Jumat, 17 September 2010

Bumi Digoncang
Oleh Luthfi Rachman

KETIKA itu aku benar-benar sangat menyesali diriku. Pagi itu aku berhalangan tidak melaksanakan salat Subuh, sebab semalam hampir aku tidak bisa tidur. Sakit urat di entongan punggung kananku kumat lagi, terasa nyeri hebat sampai sering menembus dada. Dada terasa ditekan-tekan benda tumpul sehingga nafasku terasa berat. Penyakit menahun itu seperti sudah langganan sehingga aku tidak khawatir selama masih ada istri tercinta dengan rasa prihatin selalu menggosok-gosokkan obat mentol sekujur punggungku, dan seperti biasanya sakitku cepat reda. Sekitar pukul empat pagi aku baru bisa tidur pulas.
Dalam tidur aku merasa tidak ada firasat mimpi apa-apa. Tiba-tiba aku terkejut bangun oleh suara istriku berteriak-teriak gugup ketakutan merangkul tubuhku.
”Ada apa?”
Istriku masih ketakutan dan mempererat rangkulannya, dan aku cepat sadar, goyangan yang disertai suara gemuruh itu meretakkan plafon internit, menggoyangkan lampu gantung, memporak-porandakan alat kecantikan yang tertata rapi di atas meja marmer. Spontan aku tersentak berteriak gugup.
”Lindu...! Ada lindu...!! Ayo, cepat turun! Turun!!”
Aku terjebak kepanikan. Istriku yang mengidap penyakit asam urat berusaha bangun merangkak, cepat-cepat kutarik lengannya agar cepat turun dari ranjang tempat tidur.
Entah berapa lama terjadi, tubuhku gemetar hebat, nafasku memburu ngos-ngosan, begitu juga istriku, kami ditelikung dalam kepanikan dan ketakutan. Dengan muka pucat, tubuh masih gemetar istriku menyaut daster sekenanya di centelan kamar, sehingga saking gugupnya daster yang dipakainya terbalik. Dan hanya mengenakan sarung dan karena terburu-buru mengambil jilbab di balik pintu kamar. Aku hanya mengenakan sarung dan kaos oblong. Ketika membuka pintu ternyata tetangga-tetangga di kompleks perumahan, laki perempuan dan anak-anak sudah keluar semua, mereka nampak tegang, bingung dan takut.
Betapa kacau pikiran dan perasaanku, seumur hidup baru pertama ini aku digoncang lindu sehebat itu, perasaan takutku luar biasa, tubuh gemetar dahsyat.
Beberapa detik setelah goncangan bumi berhenti bergetar, ternyata tubuhku masih gemetar. Lama aku berusaha menguasai keadaanku yang labil, baru kemudian aku masuk ke dalam rumah kembali. Pada saat itu aku baru menyadari bagaimana dahsyatnya goncangan lindu itu, beberapa guci keramik jatuh pecah, plastik tempat sendok garpu di meja makan terguling, beberapa pigura lukisan miring dari letaknya, plafon internit di garasi beberapa di antaranya ada yang retak-retak.
Cepat-cepat aku kembali keluar, istriku masih nampak pucat ketakutan duduk di bangku ditemani beberapa tetangga di halaman terbuka. Berkali-kali aku menghela nafas berat duduk di kursi di teras depan rumah, berusaha menghilangkan rasa gemetar tubuhku, aku merenung, aku teringat masa mudaku dulu jadi santri ustad Mat Rifai. Ustad yang terkenal suka mencubit paha itu bercerita tentang ‘bumi digoncang”, Allah subkhanahu wata’allah berfirman dalam surah Az-Zalzalah, ayat pertama menyebutkan, ”Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan yang dahsyat. Dan bumi telah mengeluarkan beban berat yang dikandungnya”
Mengingat itu aku menengadah melihat langit terbentang luas tak terbatas, mataku berkaca-kaca, nafasku memburu berat, ada bisikan mengusik batin. Tuhan memperingatkan hambaNya bahwa suatu saat jika datang waktunya bumi akan digoncang dengan goncangan dahsyat, kun fayakun kalau Tuhan menghendaki. Maka semua pasti terjadi.
Itulah bagian kecil dari awal tanda-tanda gambaran kiamat di bumi.
Kini tenggorokanku terasa kering, mulutku terasa kejang dibekam ketegangan ketika ustad Mat Rifai mengembangkan tangan membuat semua santri yang ingin mendengarnya tersirap perasaannya.
Ayat keenam dari surah Az-Zalzalah, Allah berfirman, ”Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam supaya diperlihatkan kepada mereka balasan pekerjaan mereka”.
Peringatan, semuanya yang terjadi adalah musibah dan peringatan untuk membangunkan kesadaran manusia apa yang telah dikerjakan di dunia. Kekhilafan yang terjadi mencambuk diri untuk segera bertobat.
Ketika itu aku masih sempat menengok jam dinding di ruang tamu yang tergeser miring dari letaknya, jarumnya menunjuk ke angka lima lebih limapuluh menit. Lantas timbul pertanyaan-pertanyaan yang membuat aku berpikir keras, ”Mengapa tiba-tiba tubuhku gemetar hebat? Padahal dulu tahun 1945 ketika umurku masih 17 tahun aku tidak pernah merasa takut, aku sering berkelahi mengejar-ngejar anak ‘brang kulon’. Waktu menyerbu gedung Kenpeitai, yakni markas tentara Polisi Militer Jepang di jalan Pahlawan sekarang bersama-sama ribuan pemuda kampung aku merayap maju dengan bersenjata clurit, pedang atau bambu runcing, aku tak pernah takut, sedikitpun tak gentar oleh berondongan peluru Jepang yang membabi buta, korban kita banyak berjatuhan, tapi aku tak pernah takut, nyaliku sama sekali tak gentar.
Begitu juga ketika revolusi 10 November ‘45 meletus, aku bergabung dengan laskar Hizbullah di masjid Kemayoran menyerbu gedung ‘Internatio’ yang terkenal matinya Brigadir Jenderal Mallaby. Brondongan senapan mesin dan styngun tidak membuat pejuang gentar, aku ikut berteriak-teriak ‘merdeka’! terus maju menyerbu bersama-sama ribuan pemuda-pemudi pejuang dari kampung-kampung. Tapi sekarang, mengapa sekarang aku jadi sangat penakut? Mengapa karena goncangan bumi yang hebat itu membuat ‘nyaliku’ ciut? Bingung dan panik luar biasa?
”Kamu tak akan mampu membaca makna kegaiban alam yang berada di tangan Tuhan”.
Bisikan suara itu lembuat tapi cukup menggugah perasaan gelisahku. Aku meraba dalam keheningan batinku, tahu-tahu istriku setia sudah duduk di sampingku.
”Aku haus....!” ujarnya lirih. Segera aku masuk rumah mengambil air minum.
”Kamu nggak apa-apa? Bersyukurlah....!”
”Masih deg-degan.....,” ujarnya setelah meneguk segelas air mineral.
”Trauma?”
Ia mengangguk, wajahnya masih nampak sedikit pucat, tubuhnya masih gemetar.
MULAI saat itu kami ngobrol duduk-duduk di teras depan, selang satu jam kemudian. Ketika suasana sudah mulai sedikit tenang, tiba-tiba orang-orang desa dekat perumahan nampak mulai ribut kembali. Kiki, cucuku yang di SMP datang tergopoh-gopoh naik sepeda engkol sambil berteriak-teriak.
”Buyah keluar! Ninik keluar! Ayo keluar-keluar, cepat-cepat.....!!”
”Hei, ada apa?” aku beranjak bangkit.
”Tsunami... ada tsunami! Air... airnya sudah naik, cepat, Buyah!”
Sambil menggandeng istri aku cepat keluar depan rumah, ternyata di jalan poros Sidoarum ribuan orang, laki perempuan, tua muda, anak-anak berlarian menuju ke utara, begitu juga ratusan mobil dan sepeda motor maupun sepeda engkol berdesakan, menuju ke utara, ke arah Bantulan. Ribuan orang yang kebingungan itu berteriak-teriak, ”Tsunami... tsunami-tsunami!! Menambah kepanikan.
Aku berusaha menenangkan diri dan cepat berpikir. Mungkinkan itu terjadi? Bukankah dari Parangtritis ke Sidoarum itu jaraknya masih jauh, masih 28 Km? Lagipula tanahnya sepanjang kilometer itu terus naik ada bukit-bukit. Tidak mungkin air laut yang meluap bisa mencapai kota Yogya.
”Tenang saja, tidak mungkin itu terjadi,” aku berusaha menenangkan kegelisahan istriku yang tak kuduga mencetuskan bantahan.
”Tapi kalau Tuhan menghendaki, semua akan bisa terjadi, mas!”
”Ya, kita berdoa saja. Semoga jangan terjadi tsunami.”
Aku teringat kembali pada cerita ustad Mat Rifai, ”Pada saat bumi digoncang, orang-orang keluar pada berlarian ke sana ke mari. Tak tahu ke mana arah yang hendak dituju. Mereka panik, kebingungan dan ketakutan.” Suasana kacau-balau tersebut benar-benar membangkitkan ingatanku kembali, persis seperti diceritakan ustad Rifai padaku dan pada semua santri-santri di musala, 60 tahun lalu. Aku baru menyadari benar musibah hebat yang kami alami bersama seluruh warga Yogyakarta Hadiningrat dan sekitarnya, bahwa semua cobaan itu datangnya dari Allah Swt.
SAMPAI siang hari kami merasa kehilangan informasi, karena aliran listrik putus, sehingga tidak bisa mendengarkan siaran TV. Namun di teras depan istriku nyetel radio kotak kecil yang dipangkunya. Ada berita mengejutkan, banyak korban berjatuhan tertindih rumah-rumah yang roboh rata dengan tanah, bahkan salah satu bangsal di kraton ambruk, menambah suasana kegelisahan.
Di jalan poros Sidoarum jalanan macet oleh ribuan orang yang tergopoh-gopoh berlari-lari termakan isu tsunami. Tiba-tiba terjadi keributan, orang-orang berdesakan ingin tahu.
”Korban tsunami...! Korban tsunami....!”
Aku terpancing ke sana, berdesakan. Beberapa orang mengangkat tubuh seorang bertubuh gemuk ditepikan dekat masjid. Astagfirullah.... apa yang terjadi? Ternyata tubuh gemuk yang luka kening dan kakinya itu adalah Pak RT Jamalun.
Apa yang terjadi sesungguhnya? Ternyata Pak RT yang baik itu sepeda motornya diseruduk sepeda motor lain yang ribuan jumlahnya itu hingga nyungsep ke pinggir trotoar, membentur batu-batu kerikil.
Terakhir aku mendengar teriakan menggebu-gebu suaranya parau: ”Bukan, bukan! Tidak ada tsunami, tidak ada tsunami! Semua itu isu... isu! Mereka sengaja membuat panik. Ayo pulang....! Ayo pulang... sudah aman kok.”
Ribuan orang-orang seperti gabah diinteri berwajah lesu pucat berbalik langkah. Pulang ke rumahnya masing-masing. ***

Yogyakarta, 28 Mei 2006.
(Sumber: Kedaulatan Rakyat, 4 Juni 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar