Selasa, 05 Oktober 2010

Manusia Pasrah
Oleh M Je’ef


AKU mengendus anyir paradoks dalam kepekatan malam. Lidah gerimis menjilat hening, tetapi debu-debu yang mengusamkan nurani masih saja liar menari-nari. Lantunan ayat-ayat suci Alquran terdengar di berbagai menara, tapi jiwa-jiwa yang kerontang tak sekejap pun berhenti meradang.
Aku tak berhenti mendengus.
Di tengah kepungan malam yang kerlip bintangnya tertutup rasa curiga, kucium aroma kegundahan yang melintas tanpa batas. Di antara tenda-tenda yang berjajar di permukaan trotoar, kutelusuri urat nadi yang berdenyut tak menentu. Aku cuma bisa bertanya, mengapa ada manusia yang cenderung pasrah pada keadaan? Yang terjerembap ke lembah kelam merasa bahwa dunia ini memang diciptakan dengan tinta buram. Yang dirundung berbagai persoalan merasa tak pernah lagi mengenal makhluk bernama harapan. Dan, yang terlanjur berkubang dalam dosa merasa seolah-olah tak ada lagi pintu ampunan dari Al Ghaffar.
Kuseruput sop iga yang baru saja kubeli.
Tapi, belum lagi lidahku mencecapnya, mendadak terdengar Dancing Queen-nya ABBA yang terlontar dari minibus yang melintas pelan-pelan. Keras, bahkan sangat keras. Namun, sekencang apa pun bait tersebut, toh tak mampu melindasku. Saat Benny Andersson, Bjorn Ulvaeus, Anni-Frid Lyngstad, dan Agnetha Faltskog memberondong gendang telingaku, lantunan surah Ar-Raad tetap terasa lebih merdu bagi relungku.
Innallaaha laa yughayyiru maa bi qawmin hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum tanpa kaum itu sendiri mengubahnya.” Aku yang merasa perlu banyak belajar agar bisa menjadi manusia yang tak mudah menyerah sejenak menyebut asma Ilahi.
“Ayolah, Mas. Kita harus berbuat sesuatu,” tiba-tiba suara tersebut menarik perhatianku. Terdengar di telingaku, rupanya berasal dari perempuan berjilbab yang kutaksir berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Di bawah jilatan temaram lampu warung tenda, kuamati perempuan itu. Tulang hidungnya tajam, kulitnya pualam, dan matanya kelopak mawar. Cantik sekali dia. Mirip siapa, ya? Mirip artis Zaskia Adya Mecca? Ah, tidak. Zaskia kurang bangir, masih cantik yang ini. Atau, mirip Rianty Cartwright ketika memerankan Aisha dalam film Ayat-ayat Cinta? Tidak juga. Rianty sih terlalu jelita. Meski dalam film itu dia tertutup cadar, binar matanya justru semakin terlihat sempurna. Keningku berkerut, endusanku kembali tersulut.
Dari balik gerimis, sesekali kuamati perempuan itu. Bukan semata-mata lantaran parasnya yang ayu, juga bukan karena gemerincing gelang emasnya yang melingkar di sekitar nadinya. Tatapanku memaku karena kulihat duka yang begitu mengharu biru. Tatkala aku mulai bisa menikmati kehangatan sop iga di hadapanku, kulihat kepulan asap justru keluar dari galaunya. Galau perempuan itu. Saat aku melongok keluar tenda untuk memastikan apakah gerimis sudah reda, cairan bening justru menggenang di sudut matanya. Mata perempuan itu.
Perempuan itu tidak sendiri. Di sampingnya, duduk lelaki yang hampir seusia dengannya. Sosok yang disapanya “mas” itu mungkin suaminya, tapi bisa jadi cuma kekasih. Sama seperti sang perempuan, lelaki itu juga mengenakan setelan baju yang terbilang rapi. Kemeja dengan bordiran logo Yves St Laurent di sakunya dan BlackBerry Javelin 8900 tergeletak di hadapannya. Mereka berdua tepat di depanku. Mereka tidak memesan sajian seperti yang kunikmati saat ini. Di depannya, hanya terdapat dua gelas kopi susu yang uapnya masih rambut kriwil. Aneh, kupikir, karena biasanya orang datang ke tenda ini untuk menyantap sop iga yang memang sudah terkenal itu.
Aku mendengar keduanya bercakap-cakap tentang ayah. Entah siapa yang dimaksud. Mungkin ayah si perempuan. Namun, bisa jadi ayah si lelaki. Yang jelas, sebutan “ayah” itu membuatku tak lagi menduga-duga, apakah mereka suami-istri atau hanya sepasang kekasih.
“Mas, kita harus cepat bertindak. Kalau tidak, nyawa Ayah tidak akan terselamatkan. Beliau harus segera dioperasi esok pagi,” begitu ujar si perempuan.
“Aku mengerti, tapi dari mana kita mendapatkan uang sebanyak itu?”
“Dari tadi hanya itu jawabanmu. Ingat, Mas, pihak rumah sakit menunggu kita memberi jaminan. Apakah dirimu pasrah begitu saja?” suara perempuan itu tak lagi lirih. Gelembung kata-katanya pecah, serpihannya merembes di permukaan trotoar yang basah.
“Tidak, aku tidak pasrah. Aku sedang mencari solusi.”
“Kau bilang mencari solusi, tetapi senantiasa kehilangan arti. Kau selalu terperangkap ke dalam diammu tanpa pernah berusaha mematahkan jerujinya. Masihkah dirimu mengelak dan tidak menganggap hal itu sebagai pasrah? Jawab, Mas!”
Lelaki itu sekarang benar-benar diam. Si perempuan mulai menangis. Digigit bibirnya yang kemerahan, tapi isaknya telanjur menarik perhatian para pengunjung warung tenda. Semua melirik ke arah perempuan itu. Entah kasihan karena dia bersuamikan makhluk pecundang atau mereka menatap karena air matanya serupa bintang.
***
Dari setiap sendok yang kuseduh, aku menatap cuaca global yang semakin tak menentu. Dari lembutnya daging yang kusantap, aku seperti mencabik ratusan jiwa tanpa daya yang tersapu banjir besar di Pakistan dan Cina. Semua menggumpal menjadi satu, teraduk-aduk di ujung sendok dan garpuku. Semua memang gila. Anomali memanasnya permukaan Samudra Pasifik di belahan ekuator itu gila, gerimis yang tak kunjung reda juga gila, dan adegan kepasrahan sepasang suami-istri di hadapanku lebih gila.
Tiba-tiba handphone-ku memekik. Kuamati LCD-nya. Message from Fifi.
“Lagi apa, sayang? Presentasi yang kulakukan tadi kurang sukses. Klienku sepertinya tidak begitu berkenan dengan apa yang kusampaikan. Tapi, seperti katamu, aku tidak boleh jadi manusia kalah. Malam ini, aku akan bekerja keras memperbaikinya. Aku kangen kamu. I love u, honey.”
Aku tersenyum. Bangga memiliki kekasih yang tak mudah terperangkap ke dalam pasrah. Kubalas SMS-nya, lalu kumasukkan handphone ke dalam saku celana. Namun, belum sempat bibirku berdecak, tiba-tiba lelaki dan perempuan itu kembali beradegan.
Dalam kata-katanya, si lelaki berbicara tentang beban. Ayah yang sedang sakit hanyalah satu dari sekian banyak muatan yang disesakkan ke dalam kantong pengharapannya. Berbusa-busa bibirnya menyebut proyek yang gagal, saldo tabungan yang terkuras, ataupun kartu kredit yang telah melampaui batas atas. “Semua dijejalkan dalam waktu hampir bersamaan,” lanjutnya.
Si perempuan berujar tentang ikhtiar. Katanya, tak pantas seorang anak membiarkan ayah terkapar tak berdaya. Apa pun harus dilakukan guna menyelamatkan jiwanya.
Perempuan itu juga bertutur tentang pengorbanan. Dicopotnya 50 gram gelang emasnya dan diserahkannya kepada lelaki itu. Dia berharap, pengorbanannya bisa membuat hati si lelaki terpahat dengan jiwa malaikat. Benarkah? Ah, percuma! Lelaki itu menyerupai hampa. Sayap malaikat tak mampu menerbangkan hatinya barang sekepala. Katanya, “Ini sudah malam, siapa yang mau membeli gelang ini? Toko emas juga sudah tutup semua.”
Habislah kesabaran si perempuan. Dengan nada keras, dia meminta suaminya untuk menelepon teman-temannya. Siapa tahu ada di antara mereka yang bersedia membeli perhiasan tersebut. Bahkan, lanjutnya, jika benar tak ada lagi jalan keluar, dijaminkan saja gelang itu kepada pihak rumah sakit. Sungguh, di tengah impitan malam yang putarannya semakin laju, kulihat keduanya justru sibuk berdebat tentang solusi. Mereka silih argumen terkait kemungkinan dan kemustahilan, padahal itu hanya menjauhkan mereka dari jalan keluar yang mereka cari.
“Gila! Mana mungkin rumah sakit mau dibayar dengan emas?”
“Ini bukan persoalan mungkin atau tak mungkin, Mas. Ini masalah nyawa. Jangan lupa, Mas, waktu kita tinggal malam ini. Ini pertaruhan kita. Jangan lupa juga, Mas, bukan perhiasan sebenarnya yang kita jaminkan, tapi nurani. Ini saat yang tepat bagi kita untuk berbakti kepada Ayah. Mengapa dirimu tidak pernah mencoba?”
Lelaki itu kembali bungkam. Aku tak tahu apa yang ada dalam benaknya. Mungkin, dia berpikir, siapa temannya yang akan dihubungi atau mungkin juga dia berpikir, apakah benar dia manusia pasrah seperti yang selalu ditudingkan perempuan itu.
***
Di luar tak lagi gerimis. Trotoar yang basah sudah berubah menjadi hamparan kidung malam.
Si jelita yang malang dan lelaki pecundang sudah tak ada di situ, meninggalkan dua gelas kopi susu yang kriwil-nya telah membeku. Mungkin, mereka pergi karena sudah menemukan solusi tentang ayah. Tapi, bisa juga keduanya berlalu lantaran terlampau lelah dan tak pernah bisa melepaskan diri dari perangkap-perangkap pasrah.
Aku pun menghela napas panjang. Adegan demi adegan yang baru saja kutemui membuatku belajar tentang hidup dan kehidupan. Kuambil handphone-ku dan kutuangkan semuanya. Kepada Fifi, hendak kubagi lembaran hikmah teramat bernilai ini.
“Fifi sayang,” begitu aku mulai membelai keypad-nya. “Aku baru saja menemukan pelajaran tiada tara. Pelajaran tentang manusia pasrah. Tidakkah engkau melihat hamparan padang luas di depan kita? Jangan keburu menyangkanya sebagai padang rumput nan indah, sayangku. Sebab, bisa jadi itu adalah padang pasir yang teramat gersang. Hari ini adalah perjuangan, esok pun tetap perjuangan. Manusia senantiasa hidup dalam belantara perjuangan itu. Menjadilah bagian dari diriku, menjadilah sebagai manusia yang tak mudah menyerah. Ingatlah, sayang, tawakal seperti yang kerap kita dengar, bukan berarti harus pasrah tanpa upaya. Namun, tawakal adalah ikhtiar yang dibarengi pula berjuta munajat kepada Ilahi Rabbi. Jangan menjadi manusia kalah, sayangku. Mari, kita hadapi hari esok dengan penuh percaya diri. Selamat beristirahat, cintaku.”
Kuamati lagi dengan saksama, aku pun tersenyum. Batinku, dalam sekali pencet, tentu pesan ini akan sampai kepada belahan jiwaku. Tiba-tiba, handphone-ku kembali menjerit. Ternyata, SMS Fifi mendahuluinya.
“Alhamdulillah, aku sudah menyempurnakan materi presentasiku. Semoga klienku lebih puas dengan apa yang akan aku sampaikan esok. Selamat malam, sayangku. Aku tidur dulu, ya. Kunanti dirimu di telaga mimpi.”
Bibirku kembali tersungging. Lagi-lagi bangga memiliki kekasih yang tak mau jadi manusia kalah. Bangga karena adegan pasrah yang baru saja kutemui tenyata tak sedikit pun menyesap dalam dirinya. Aku pun menatap kembali untaian kata yang belum sempat kukirim kepada Fifi.
Kulongok ke luar tenda. Kurasakan udara semakin pekat. Tak ada lagi gerimis, anyir paradoks pun sudah berlalu. Sejenak, kupejamkan mata dan kurasakan gigitan malam dengan nurani. Kupencet tombol “ok”, lalu kubayangkan Fifi yang tersenyum saat menerimanya. Ah, dunia ini memang indah. (*)
 (Republika, 26 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar