Sabtu, 18 September 2010

Sebuah Puisi dari Tanah Lot
Oleh Isbedy Stiawan ZS

Sesampai di hotel pun, aku belum bisa membunuh kenangan-kenangan itu. Aku masih meyakini kalau semua yang terjadi di Tanah Lot, siang yang menyengat tadi, hanyalah mimpi. Atau seperti dalam film-film lokal yang dikonsumsi remaja. (Sumber: Lampung Post edisi 9 September 2007)


"Tetapi, kau tidak dalam keadaan mimpi," ulangnya untuk menegaskan. Ia duduk di hadapanku kini, di teras tempatku menginap yang di depannya terampar Pantai Sindhu. "Jemari-jemarimu ada dalam jemariku. Jemariku menyatu dalam jemarimu. Di bawah matahari yang menyengat," ia melanjutkan.

Aku tersenyum. Aku menatap tajam perempuan yang sulit kuterangkan dengan kata-kata. Barangkali membutuhkan ribuan kalimat hanya untuk melukiskan kecantikan perempuan Bali yang siang tadi menemaniku di Tanah Lot.

Dan, kini masih duduk menghadapku. Lembaran-lembaran foto yang baru dia cetak bertebaran di meja. Berlatar pura, pantai, bukit atau umat yang sedang bersembahyang jelang galungan. Foto kami berdua. Foto-foto itu seperti ingin bercerita sendiri.

Aku bukan lagi lajang. Bulan Mei mendatang, usiaku 45 tahun. Sedangkan perempuan Bali yang kukenal kemarin siang di kafe hotel ini, usianya belumlah 20 tahun. Akan tetapi, kematangan dan kecerdasannya seakan mengaburkan usia belianya.

Itulah yang menerbitkan kekagumanku padanya. Ia laksana sebuah puisi yang seolah luruh begitu saja di Tanah Lot: Amat indah, tapi menyimpan rahasia untuk terus digali maknanya.

Apakah perempuan Bali lebih cepat matang dan dewasa? Aku membatin. Ia hanya memandangku. Lama. Ia seperti menunggu aku menanggapi ucapannya tadi. Cuma apalagi yang akan kutanggapi? Apalagi aku sudah kehilangan kata-kata. Penyair sekaliber Gibran boleh jadi akan kehilangan arah puisi jika sedang berhadapan perempuan secantik Ni Wayan Purnami.

Sejak sore tadi aku masuk hotel lalu ke kamar mandi, sudah kusiapkan berbiak-biak kalimat yang kuyakini sangatlah puitik melebihi puitis kalimat-kalimat penyair cinta. Entah mengapa begitu jumpa Ni Wayan Purnami Lestari, kalimat-kalimat puitisku menguap ke rimba mana.

Lalu, lama kami terdiam. Segelas minuman khas Bali tak banyak menolong memperlancar percakapan kami. Malam terus meniti tangga waktu. Angin pantai berembus lembut. Sesekali mengurai rambutnya yang lurus sebahu, kemudian jemarinya merapikan kembali. Bibirnya ranum kemerah-merahan menguarkan senyum padaku. Aku berbalas. Sebatang rokok kuhidupkan lagi. Ia merebut dari jepitan bibirku. Menindasnya dalam asbak.

"Sudah sepuluh batang kuhitung sejak aku duduk di sini," ujarnya. Aku tak menyahut. Baru dua jam ia menemaniku, tapi menurutnya yang selalu menghitung, sudah sepuluh batang rokok tandas. "Rokok bisa mempercepat umur."

Aku tahu. Itu yang selalu dikatakan para dokter jantung. Akan tetapi, mengapa para perokok berat tak juga mengindahkan nasihat para dokter atau tim kesehatan. Kenapa pula pabrik-pabrik rokok tak juga gulung mesin, kalau benar peringatan kesehatan itu ampuh?

"Tetapi minum yang memabukkan juga akan membuat orang cepat mati!" jawabku sambil memandang dua gelas minuman khas Bali di meja.

"Kau lihat, apakah aku sudah meminumnya?"

"Aku tak biasa minum yang memabukkan seperti ini," kataku tak mau kalah.

"Lalu, kenapa gelas ini ada di mejamu?" ia bertanya, tepatnya menyelidik. "Kau sangka aku suka minum seperti ini?"

Aku menggeleng. "Aku juga tidak tahu siapa yang meletakkan minuman ini. Sejak senja tadi, gelas ini sudah di situ."

Entah karena lelucon apa, akhirnya kami tertawa bersama. Amran, temanku sekota dan perjalanan memang terbiasa minum alkohol. Siang tadi, setelah dari Tanah Lot, ia ditemani Nyoman Arsana mencari minuman khas Bali. Dan, dua gelas ini adalah milik mereka yang belum sempat diminum karena keburu diajak dua perempuan dari Jakarta menyusuri pantai Sindhu. Aku tak tahu apakah mereka akan kembali ke hotel atau malah mencari penginapan lain?

"Aku ingat!" ia menggoyahkan kebisuan. "Ini minuman Amran dan Arsana. Ke mana mereka sekarang?"

"Jalan. Katanya sih ingin menyaksikan sunset!"

"Romantis," ia menimpali. Matanya yang bening laksana telaga memandangku tajam. Menantang agar aku masuk ke dalamnya dan berenang. Aku coba meraih mata yang bening itu. Kulucuti pakaianku. Melayarkan tubuhku dalam telaga sejuk dan dingin itu.

Tiba-tiba aku seperti kembali berada di tepi pantai Tanah Lot. Ni Wayan Purnami Lestari datang bersama seorang lelaki muda berambut gondrong, bercelana jins, berkaus t-shirt, dan beranting satu di telinga kiri. Ia memperkenalkan diri ketika aku hendak menuruni tangga ke pantai. Ia menunjukkan pesan singkatku di ponsel-nya, yang memintanya menemuiku di Tanah Lot. Aku tak menyangka ia akan benar-benar datang. Kupikir ia hanya basa-basi dengan mengatakan, "Jika aku ada waktu, aku akan menemui Abang."

Dan kini, setelah hari kedua di Bali, ia benar-benar menemuiku. Di Tanah Lot yang riuh. Banyak umat Hindu Bali yang tengah bersembahyang--bebersih diri--jelang Hari Galungan. Aku menyaksikan upacara mereka dari bukit landai ini. Beberapa waktu lalu aku sempat menulis sebuah puisi di bukit yang menghadap pulau yang di puncaknya tegak sebuah pura.

Sebuah puisi yang kucipta di Tanah Lot dan kelak kupersembahkan buat Ni Wayan Purnami Lestari. Berkali-kali ia meminta pria yang mengantarnya untuk menjepret kamera digitalnya ke arah kami. Bahkan, lelaki muda yang kutahu kemudian darinya adalah teman sekampus itu, dengan sabar, juga ikhlas, mengklik setiap momen yang indah yang kami miliki. Jemari-jemarinya tak henti meremas jemariku.

Aku pun membalasnya. Kami berdampingan, bersisihan, berapat-rapat jika fotografer amatir itu mengarahkan kamera mungilnya kepada kami. Tak seluang waktu kami hancurkan percuma.

"Bahkan, aku tak pernah sekalipun bergambar mesra dengan mantan kekasihku, kecuali dengan abang ini," katanya pelan, serupa bisik. Aku makin mengalungkan lenganku di pundaknya. Ia rebahkan kepalanya di dada kananku. Amran, sahabatku sekota, dari jauh cuma tersenyum-senyum. Tentulah aku bisa menafsir makna senyumnya yang nakal itu.

Namun, aku bukanlah lelaki nakal. Aku tetap menganggap Ni Wayan Purnami Lestari sebagai teman berdiskusi. Dan, jika saja ia tak berkeberatan memintaku jadi ayah, ah aku tak akan pernah menolak.

Perempuan Bali yang selama ini hanya kulihat dalam lukisan-lukisan dari ribuan pelukis ternama maupun belum terkenal, kini mewujud nyata dan dekat di depanku. Aku yakin sekiranya perempuan yang kini maish duduk menghadapku ini mengenakan pakaian adat Bali dan berjoget, tentulah tak kalah cantik serta lincah seperti penari oleg sekalipun.

Akan tetapi, Ni Wayan Purnami Lestari bukan penari oleg. Ia juga bukan objek para pelukis. Ia merupakan penyair, seperti juga aku. Ia merupakan mahasiswi dan pekerja di biro perjalanan di Bali ini. Karena puisi, kami dipertemukan. Katanya, suatu ketika, "Karena kata kita bertemu, sedang kalimat yang mengekalkan."

"Dan, puisi akan terus menyatukan," ucapku dengan suara tertahan.

Ia mengangguk. Lalu tersenyum. Bibirnya ranum kemerah-merahan kubaca sebagai sungai yang akan memuara di telaga: Bola matanya yang bening dan sejuk. Sengaja sungai dan telaga ia biarkan untuk direnangi.

Akhirnya, aku masuk juga bersama sepasang angsa. Kuikhlaskan sayap-sayap angsa itu berlepasan, menjelma sebagai perahu yang dan singgah dari kanal ke kanal. Betapa pun aku menyadari, aku tak mungkin bisa lama dan kekal berenang di sungai dan telaga itu.

Tersebab umur dan kesetiaan selalu akan mengoyak setiap impian. Karena itu, aku biarkan mimpi-mimpi itu tetap sebagai mimpi. Ia tak boleh mewujud. Tak kubiarkan ia berbiak menjadi kenyataan.

Bukankah setiap makhluk merindukan impian? Aku bergumam. Karena adanya mimpi itulah, manusia merenangi hidupnya dengan setia. Jika kau tak pernah sekali saja punya mimpi, kau tak akan pernah gagah mengarungi harapan-harapanmu. Kenyataan selalu saja berdiri di puncak harapan yang mesti kauraih.

"Karena puisi pula kita setia mencintai perbedaan, mencinta impian-impian," ia menambahkan, setelah beberapa lama terdiam.

***


Ya, lihatlah! Kami telah menulis beratus-ratus baris puisi. Di sini. Di bawah purnama di bulan Desember, di antara gemuruh ombak yang menerpa pantai Sindhu. Desiran angin yang lembut. Siraman cahaya lampu yang sengaja dipancangkan sepanjang tepi pantai.

Riuh percakapan para bule. Bau alkohol menguar. Dan, tingkah-tawa para perempuan Bali yang setia menemani turis-turis berkulit putih. Juga Ni Wayan Purnami Lestari yang seolah tak jenuh memberiku inspirasi.

"Aku inginkan setiba di rumah, abang lahirkan banyak puisi," ujarnya pelan tanpa menatapku. Pandangannya jauh ke tengah laut yang amat pekat. Tak ada setitik cahaya pun di laut sana. Tapi aku percaya, di kegelapan sana banyak puisi.

"Kau melihat puisi di laut sana?" tanyaku sekadar ingin membuyarkan konsentrasinya sekiranya ia memang sedang melamun. Ia menoleh ke arahku. Terusik. Cuma rona wajahnya tak berubah. Ia memandangku lama dengan kedua bola matanya yang sayu. Aku bisa menebak, ia sudah mengantuk. Kulihat jam tanganku yang belum kuubah dengan waktu Bali: 03.15.

"Tak melihat apa-apa. Aku hanya membayangkan, laut yang terbentang tak terkira itu makin menjauhkan jarak kita. Sekiranya tak ada laut, tak ada pulau, tiada kota-kota yang mengadang, tak akan ada jarak yang menghalangi kita untuk berjumpa. Kita akan habiskan waktu untuk bercengkerama dalam kata, di ceruk rahasia puisi. Setiap saat."

"Karena dibatasi jarak, rindu akan selalu bersemai. Alangkah bermaknanya hidup, jika kita mau dibuai-buai rindu."

"Ya, sebab puisi selalu lahir dari rindu-rindu. Puisi menjelma dari kenangan, angan, impian, serta harapan. Lalu apa lagi yang dikatakan rindu ketika rembang menyatu, kecuali bayanganmu berlarian riang di kota-kota kecil milikku," ujarnya mulai menyadari kebenaran tentang jarak.

Fajar sejenak lagi tiba. Lalu matahari pagi kemerah-merahan akan mengucapkan selamat pagi persis di hadapan kami. Berulang-ulang ia membujukku agar tidak melewatkan sunrise. Katanya dengan nada harap, "Belum tentu 2 atau 3 tahun kemudian, kita ketemu saat-saat indah seperti ini. Inilah puisi paling indah, mungkin sepanjang hidup kita."

Kemudian ia merapatkan kursinya di sisi kursiku. Sambil merebahkan kepalanya di dadaku hingga membuat helai-helai rambutnya menutupi sebagian wajahku, ia menggumamkan sebaris lagu: "Kuberharap engkaulah jawaban."

Setelah itu, ia berujar, "Aku tak akan pernah melupakan kenangan ini. Seumur hidupku. Ini lebih puitis, melebihi puisi."

Pelan. Pelan sekali. Bahkan, yang terdengar adalah desahan. Di benakku, satu puisi lagi berkelebat.

Pagi ini kau adalah puisiku.***

Lampung, tanggal 4--5 April 2007; 07.03
(Lampung Post, 9 September 2007) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar