Jumat, 12 November 2010

Berangkat ke Masa Lalu
Oleh Lidia Mayangsari


Kamu mau kemana? Pergi ke masa kecil. Mau ikut? Aku akan mengantarkan lukisan untuk teman. Lalu berangkat. Nenek yang cantik itu ikut bangun. Tapi tidak pergi ke mana-mana. Ia hanya melirik, memperhatikan lukisanku sebentar. Berangkat, berjalan-jalan ke masa lalu. Sebenarnya waktu itu aku sudah besar. Umurku sembilan jalan sepuluh. Hampir naik kelas empat. Nina tujuh tahun. Rambutnya bagus. Pipinya bulat. Badannya empuk dan wangi. Ia pendiam. Tapi senyumnya bisa meruntuhkan dunia. Ia cantik. Sangat amat cantik sekali. 

Sudah kuputuskan, dalam hidup ini hanya ada Nina. Aku pasti menikahinya. Aku akan bahagia bersamanya sepanjang segala jaman. Makanya harus kerja keras.
Bahagia memang boleh datang begitu saja. Tapi yang terbaik, kalau kita serius menyambutnya. Bukan hanya menyambut, tapi juga bergiat menyiapkannya. Bahagia itu harus diciptakan. Diupayakan.
Bukan ditunggu untung-untungan. Tapi dirancang dan diupayakan dengan sebaik-baiknya. Termasuk kebahagiaan Nina pada hari ulangtahunnya ke tujuh.
Aku berpikir keras hadiah apa yang cocok untuknya. Sebuah lukisan?
Bagaimana membungkusnya? Di mana dan kapan menyerahkannya? Nina Nina Nina. Umurmu genap 7 tahun besok lusa. Aku ingin memberikan hadiah padanya. Kado istimewa berisikan lukisan dirinya. Tapi lukisan ini mungkin kurang disukainya. Mana mungkin Nina menyuka lukisan? Tapi, akan kuserahkan saja lukisan ini. Toh cuma sebuah hadiah.
Tapi aku harus membuat lukisan yang lain untuk Nina. Aku pun membuat gambar Nina seperti seorang model. Sosok gadis yang riang di hari ulangtahunnya. Masih banyak lagi sebenarnya yang ingin kuberikan untukmu. Aku ingin buku resep masakan. Aku ingin tuntunan mode selera tinggi. Aku ingin kamu pintar menjahit baju, merawat anak, memasak yang enak-enak, memilih lagu-lagu, dan menata interior rumah kita nanti.
Aku sudah besar. Sembilan jalan sepuluh. Dan kamu bakal tujuh tahun. Sudah waktunya menyiapkan diri. Kalau hidup ini panjangnya 70 tahun, maka ulang tahun ke tujuh adalah hitungan yang pertama. Harus disambut dengan mantap. Aku memang belum bisa naik sepeda. Tapi percayalah, kalau nanti aku bisa bersepedah. Kamu pasti kubonceng. Pasti. Dan hanya kamu.
Pada sore hari menjelang ulang tahunnya, semua hadiah yang ingin kuberikan padanya sudah lengkap. Selembar kliping resep masakan. Selembar kliping jahit menjahit. Dan yang sudah kusebut tadi: gambar mawar, merpati, dan seorang model di taman. Semua dalam amplop putih yang besar dan mewah. Sekarang aku harus menyerahkannya. Aku pakai topi. Jalan kaki ke rumahnya. Tapi, itulah sore yang sepi.
Rumahnya kosong. Semua pergi. Mungkin pesta ulang tahun Nina dirayakan di hotel? Di restoran?
Atau di rumah saudaranya? Tidak mungkin! Pada saat itu belum ada mode pesta-pesta ulang tahun di hotel untuk anak kecil. Pertengahan 1960-an. Indonesia carut marut dengan pertengkaran politik. Ekonomi berjalan sejadi-jadinya. Dan aku menggambarkan suasana itu dalam lukisan. Juga ada sosok pria berumur sembilan jalan sepuluh. Belum bisa naik sepeda. Tapi sudah pintar bercita-cita dan mencintai.
Aku mencintai Nina yang sore ini berumur 7 tahun. Tapi rumahnya kosong. Ada yang bilang ayahnya hilang. Tapi ada pula yang mengira pindah ke Surabaya. Aku tak percaya pada semuanya. Dengan hati-hati, kutulis namanya. Dengan sebagus-bagusnya kunyatakan di sampul putih yang mewah: Hanya untuk Nina. Lalu kumasukkan dalam kotak surat. Hampir saja tidak cukup lebar lubangnya. Tetapi untunglah, tanpa terlipat, seluruh hadiah untuk Nina masuk ke dalamnya. Tinggal aku menunggu reaksinya. Aka kata Nina besok pagi?
Apa kata Lidia, kakaknya. Apa kata Irfan adiknya. Apa kata ibunya? Apa kata seluruh dunia tentang hadiahku untuk Nina. Hanya untuk Nina. Tidak seorang pun berhak menerimanya kalau namanya bukan Nina. Sehari aku menunggu. Dua hari. Seminggu. Sebulan. Tahun berikutnya aku naik kelas lima. Lima tahun berikutnya aku sudah di SMP. Sepuluh tahun berikutnya aku mahasiswa. Aku tidak mendengar sepatah kata pun dari Nina. Rumahnya kosong. Nomornya 39, mulai lepas berguguran. Aku pergi ke Yogya. Lalu pindah ke Jakarta. Hidupku sudah ditakdirkan sukses.
Begitu juga tanahairku, Indonesia. Semua berkembang menjadi besar, pandai dan kaya. Aku mendapat seorang isteri, empat orang anak, dan dua orang cucu, hanya dalam tempo kurang dari 50 tahun berikutnya. Sekarang aku tinggal bersama seorang nenek yang cantik.
Pipinya bundar. Badannya empuk dan wangi. Pagi-pagi aku siap melukis lagi. Dialah yang selalu bertanya mau melukis apa? Dan selalu kujawab, mau melukis masa kecilku. Hanya ke masa kecilku. Aku ingin bertemu Nina. Rambutnya bagus. Pendiam. Tapi senyum kecilnya bisa meruntuhkan dunia.
Dan aku telah memberikan semua yang terbaik hanya untuknya. Pada hari ulang tahunnya ke 17, aku berhasil mengumpulkan lebih banyak resep masakan, lebih banyak pola pakaian, dan beberapa disain rumah nyaman. Jangan lupa, umurku sudah 19 jalan 20. Aku menjadi mahasiswa, sekaligus aktifis di Jakarta. Lukisanku sudah lebih bagus. Aku pun sudah berani melengkapi lukisan karyaku dengan kode namaku. Aku ingin memberikan pada Nina. Tapi, apalah artinya sebuah lukisan? Lebih bagus gambar bunga, merpati, dan gadis model di taman yang indah. Nina pasti menerimanya dengan bahagia. Amplop hadiah itu lebih besar. Bukan amplop tapi paket. Kubayangkan Nina telah tumbuh dewasa. Sebentar lagi dia tentu naik kelas tiga SMA. Badannya empuk dan harum.
Rambutnya bagus. Matanya jernih. Suaranya tulus. Senyumnya kecilnya ... ah, ah, ah! Kamu mau ke mana? Nenek itu kembali bertanya. Ia sudah punya dua orang cucu. Anaknya empat orang. Satu meninggal, tiga lagi sudah besar-besar.
Yang sulung sudah memberinya dua cucu. Tapi ia tetap cantik. Rambutnya bagus. Matanya jernih. Badannya empuk dan wangi. Itulah Nina. Betul, hanya Ninaku. Usianya menginjak 47. Sedangkan aku 49 jalan 50. Kami hidup di sebuah bukit, di selatan ibukota. Indonesia memasuki jaman baru.
Tak ada lagi Pancasilais yang membantai saudaranya. Tak ada lagi cerita rumah tiba-tiba kosong karena seluruh keluarga diangkut entah kemana. Waktu itu lewat pertengahan 1960-an. Aku datang membawa hadiah untuk Nina, pertengahan Mei 1966. Ulang tahunnya tanggal 16. Tetapi aku tidak melihatnya. Ayahnya diculik dan dibunuh atas nama Allah. Pada jaman yang aneh, orang bangga membunuh teman, tetangga, bahkan keluarganya sendiri. Di harian Suara Karya ada cerita tentang seorang jendral yang dengan bangga memberondongkan senapan mesin pada seorang tokoh komunis.
Padahal tokoh itu termasuk salah satu putera terbaik Indonesia. Namanya melegenda, meskipun tak perlu disebut di sini. Tetapi pembunuhnya diangkat menjadi gubernur, dengan jasa terpenting, yaitu kesalahan yang tak pernah disadarinya. Pada ulang tahun Nina ke 27, aku sudah punya anak dan isteri. Kami tinggal di luar negeri, karena mendapat beasiswa untuk menyelesaikan strata tiga, S-3. Aku menjadi orang kepercayaan pada perusahaan tekstil terkemuka. Karena dianggap berjasa pada perusahaan, maka disekolahkan lagi.
Mula-mula untuk mendapatkan master dalam administrasi bisnis di Manila, Filipina. Selanjutnya ambil doktor ekonomi di London, Inggris. Umurku 29 jalan 30. Aku masih tetap rajin melukis. Seperti selalu kukatakan, aku orang sukses. Begitu juga mestinya Nina. Sebagai hadiahnya, aku dapatkan lagi foto model di taman, bunga mawar dan burung merpati. Resep masakan dan kumpulan pola pakaian sudah berjilid-jilid. Tak terhitung lagi memenuhi dua almari besar dan satu rak buku di ruang tengah rumah kontrakan kami. Kamu mau ke mana? Pergi ke masa kecil. Mau ikut? Nina menggeleng. Ia tidak mau pergi ke sana. Hanya aku yang berani menengok rumah kosong bernomor 39. Hanya aku yang berani memasukkan amplop putih mewah, dengan tulisan yang jelas: Hanya untuk Nina.
Sekarang jaman telah berubah. Hal-hal yang dulu diceritakan dengan bangga, kini terbukti menjadi dosa yang memalukan. Sebaliknya, rasa takut dan tertekan yang dulu menindih sebagian warga, berubah menjadi kenangan yang membanggakan. Aku memakai topi. Aku ingin pergi ke masa lalu. Membela orang-orang tak berdaya yang tertindas selera jaman.
Nenek cantik itu tidak ikut. Ia menunggu di masa depan. Dengan rambutnya yang bagus. Dengan matanya yang jernih. Dengan suaranya yang tulus. Aku diliriknya, disapanya, dan dilepaskannya pergi. Angin masa lalu akan sampai di bumi masa depan yang lebih cerah. Lebih setia.
Pada umurnya ke 37, aku memasuki 39 jalan 40. Itu genap sepuluh tahun lalu. Nina yang berpipi bulat, berambut bagus, berbadan harum dan empuk, melahirkan anakku yang bungsu. Perempuan, cantik, seperti ibunya. Tetapi nasib berkata lain, bayi itu mati, justru pada saat "Orde Baru" mencapai puncak kemakmurannya. Aku tak kekurangan apa pun. Rumah kami bagus. Mobil kami bagus. Anak-anak sehat dan gembira. Tapi pada siang hari yang begitu cerah, kami harus pergi ke kuburan.
Aku memondong sendiri puteriku. Menyerahkan jasadnya ke haribaan bumi pertiwi. Tuhan, terimalah arwahnya yang suci. Istriku tidak ikut. Ia terbaring di rumah sakit, ditunggui anak sulung kami. Aku dan ditemani anakku kedua, puluhan teman, tetangga dan keluarga, pergi ke masa depan yang sunyi. Angin terhisak-hisak di ranting akasia. Beberapa burung kecil mencicit-cicit. Seolah-olah memperebutkan masa depan dan masa lalu.
Di sini, aku membaringkan puteri kecil, Nina yang lain dalam hidupku.
Nina Nina Nina. Untunglah hidup tidak hanya berisi sunyi dan kepedihan. Tak lama berikutnya, air mata bahagia tercurah sedesar-derasnya. Puteri sulung kami menikah, dan memberikan dua cucu dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya.
Maka pada ulang tahunnya ke 47, Nina telah menjadi nenek cantik yang bertanya tulus itu, "Mau ke mana?" Aku tidak perlu menjawabnya. Aku mencari lukisanku di lemari. Tapi tak ada. Kupandang istriku tiba-tiba. Ia sudah menyimpan lukisanku ke tempat lain. Seperti selalu mengerti, ia sudah menunggu aku di masa depan. Senyum kecilnya meruntuhkan dunia.

(Suara Karya Edisi 7 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar