Jumat, 17 September 2010

Ibu Meninggal
Oleh Hudan Hidayat

Hingga hari ini aku masih belum percaya ibu telah meninggal. Keluargaku memang belum pernah kehilangan. Kini aku begitu merindukan ibu. Menyesal belum sempat membuat ibu bahagia.
Kehilangan itu membuatku begitu hampa. Segalanya seolah menjadi tak berjiwa. Aku seakan tak mendengar bunyi apa pun, saat pulang ke rumah dan mengepak barang yang akan kubawa. Anak-anak dan istriku sudah siap dengan bawaan mereka. Tapi aku seolah kehilangan pijakan. Kedua kakiku rasanya melayang. Aku seolah meluncur ke dalam lubang yang tak bisa kuhentikan.
Semua kenangan masa kecilku kuingat kembali. Waktu muda dan saat aku masih kecil, ibu begitu cantik. Lembut, meski keras dalam sikap. Aku bangga punya ibu seperti ibuku. Waktu ayah miskin aku membantu ibu jualan beras di Pasar Enam Belas. Aku juga sering menagih orang yang kredit dengan ibuku. Semua tugas itu hanya aku yang melakukannya. Entah mengapa ibu tidak pernah menyuruh kakak atau adik-adikku. Tapi justru itu yang membuat aku dekat dengan ibu. Waktu ibu sakit aku kasihan sekali. Aku ingin membantunya tapi tidak bisa: sakit ibu sudah parah. Aku tidak pernah acuh pada ibu. Memang kuakui aku tumbuh dengan pikiranku sendiri dan sibuk dengan diriku sendiri. Mungkin ibu berpikir aku seolah tidak peduli. Padahal dalam hati aku selalu sayang ibu. Selalu mengingatnya. Kini ibu sudah tiada. Sudah benar-benar hilang dari keluarganya.
Lain sekali rasanya kematian itu. Sore itu kami mengaji di makam ibu. Ada bentangan daun dan kembang. Juga bunga yang ditabur di makam. Sejam yang lalu aku ikut turun ke liang itu, membaringkan tubuh ibu. Meletakkan wajahnya ke dalam lubang yang tepinya digali lagi, membentuk kedalaman sendiri. Lubang yang miring. Entah mengapa saat itu aku teringat sebuah kisah: lubang dalam lubang, yang tadinya aku belum begitu mengerti maknanya. Tapi, menghadapi lubang kubur ibu, serta lubang yang digali lagi dalam lubang kubur ibu, aku jadi benar-benar mengerti kisah itu: lubang cahaya. Ya, kurasakan lubang ibu adalah lubang cahaya. Tempat di mana seorang perempuan yang baik budi semasa hidupnya terkubur di sana. Wajahnya terbenam dalam lubang itu, masuk ke dalam liang yang aku sendiri ikut menggali dan menanam tanah penyangga tubuhnya. Aku juga membukakan tali-tali yang mengikat kepala ibu, tubuh, dan kaki ibu. Kubuka ikatan-ikatan tali itu. Seolah membuka ikatan masa lalu, di mana aku terbenam di dalamnya. Sejenak melintas saat aku menghentak-hentakkan kaki, maju mundur meminta uang pada ibu di jalan. Ibu marah dengan sayang. Wajahnya merajuk lalu tersenyum. Diraihnya tubuhku dan diciumnya kepala dan mukaku. Anakku sayang,anakku sayang, kata ibu. Hanya itulah yang keluar dari mulut ibu. Ia memandangi anaknya. Seolah Tuhan memandangi dunia. Duh, perempuan yang baik hati, kini kau telah pergi. Telah benar-benar meninggalkan kami.
Kini aku hanya memiliki seorang ayah. Aku harap ayahku selalu sehat dan kuat. Tidak sakit-sakitan seperti ibu. Aku sayang sekali denan ayahku. Ayahlah yang mendidikku dalam banyak hal. Caranya mendidikku luar biasa: aku dibiarkannya melakukan apa saja yang aku suka, tidak pernah melarang. Dulu aku memimpikan ayahku dua kali: ayah begitu marah padaku dan meninggal dalam mimpiku. Aku begitu sedih sampai terbangun. Tercekam dengan mimpiku. Masih tersisa wajah ayah yang marah. Aku tidak begitu mengerti apa yang membuat ayah sangat marah. Tetapi lelaki tegas dan gagah itu memandangku dengan raut membesi. Jiwaku menggigil melihatnya. Ayah, apa salahku sampai kau marah begitu? Ini anakmu, yang sangat sedih karena bermimpi ayah telah mati. Tapi ayah tetap diam. Wajahnya sukar dilukiskan: terpaku di tempatnya, matanya seakan mengeluarkan api. Membakar tubuh dan jiwaku. Membuat aku putus asa, sedih dan berduka. Ada apa Ayah? Mengapa kau demikian marah padaku? Apakah salah anakmu ini?
Entah mengapa aku mengenang mimpi itu, saat adik perempuanku menelepon, mengabarkan ayah sakit di Tanjung Balai Asahan. Dalam telepon adikku menangis. Suaranya terbatabata. Ayah sakit keras. Dibawa naik kapal dari India. Hanya ditemani seorang kawannya. Aku terdiam. Segera kuingat kelompok jamaah kawan-kawan ayah yang kuantar ke bandara. Terngiang-ngiang kata-kata ayahku. Ayah akan empat bulan di luar negeri, berkeliling dari masjid ke masjid di Malaysia, India, dan kalau mungkin, Banglades. Hidup berdasarkan pemberian orang. Makan dan tidur di masjid. Kami tamu di sana. Setelah tiga hari sang tuan rumah boleh tidak menganggap tamu lagi. Artinya sang tamu harus pergi. Akan mencari masjid lain. Begitulah akan terjadi selama empat bulan. Ayah dan kawan-kawannya akan melalukan syiar agama dari masjid ke masjid di sana.
Suara adikku terdengar lagi. Adek sudah menuju bandara. Kita bertemu di bandara dan berangkat dengan pesawat pertama.
Aku merasa dia sudah mengendalikan diri. Agak tenang. Tetapi justru aku yang mulai tidak tenang. Penuh tekanan saat aku berusaha mengatakan sesuatu padanya. Seolah segala suka-duka keluargaku masuk ke dalam tekanan itu. Segera kukabarkan keluargaku yang lain. Kutelepon kakakku. Dia termenung mendengar kabar dariku. Bertanya. Lalu diam. Aku menyadarkannya kembali. Sebaiknya kita berangkat bersama. Ada pesawat Garuda pukul 14 siang ini. Aku menelepon lagi. Ayah sakit kritis, Jen. Beriap-siaplah. Kami yang di Jakarta akan berangkat segera ke Medan. Kalian yang dari luar kota sebaiknya berkumpul di Jakarta. Setidaknya menunggu kabar dari kami.
Seperti aku pertama kali mendengar kabar sakitnya ayah, adikku pun diam tak berkata-kata. Aku hanya mendengar nada kosong dalam telepon. Lalu suaranya yang sangat pelan. Aku berangkat hari ini juga. Jalan darat ke Jakarta.
Sebuah SMS masuk ke dalam teleponku.Aku membukanya sambil mengemudi. Aku tak mau melihat pengirimnya lagi. Pasti kabar tentang ayah. Mobilku tertahan di lampu merah di bawah jembatan flyover Kebayaron Lama. Aku membaca SMS itu, saat wajah seorang lelaki yang muncul tiba-tiba dari kaca kanan mobilku. Aku masih sempat membaca kalimat pertama.
Assalamualaikum. Nama saya Abdullah. Jemaah Majelis Tabligh dari Aceh...
Aku menyimak lelaki itu. Kehadirannya yang begitu mendadak membuatku kaget. Aku melihat tonjolan-tonjolan daging di sekujur tubuhnya. Kulit lelaki tua itu keriput dan menghitam. Penyakit kulit membuat tubuhnya rusak dan nampak mengerikan. Lidahnya terjulur di antara mulutnya yang lebar, membuatku merasa seolah lelaki itu bukan manusia. Tetapi ia adalah manusia. Hanya kehidupan telah mengalahkannya.
Lelaki itu tidak menunjukkan isyarat apa pun. Diam dan mematung di balik kaca mobilku. Matahari menusuknya. Tonjolan-tonjolan daging di tubuhnya melepuh dan mengeluarkan minyak. Ia tampak putus asa dengan keadaannya. Sorot matanya kosong tak menunjukkan keinginan. Seolah kehadirannya di tengah jalan itu hanya mekanis, dari sebuah pekerjaan rutin untuk meneruskan hidup. Aku merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Sikapnya yang memilukan itu membuatku tak sampai hati. Bagaimana menolong lelaki ini? Aku mulai menggenggam uang seratus ribu, sambil memikirkan lelaki itu. Aku kira lelaki seusianya sudah tidak pantas lagi di jalan raya. Tapi toh lelaki ini tetap di jalan raya. Ke manakah keluarganya, pikirku. Aku jadi teringat ayahku. Siapakah yang menolong ayah waktu sakit di luar negeri? Pasti berat sekali, ayah membawa tubuhnya sendiri.
Aku sangat menyesal, karena lampu hijau membuat aku harus meninggalkannya. Aku belum sempat memberikan uang seratus ribu itu. Mestinya aku tadi tidak sibuk berpikir. Tetapi aku telah berpikir dan uang itu tetap di tanganku.
Benarkah ini nomor Bapak Hudan, putera dari Bapak Jemat. Semoga benar. Saya sudah mengontak nomor-nomor di HP ayah kalian. Seseorang yang saya kontak menyebutkan antara lain nama Bapak...
Jadi, seseorang di Tanjung Balai telah menolong ayahku, dengan mengontak segala nomor yang ada di telepon seluler ayah.
Bapak Jemat sakit keras. Ayah kalian terbaring di klinik sederhana di Tanjung Balai. Segeralah ke sana sebelum semuanya terlambat.
Kalimat-kalimat akhir SMS itu bergaung dalam jiwaku. SMS itu mengingatkanku berita kematian ibu. Pagi itu aku sudah berada di mobil dengan istriku, menuju kantor. SMS itu masuk, hanya gabungan kata-kata, yang kalau kita hilangkan bagian-bagiannya tak memiliki arti apa pun. Hari-hariku sering disibukkan dengan memenggal-memenggalnya. Mengujinya apakah artinya masih dalam maknanya. Sering aku menghadapi gabungan kata "kematian" dalam kesepian kamar kerjaku di waktu malam. Saat istri dan anak-anaku sudah tertidur, aku naik ke atas dan masuk ke kamar kerjaku.?Di sanalah aku. Menguji kata atau kalimat yang kusukai untuk diriku. Kematian tidak menakutkan. Tidak lebih dari ujung sebuah perjalanan, di mana kita berhenti di suatu tempat. Perjalanan itulah kehidupan. Perhentian itulah kematian. Begitulah kalimat yang terbentang di meja kerjaku. Kalimat yang kusukai. Lalu aku memenggal-menggalnya. Kupisahkan katakata itu dan aku kini hanya menghadapi sebuah penggalan kata "kematian", "perhentian", dan "kehidupan". Gabungan huruf yang masih bermakna. Lalu kupenggal lagi. Kuhilangkan lagi sampai dia menjadi huruf-huruf mati dan hurufhidup. Terbentang di mejaku sesuatu yang tidak bermakna sama sekali. K, P, K, huruf dari sebuah awal yang bisa apa saja. Yang jelas sudah tidak menunjuk lagi fakta tentang kehidupan yang berhenti. Huruf atau kata yang terpenggal ini di mana menakutkannya? Tidak ada. Kita bisa santai menghadapinya. Kita bisa bermain-main dengannya. Mengisinya sesuka hati.
‘Tapi, pagi itu, aku diharu-biru oleh gabungankata-kata itu. Seakan kata-kata yang kupenggal itu seolah marah, seolah-olah dia makhluk bernyawa di mana penggalan yang kulakukan seakan telah membunuhnya. Menghisap darahnya, sehingga ia menggelepar tak berdaya. Dan, kini semua kata yang sering kupenggal itu bangkit menunjukkan dirinya. Menghantam tepat di pusat kesadaran jiwaku. Membuatku luluh-lantak. Begitulah kudengar berita kematian ibu melalui SMS itu. Aku seolah bermimpi. Seakan tak percaya kalimat-kalimat dalam SMS itu. Ibu kita telah tiada. Beliau menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Umum Bengkulu...
Aku meledak dalam tangis yang mencekam. Aku sudah berusaha menahannya tapi tangis itu seolah makhluk bernyawa yang tak bisa kuhentikan. Aku memutar mobilku sambil menangis. Istriku menyabarkanku tapi tak lama kemudian dia pun ikut menangis. Anakku yang baru berusia 3 tahun mungkin menangkap dengan batinnya. Dia mengucapkan kata-kata dengan wajah anak yang tak mengerti. Ada apa Papa. Mana penjahatnya. Mari kita tembak penjahatnya. Istriku mengelus-elus kepala anakku. Dia belum tahu permainan orang dewasa dengan tangisnya. Tangis yang menyimpan riwayat kesalahan dan dendam. Tangis dari sebuah kehidupan yang tiba-tiba terputus. ***
(Kenangan untuk ibuku)
(Jawa Pos, 23 Desember 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar