dan dikepang, selalu diikat pakai pita merah atau biru. Wajahnya opal, rambut di keningnya diponi. Berkulit putih, mirip anak Tionghoa. Anak-anak selalu bernyanyi; Aisyah berponi, rambutnya ekor kuda, di kepang dua. Hamsat pun merah merona wajahnya. Ada rasa marah, geram berbaur rasa senang. Hamsat tahu, kalau si Lokot dan si Lian, menaruh hati kepada Aisyah. Kecemburuan mereka kepada Hamsat, mengakibatkan mereka berdua selalu mengejek Hamsat.
Hamsat seorang anak yang rajin membantu ayahnya di ladang. Setelah pulang sekolah, Hamsat selalu membantu ayahnya memotongi pelepah pisang. Kemudian daun-daun itu dialis, lalu daunnya dilipat-lipat. Empat pelepah daun pisang, digulung menjadi satu gulungan. Daun-daun pisang itu diantar naik kereta-angin ke pajak Sukaraja, tak jauh di sisi kanan Istana Maimoon. Di pajak itu, sudah ada yang menampung daun-daun pisang Hamsat. Dari daun-daun pisang itulah, Hamsat bisa menyekolahkan dirinya. Sesekali, Aisyah ikut membantu Hamsat yang berbudi itu, mengalis daun pisang dan menggulungnya.
Setiap malam ahad pula, Hamsat ikut belajar tari dan nyanyi pada kelompok Tonil Putri Hijau yang dipimpin oleh Tengku Mahmud, ayah Aisyah. Saat mengalis daun pisang, Tengku Mahmud selalu mendengar Hamsat bernyanyi Sri Mersing dan Tanjung Katung, di ladang ayahnya. Sesekali Hamsat, suka pula berpantun dan bertalibun. Diam-diam, Tengku Mahmud menaruh hati pada Hamsat.
”Anak ini, bisa ikut dalam kelompok Tonilku,” bisik hatinya.
Mulanya, Hamsat malu-malu ikut menari. Begitu Aisyah menarik tangannya, untuk ikut latihan menari Kuala Deli dengan pecahan Tanjung Katung, Hamsat berdebar dadanya dan langsung mengikut. Hamsat berpasangan dengan Aisyah. Tubuh Hamsat yang kurus dan lentik, membuat tariannya terasa indah. Hamsat pandai mengikuti irama pukulan gendang dan gesekan biola serta melodi-melodi indah dari akordion. Suaranya pun bagus saat menyanyi sambil meronggeng. Sejak saat itu, dia mulai disebut anak ronggeng. Berita itu sampai ke sekolahnya, ke telinga guru-gurunya. Tak urung, saat mau pulang sekolah, engku guru menyuruhnya menyanyikan sebuah lagu dengan pantun-pantunnya. Dengan bangga Hamsat mulai melantunkan lagu-lagu Melayu, sembari berpantun dan bertalibun. Guru-gurunya pun menggelari dia, seorang pujangga kecil.
Rasa bangga Hamsat dan percaya dirinya semakin besar. Dia semakin rajin menghapal pantun dan talibun yang ada. Sampai-sampai Hamsat sudah pula mahir menciptakan pantun dan talibun sendiri. Penonton semakin senang kepadanya. Jadilah Hamsat selain digelari pujangga kecil, anak Rongeng, juga bintang Tonil.
Tengku Mahmud selalu mengatakan kepada Hamsat, hanya ada tiga yang berhak mengeluarkan fatwa. Fatwa yang pertama adalah fatwa Mahkamah Tinggi (sekarang Mahkamah Agung). Jika fatwa ini keluar, bakal ada yang salah. Kalau tidak masuk penjara, pasti terkena denda. Fatwa kedua, adalah fatwa ulama. Jika fatwa ini keluar, orang yang tak mengikutinya, pastilah masuk ke neraka dan yang mengikutinya, pasti masuk syurga. Fatwa yang ketiga adalah fatwa pujangga. Bila pujangga mengeluarkan fatwa, semua orang patut merenunginya. Jika direnungkan, akan mendapat kelapangan hati, jika tidak merenungkan fatwa pujangga, bakal susahlah hidup.
Betapa senangnya hati Hamsat, mendapat gelar pujangga kecil dan anak rongeng serta bintang tonil. Tengku Mahmud merasa bahagia, karena merasa dirinya tidak salah pilih. Demikian ayah dan omak Hamsat merasa senang juga, anaknya dipuja-puja khalayak. Tak lama. Sebuah petang, Tengku Mahmud mendatangi ayah dan omak Hamsat. Tengku Mahmud begitu berang, mencari-cari Hamsat. Hamsat pun berlari dari belakang rumah, mengelak.
“Apa gerangan Tengku?” ayah Hamsat bertanya lembut.
“Kau ajar anak kau itu. Dicurinya habis jambu klutukku bersama teman-temannya. Habis! Padahal hendak kupanen dan kujual ke pajak,” jelas Tengku Mahmud.
Betapa malunya ayah dan omak Hamsat.
Walau Hamsat sudah minta ampun, tubuhnya habis dilibas pakai lidi enau. Untung omaknya datang membela. Hamsat pun berpindah dari Tonil Putri Hijau ke Tonil Kuala Deli. Dengan senang hati, Datuk Kamil menerimanya. Hamsat membuktikan diri, kalau pantunnya dan talibunnya pasti akan lebih baik dan menyentuh. Pensil selalu menari-nari di atas kertas, sebelum pantun dan talibunnya itu di pindahkan ke kertas yang lebih baik, kemudian mata pena tercelup ke dalam dawat. Sering pula dia mengirimkan pantun-pantunnya yang lembut kepada Aisyah. Rumah panggung Aisyah yang tinggi, selalu dimanfaatkannya mengintip kegiatan Hamsat dari ketinggian. Di kolong rumah itulah, Tonil Putri Hijau selalu latihan menari dan menyanyi.
* * *
Jika langit memerah
Kupetikkan awan untukmu
Perih lara, perihlah hati
Jika kau masih marah
Kutitiklah air mata sesawan dariku
Pedihlah dinda, pedihlah buah hati.

Kalau jatuh-jatuhlah nangka,
Jangan timpakan si buah jambu
Kalau tidur-tidurlah dinda
Jangan kenang kanda yang jauh.

Saat Hamsat melintas dari rumah Aisyah, dia jelas melihat selembar kertas dilambai-lambaikan oleh Aisyah dari balik tirai jendela. Hamsat kenal betul, itu tangan Aisyah. Kertas yang dilambaikan itu, adalah kertas yang dikirimkanya, berisi dua buah pantun yang dia tulis pada subuh, setelah shalat. Hamsat pun membalas, melambaikan selampai merah jambunya.
Sesampainya di rumah Lokot, Hamsat menerima selembar kertas. Surat dari Aisyah. Berdebar dadanya membuka amplop surat itu. Ingin dia membacanya di rumah saja, di dalam biliknya. Hatinya justru memaksanya, agar surat itu dibaca secepatnya.
Berangkatlah pujanggaku. Tuntutlah ilmu setinggi mungkin.
Bila kelak aku membaca namamu menghias buku-buku, bahagialah hatiku.
Jadilah pujanga sejati. Namamu akan terukir dalam lembar-lembar hati.
Bukan hanya hatiku, juga lembar sukmaku.
Hamsat tercenung. Hatinya sudah bulat harus pergi ke rumah pamannya agar bisa melanjutkan sekolahnya, SMP dan SMA. Setelah itu dia akan pergi ke Jakarta. Kota besar yang bisa menjadikannya seorang pujangga besar. Harus.
“Kau harus jadi orang. Belajarlah dengan baik. Jadilah manusia yang berguna untuk bangsa dan agama, serta orangtua. Jangan mencuri lagi. Ayah dan omakmu malu. Kita orang miskin, tapi kita punya budi dan adab,” begitu nasehat ayahnya pada malam hari, sebelum keesokannya Hamsat harus pergi meninggalkan kampungnya, Titi Kuning berair bening.
Pagi menjelang, Hamsat duduk diboncengan kereta-angin ayahnya. Di palang kereta-angin itu, terletak sebuah tas kecil berisi pakaian Hamsat. Mereka menuju stasiun kereta api. Hamsat akan berangkat ke Tanjung Balai, tempat pamannya bermukim. Di sana dia akan melanjutkan sekolahnya. Tak lupa dia membawa selembar surat dari pemimpin Tonil Kuala Deli, untuk diserahkan kepada pemimpin Tonil Korang Hitam di Tanjung Balai, Datuk Muda Masran. Hamsat akan menjadi anggota Tonil Korang Hitam.
Ketika melintas di depan rumah Aisyah, dia sengaja menyiapkan selampai warna merah jambu untuk dilambaikan. Selampai merah jambu itu pun dilambaikannya, ketika melintas di depan rumah Aisyah. Titik juga airmata Hamsat. Haru, ketika dia melihat Aisyah mengintipnya dari balik tirai jendela.
Bertahun, berpuluh tahun, Hamsat sudah berada di Jakarta. Dia sudah menjadi pujangga yang dikenal orang. Tak pernah dia lupa tempatnya bermain. Titi Kuning yang dulu airnya bening, kini cokelat dan keruh.
Sepat di air keruh selalu ditandang
Kononlah pula sepat di kain
Tempat jatuh lagi dikenang
Kononlah pula tempat bermain

Begitulah bisik hati Hamsat.

Setiap pulang ke kampung di Titi Kuning, Hamsat tak lagi mandi di air yang sudah keruh. Untuk mengenangnya, dia selalu buang hajat di sana. Saat datang, dia selalu terkenang teman-temannya mandi di Titi Kuning dan berlompatan dari sisi titi ke air, mencebur. Dendamnya pada Tengku Mahmud tak pernah berhenti. Dendam itu justru dipupuknya semakin memuncak, agar Hamsat bisa membuktikan dirinya, mampu menjadi seorang pujangga. Dilupakannya semua yang pernah terjadi. Kenakalannya ketika masih kanak-kanak. Lupa pada Aisyah yang telah menikah.

* * *
Hamsat termenung, sedih dan meneteskan air mata. Ditangannya masih tergenggam sepucuk surat dari Lokot. Sahabatnya, sama-sama mencuri jambu kelutuk milik Tengku Mahmud. Dalam surat itu, Lokot menuliskan; Aisyah meninggal dunia, menyusul suaminya yang lebih dulu meninggal dunia lima tahun lalu. Aisyah meninggal dunia, tidak memiliki seorang anak pun. Setiap Hamsat pulang kampung ke Titi Kuning, Aisyah selalu menatapnya dari kejauhan. Hanya lokot yang tahu kelakukan Aisyah.
Hamsat menangis. Selama ini dia lalai, karena dendam pada ayah Aisyah. Tak satu sajak, cerpen atau apa saja yang dia tulis untuk Aisyah.
“Betapa teganya aku,” bisik Hamsat.
“Aku tak mau menemui Aisyah, bahkan berkirim salam, juga tidak?”
Cepat Hamsat pergi ke kamarnya. Disiapkannya mesin tik tuanya yang sudah lama tak dipakai. Hamsat menulis: Aisyah, di balik tirai Jendela.

(Sumber: Jurnal Nasional 4 Mei 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar