Kamis, 11 November 2010

Merapi dan Bisul
Cerpen Han Gagas



Tepat sewaktu Merapi meletus, bisulku juga meletus. Ketika Jati, temanku, bertanya kenapa Merapi dulu sudah meletus kok meletus lagi, aku bilang, ya seperti bisulku ini, yang dulu juga sudah meletus sekarang meletus lagi. Ha-ha-ha, dia tertawa terbahak-bahak, tak toleran dengan semua syarafku yang masih kesakitan karena muntahnya magma darah dan nanah di bisulku ini.

Aku selalu merasa bahwa bumi adalah tubuh bagi manusia, di dalamnya juga ada kotoran-kotoran, seperti tubuhku yang juga penuh senyawa beracun. Kebiasaanku makan yang harus kenyang-nyang hingga perut buncit dan duduk sulit bergeser, tubuh enggan berdiri, katanya tidak baik bagi kesehatan, mungkin membuat kerja organ lain kecapekkan, sepertinya bumi juga demikian karena kenyang-nyang dengan limbah dan sedotan baja mesin tambang membuat tubuhnya amat kelelahan.
Tak kupungkiri aku sering melenakan lidahku untuk makan, segalanya masuk, sehabis bakso yang hot lalu es teh yang segar, dari panas langsung dingin, hingga syarafku seperti langsung mengkeret  -aku bilang mungkin karena aku bukan dokter- rasa-rasanya seh tidak apa-apa tapi esoknya seringkali membuatku lama ndhodhok hanya untuk mengeluarkan sebutir limbah dari pantat.
Seringpula aku makan tongseng yang harus dengan banyak merica supaya kepalaku makgreng langsung terang, badanku segar, dan pikiran terasa lancar, tak peduli esok paginya perutku terasa mulas  -walau masih bisa aku tahan. Bahkan di tengah-tengah sedikit mulas yang berhari-hari itu aku masih mau makan tengkleng, mie ayam, rica-rica guk-guk (tongseng dari daging anjing) supaya badanku segar dan pikiran terasa plong terus.
Dan, beberapa hari kemudian, gatal mulai terasa di punggung lalu perlahan-lahan tumbuh dengan pasti sebuah titik nyeri di pantat, “Hahhh bisul lagi, bisul lagi.”
***
Aku merasa tubuhku dengan banyak bisul seperti bumi dengan banyak gunung berapi. Artinya ya wajarlah kotoran dalam tubuh yang bernama bisul itu harus keluar agar keseimbangan badanku terjaga dan tubuhku jadi lumayan sehat. Begitu pun bumi, ia aku rasa hidup, wong bisa bergerak, berjalan, berlari secepat kilat tanpa manusia sadari. Benar khan, aku kira anda juga tahu dari sekolah bahwa bumi berjalan-jalan keliling mengitari matahari selain dirinya juga berputar pada porosnya, artinya sebenarya bumi itu hidup. Wong, dari tubuhnya tumbuh berbagai makhluk hidup. Dari sari pati tanah menjadi benih manusia, dari biji menjadi tumbuhan dan lalu pohon, dari genangan airnya: pecah telur menjadi ikan dan kecebong, ya macam-macamlah, aku hanya ingin memastikan bahwa ajaran mistik yang mengatakan bahwa bumi ini hidup layak anda percayai, he-he-he.
Dan, selain bumi itu hidup yang tak kalah menariknya untuk anda percayai juga adalah sesungguhnya pohon itu persis manusia. Hahhh, jangan kaget, dalam tradisi mistik di daerah asalku, Ponorogo, seorang Warok Suromenggolo yang digdaya selalu menghormati pohon, bukan artinya menyembah tapi tak pernah menebang pohon selagi belum sekarat.
Pohon tak pernah merugikan manusia, tapi sebaliknya manusialah yang tamak memangsa pohon buat perutnya, pohon demi pohon ditebang hingga tak menyadari telah jutaan hektar hutan musnah, sehari satu lapangan sepakbola di makan pohonnya oleh manusia dengan rakus.
Sedangkan pohon menyerap racun karbondioksida dan melimpahkan oksigen demi pernapasan kita agar sehat. Pohon memiliki akar yang menyerap air hujan yang tumpah ruah agar tak banjir, di lereng bukit pohon menahan tanggul agar tak longsor, dan kegunaan bejibun lainnya.
Ahh, kayak menggurui saja aku ini.
Sampai suatu ketika, aku mulai dimasuki kesadaran bahwa menyerap energi banyak dedaunan dari banyak pohon amat berguna bagi pikiran dan tubuhku hingga aku mulai tak menyadari bahwa pohon-pohon itu mau berbincang-bincang denganku. Tentu ini tak masuk akal, mungkin aku sudah pindah ke alam lain, sepertinya seh sama dengan alam anda, mungkin hanya karena aku terbuka, atau membuka diri –pikiran dan segala batinku- sehingga pohon pun membuka dirinya untuk berhubungan dengan intim padaku, ya semacam begitulah.
***
“Aku berlindung di bawahmu saja, ya, mau lari sakit sekali neh pantatku.”
“He-he-he, makanya jangan makan macam-macam, bikin darahmu kotor,” Jati berkata.
“Dasar pemalas! Ogah olah raga tuh, ingin badan segar, ambil jalan pintas makan makanan yang bikin syaraf makgreng, ” sahut Mahoni dengan terkekeh-kekeh.
“Sebenarnya aku takut neh kawan-kawan, itu lihat Merapi umup –mendidih-, langit gelap betul, matahari kerjaannya tidur melulu.”
“Mending kau lari saja, tak apa-apa dengan bokong berdarah-bernanah yang penting kau selamat, nyawamu itu lho, kalau kami khan pasti kuat menahan bara semburan awan panas, si wedus gembel itu, paling cuma pingsan sebentar dan nanti langit pasti menurunkan air, kami bakal segar kembali dengan air itu,“ pinta Lamtoro.
“Aku khan sudah menganggap kalian sebagai sahabatku, orang-orang dan teman-temanku dulu telah meninggalkan aku mengungsi, katanya aku tak seperti mereka lagi, aku dikatai gila, buat apa menyelamatkan orang gila, katanya. Huuhuuhu.”
“Sabar-sabar, tenang-tenang… Jangan diambil hati…” Akasia yang diam sejak tadi akhirnya mau bicara.
***
Sekonyong-konyong, aku melihat ada bayangan Nyai Petruk di puncak Merapi. Akasia, mahoni, jati, dan lamtoro seperti diaba-aba mereka serentak menangkupkan dedaunannya, lalu merundukkan sebagian ranting dan dahannya, seperti orang menghormati tamu.
Aku tergagap, dan kawan berempatku itu menjatuhkan daun-daunnya ke tubuhku, seperti menyadarkanku dan membuatku bergumam tanpa sadar,” Selamat datang Nyai…”
Mendung tebal menjauh, hidung Nyai yang terlalu panjang itu menghadap ke selatan, ke arah tempat refreshingku dulu, daerah Kaliurang. Hatiku berdesir, nyaris sama halnya ketika mendadak aku merasa bisa berbincang-bincang dengan para pohon ini.
“Tubuhku sakit, bisul ini hendak meletus,” suara itu meluncur dari bawah hidung panjang itu seiring angin menderu yang mengagetkanku.
“Tubuhku juga sakit Nyai, bisul di pantatku ini serasa hendak pecah!” ucapku tanpa sepenuhnya kusadari.
Lalu segala syarafku tiba-tiba berlari, mengalir memusat ke arah pantat, ke titik bisul yang memuncak itu. Nyut-nyut-nyut sakit bukan main, ‘’Aaaghh”, gelagar bunyi merontokkan nyaliku, awan panas menghantam tubuhku, dan bisul di pantatku pecah tanpa minta ampun!
Mataku gelap, hanya terasa pasir debu tebal yang begitu panas mendorong tubuhku, yang membuat terlempar nyungsep ke dalam bumi. Nggerong. Tepatnya bukan nyungsep dan nggerong tapi ternyata selapis kulit bumi membuka mulutnya dan menelan tubuhku, dari rongga tanahnya aku menghirup udara yang tipis, panas bumi memanggang tubuhku, lalu hitam, hitam, dan hitam…
Ngilu merajam tubuhku, terdengar tangis dari arah pepohonan, aduh wahai teman-temanku, sedang dirundung nestapa apa kalian? Sedikit demi sedikit, pelan-pelan kubuka kelopak mataku, semua putih serba putih, langit putih, bumi putih, pohon-pohon putih, udara putih, hujan putih, dimanakah aku?
Kupingku pelan-pelan mendengar Akasia yang terisak-isak, lalu deru tangis Jati yang membahana, dan Mahoni yang tersedu, dimanakah suara Lamtoro? Akankah pohon yang paling rapuh diantara teman-temanku itu karena tulangnya yang lunak telah mati? Perlahan-lahan bulir air menganak sungai di pipiku, tubuhku tak mampu bergerak, aku cuma bisa memandang ketiga temanku itu yang tengah dirundung duka…
***
Nyai Petruk muncul dalam bayangan samar lalu tersenyum, dan berkata, ” Esok kau akan tak kesakitan lagi, bisulmu telah meletus.”
Perlahan-lahan bayangan itu menyirna, sedikit demi sedikit.
Kuraba pantatku dengan susah payah, ada cairan kental di sana, masih terasa nyeri sedikit tapi mulutku telah bisa tersenyum, “Nyai, bisulmu juga sudah meletus,” batinku.
“Hahaha,” tawa berderai terdengar dari arah atas begitu membahana, aku marasa itu suara Nyai.
Tawa yang membuatku tertusuk jarum manakala mengingat bahwa temanku, Lamtoro, telah tumbang dalam kematian yang tiba-tiba.   
 Jati yang terkuat menaungiku, lalu berkata dengan pelan, ”Merapi dulu meletus kenapa kok meletus lagi?”
“Ya seperti bisulku ini, dulu pernah meletus sekarang meletus lagi, ” ujarku dengan susah payah.
Ha-ha-ha, dia tertawa terbahak-bahak, begitu lekas melupakan duka ditinggal temannya dan begitu tak toleran dengan semua syarafku yang masih kesakitan karena muntahnya magma darah dan nanah di bisulku ini.
“Ayo kita bangkit!” ajak Jati disela tawa kekehnya.
“Ini masanya berduka…” rengek Mahoni.
“Diam.” Akasia menimpali, air matanya masih meleleh. Juga mataku.
Diantara kami, Lamtoro hangus dengan asap mengepul keluar dari tubuhnya. Tak nampak geliat hidup dari matanya yang tertutup rapat.


Solo, 4 Nopember 2010
(Kedaulatan Rakyat Edisi 7 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar