Jumat, 17 September 2010

Membahagiakan Ibu
Oleh Ibed Surgana Yuga

Seperti minggu-minggu kemarin, kunaiki sebuah bus jurusan ibukota yang sudah lama menunggu penumpang di blok pemberangkatan terminal kota. Bus itu hampir penuh oleh penumpang dari berbagai umur. Hanya ada dua tempat duduk yang kosong. Kulangkahkan kakiku menuju salah satunya. Seorang lelaki yang duduk di sebelah tempat duduk yang kutuju menolehku ketika kulekatkan pantatku pada tempat duduk yang butut itu. IA tersenyum. Aku membalas senyumnya.''Mau ke mana?'' tanyanya santun.''Ke ibukota,'' jawabku sambil berusaha membalas santunnya. ''Anda?'' aku balik bertanya.''Kebetulan, saya juga mau ke ibukota.''''Oh,'' aku mengangguk sambil melepas jaket kulitku. Udara sangat panas.
Rasa gerah merayapi seluruh tubuhku. Kubuka kancing atas kemejaku, lalu kukipasi dadaku. ''Ah, panas sekali udara hari ini,'' kataku sambil terus mengipasi dada.''Iya, ya.'' Lelaki itu diam sejenak. ''Entah kapan kemarau panjang ini berakhir,'' ia melanjutkan bicaranya.''Mungkin sampai kita semua mati kepanasan,'' jawabku dengan maksud bergurau.''Tapi, apakah Tuhan begitu tega membiarkan umatnya terlalu lama menderita?'' kata lelaki itu serius.''Mungkin saja. Di zaman kali seperti sekarang ini, Tuhan bisa lakukan apa saja.
Beliau mungkin saja menguji umatnya dengan ujian yang lebih berat. Karena, sadar ataupun tidak, kita sebagai manusia telah berbuat melampaui batas,'' kataku mulai serius. Dan, begitulah. Obrolan kami terus mengalir. Hingga tak terasa, bus sudah cukup jauh meninggalkan terminal kota. Tapi, obrolan kami semakin seru, seiring suara mesin bus yang menderu. Obrolan itu telah membuatku mulai ''memasuki'' kehidupannya. Aku mulai mengenalnya lebih dekat. Namanya Brahmana. Umurnya tidak jauh beda denganku. Ia orang Bali asli. Tapi setelah lulus SMA di Bali, ia merantau ke Yogyakarta guna melanjutkan studinya. Setelah lulus ia bekerja sebagai wartawan di sebuah media cetak di Surabaya. Ia anak yatim. Ayahnya meninggal karena TBC ketika ia baru berumur tiga bulan. Brahmana adalah anak pertama sekaligus terakhir. Kini, 15 tahun sudah ia meninggalkan ibunya di kampung.
Waktu 15 tahun telah membuatnya tak mampu menahan kerinduan kepada sosok perempuan yang telah melahirkannya itu. Dan, hari ini ia ingin kembali ke pelukannya. ''Tentu ibu sudah renta sekarang,'' katanya. Selama 15 tahun pula, Brahmana tidak pernah mendengar kejelasan tentang kabar ibunya. Tapi, yang membuat aku heran sekaligus kagum, dalam ketidakjelasan kabar tentang ibunya itu, Brahmana sangat yakin kalau ibunya masih hidup. ''Keyakinan Anda sangat kuat, saya kagum,'' aku berkomentar. ''Ah, itu karena saya tahu Tuhan tidak pernah bohong.''Jawabannya itu telah menggetarkan hatiku. Aku yakin, kalau Brahmana adalah seorang umat yang taat. Seorang umat yang selalu menyerahkan segala sesuatunya kepada Yang Maha Tahu. Aku jadi iri dengannya. Ada sedikit rasa sesal dalam hatiku. Sesal karena selama ini aku sering menjauhi Tuhan. Aku terlalu berkutat pada idealismeku. Idealisme yang sudah sering berusaha menjerumuskanku ke jurang penuh janji manis yang berbuah pahit. Diam-diam, ternyata aku telah mengagumi cara bicara Brahmana yang sangat santun. Penampilannya yang sederhana dan tingkat lakunya yang sopan. Aku melihat wibawa yang tinggi pada dirinya, sehingga dengan cepat nuraniku memberi horma yang tulus kepadanya. Kejujuran dan ketulusan hati sangat dalam kulihat di matanya. Ia adalah sosok teladan yang sangat sulit ditemukan pada zaman kali seperti sekarang ini, pikirku. ''Saya hanya mengirimi ibu sedikit sisa gaji setiap bulannya. Saya juga tidak pernah mengiriminya surat atau telegram,'' Brahmana melanjutkan ceritanya sambil menatap kosong ke luar kaca jendela bus. Ada setitik air dari sudut kelopak matanya. Angin cukup kencang yang masuk lewat celah kaca jendela bus menerbangkan titik air itu sebelum sempat mengalir di pipinya. ''Anda tidak pernah mengiriminya sepucuk surat pun?'' aku bertanya penasaran.''Ibu saya buta huruf,'' jawabnya singkat sambil berusaha menahan airmatanya.Aku jadi teringat ayah dan ibu di kampung. Mereka juga buta huruf. Mereka sangat bersemangat untuk menyekolahkan aku yang semata wayang ini. Mereka sangat berharap aku bisa mencapai gelar sarjana. ''Ayah tidak ingin suatu saat nanti melihat kamu dibodohi orang seperti ayah dan ibumu ini,'' kata ayah suatu ketika. Tapi, sekali lagi, aku terlalu yakin dengan idealismeku bahwa orang pintar bukan hanya dicetak oleh sekolah. Banyak sarjana yang nyatanya bodoh. Toh aku bisa membaca buku di rumah. Buku bisa membuat aku pintar. Baca buku bukan hanya di sekolah saja, bukan? Begitulah, idealismeku itu membunuh diriku sendiri dengan pelan-pelan, layaknya bahaya laten. Aku hanya tamat SMU, dan itu pun dengan tertatih-tatih. Setelah menganggur, aku hanya makan penyesalan. Banyak temanku yang sudah berhasil. Aku hanya bisa menyiapkan telinga yang tebal untuk mendengar kemarahan ayah dan ibu. Ditambah lagi dengan gunjingan para tetangga di kampung. ''Gayanya saja yang sok pintar, tapi nyatanya hanya tempe. Udin yang hanya tamat SMP saja bisa kerja di Jakarta,'' begitu kata mereka. Aku jadi malu pada ayah dan ibu, juga para tetangga. Maka untuk ''menyelamatkan diri'' aku pun merantau ke kota. Di kota ternyata pekerjaan sulit. Hampir semua lowongan pekerjaan bersyarat diploma atau sarjana, plus kursus-kursus. Kalau pun ada yang bersyarat ijasah SMU, itu hanya untuk pekerjaan kelas kasar yang gajinya tidak cukup untuk biaya hidup seminggu. Maka, aku putuskan untuk kerja apa saja alias serabutan. Kerja yang tidak memerlukan ijasah, tapi hasilnya, ya bisa dikatakan, lebih mendingan dari pekerjaan yang bersyarat ijasah ini-itu. ''Ibu Anda kan bisa minta bantuan kerabat atau tetangga untuk membacakan surat dari Anda?'' aku melanjutkan pertanyaanku. ''Ya. Memang bisa. Tapi, ibu saya adalah tipe orang yang paling tidak suka mengumumkan keadaan anaknya yang sedang merantau. Ibu saya selalu menasihaati, 'Kalau tetangga pada tahu kamu itu jauh merantau, dan umpanya kamu itu berhasil, nanti ibu dikira pamer oleh tetangga. Dan kalau kamu tidak berhasil, kan ibu juga yang malu. Biarlah kamu hanya ibu bekali doa saja. Kalau mau titip pesan, kamu titip saja kepada Hyang Widhi. Ida pasti menyampaikan pesanmu itu lebih cepat dari tukang pos. Ibu pun akan selalu mendoakanmu'. Begitulah nasihat ibu ketika aku menyampaikan niatku untuk berkirim kabar setiap bulannya.'' Brahmana diam.Aku pun diam.Yang terdengar hanya gemuruh mesin bus dan beberapa obrolan penumpang lain.''Kini sudah lima belas tahun saya merantau,'' Brahmana melanjutkan ceritanya. ''Saya ingin kembali ke kampung halaman. Saya hendak mengabdikan diri kepada ibu, membalas budi perempuan yang telah 'menobatkan' saya menjadi seorang manusia. Walaupun budi ibu tidak bisa dibalas seluruhnya, tapi setidaknya, menurut saya, ada yang menemani ibu dalam menjalani sisa hidupnya. Ada saya yang mengambilkannya tongkat ketika ibu turun dari ranjang. Ada saya yang menyuapinya nasi yang dibeli dengan uang hasil jerih payah saya sendiri. Saya hanya ingin membahagiakan ibu. Setelah sekian tahun, belum ada sesuatu berarti yang pernah saya berikan kepadanya. Saya merasa amat berdosa. Saya merasa telah menjadi anak yang paling durhaka di dunia ini. Lebih durhaka dari si Malin Kundang.'' Aku hanya terharu oleh ceritanya. Tapi, lubuk hatiku sangat tersentuh. Aku ingat ibu dan ayah. Ayaaaaahhh...., Ibuuuuuuuuu...., maafkan anakmu yang durhaka ini. Aku teriak dan menangis dalam hati. ''Ibu pasti sangat ingin saya segera menikah. Sangat jelas terasa di benak saya, ibu ingin cepat-cepat menimang cucu. Sebagai bakti saya, saya pun sudah siap untuk itu. Saya yakin, ibu pasti sudah menyiapkan calon saya. Saya akan menerima dengan lapang dada dan ketulusan hati, apa saja yang menjadi pilihan ibu. Saya tidak ingin mengecewakannya seujung kuku pun mulai sekarang. Yang saya inginkan hanya membahagiakan dan membahagiakannya.'' Rasa berdosa kepada kedua orangtuaku semakin memuncak. Aku jadi malu kalau harus menceritakan apa yang telah aku lakukan kepada kedua orangtuaku. Di hari tuanya, mereka masih bersemangat membanting tulang untuk mencari makan. Aku yang menjadi satu-satunya tumpuan hidup bagi mereka, hanya menjadi beban berat saja. Aku yang menjadi satu-satunya tumpuan hidup bagi mereka, hanya menjadi beban berat saja. Aku tidak pernah mengirim sedikit pun hasil jerih payahku kepada mereka yang ada di kampung. Malah, aku sering menerima kiriman uang dari mereka. Pernah suatu kali aku menerima titipan uang dari kampung. Kabarnya, hasil menjual kambing. Oh, Tuhan betapa berdosanya aku ini. ''Pernah selama dua bulan saya tidak mengirimkan uang ke kampung. Krisis ekonomi membuat gaji saya tidak cukup untuk membeli keperluan sehari-hari. Saya bingung. Ke mana saya harus mencari uang untuk dikirim ke kampung? Ibu pasti sudah tidak punya uang untuk beli beras atau ikan asin, waktu itu. Tabungan pun sudah habis untuk membeli satu perangkat komputer. Mau pinjam pada teman, saya malu. Akhirnya saya jual perangkat komputer itu. Saya kirim seluruh hasilnya ke kampung. Itu pun tidak seberapa, karean itu komputer kuno yang hampir tidak laku lagi. Saya bayangkan, kalau ibu tidak punya uang, ia pasti membuat jejaitan untuk dijual. Karena di rumah tidak ada lagi barang yang bisa dijual. Saya dapat rasakan bagaimana ibu begadang setiap malam untuk majejaitan, lalu esoknya beliau terbungkuk-bungkuk dibantu sebuah tongkat kayu mengantar jejaitan itu ke warung. Bayangkan, betapa besar dosa saya sebagai anak di kala seperti itu. Saya tidak tahu, entah berapa banyak doa saya yang tidak sampai kepada ibu, karena saya sudah terlalu durhaka. Bahkan, mungkin untuk berdoa saja, saya sudah tidak pantas lagi. Saya sudah terlalu bejat di mata Tuhan.'' Airmata Brahmana turun dari sudut kelopak matanya, menyusuri pipinya yang diwarnai beberapa bekas jerawat, lalu jatuh di pangkuannya. Aku semakin terharu. Rasa berdosa kepada ayah dan ibu terus memuncak seiring gemuruh mesin bus yang terus melaju. Airmataku pun hampir menetes, tapi segera aku usap dengan tanganku. ''Tapi, sudahlah,'' Brahmana hendak mengakhiri ceritanya sambil mengusap airmatanya dengan selembar saputangan berwarna putih susu. ''Saya hanya berharap, kedatangan saya kembali ke kampung untuk membahagiakan ibu dapat menutupi sedikit dosa saya.'' Aku hanya mengiyakan pendapatnya itu.''Ah, saya jadi terlalu banyak bercerita. Anda kelihatan mengantuk. Tidaklah! Toh terminal ibukota masih jauh.'' ''Anda juga kelihatan letih. Istirahatlah, biar di kampung nanti Anda lebih segar,'' saranku.Begitulah. Akhirnya kami sama-sama terlelap dengan mimpi masing-masing, tak menghiraukan guncangan bus yang kadang-kadang bisa membenturkan kepada kami berbua. Aku terbangun ketika kernet bus mengguncang-guncang pundakku meminta ongkos. Brahmana masih lelap sekali. Terminal ibukota masih agak jauh, jadi aku putuskan untuk tidak membangunkannya. Kuambil dompet dari saku celanaku. Kuperhatikan isinya. Masih cukup untuk membayar ongkos bus barang empat orang. Lalu kuputuskan untuk sekalian membayar ongkos bus Brahmana. Aku juga putuskan untuk tidak melanjutkan tidurku. Aku terus merenung, memikirkan seluruh sikap dan perbuatanku kepada ayah dan ibu. Cerita Brahmana telah melahirkan sebuah penyesalan yang amat mendalam dalam hatiku. Seluruh pikiranku hanya dipenuhi oleh penyesalan. Aku terus menyebut nama Tuhan. Meminta ampun barang sedikit saja. Aku amat menyesal. Penyesalan itu terus melarut pikiranku hingga bus memasuki gerbang terminal ibukota.Bus berhenti. Semua penumpang berhamburan turun. Sebelum berkemas, aku mau membangunkan Brahmana yang masih lelap tertidur. Ternyata ia sangat lelah. Aku jadi sungkan membangunkannya. Tapi, apa boleh buat, bus sudah sampai di terminal tujuan. Aku mengguncang pundaknya. Tapi ia tak kunjung kereaksi. Ah, lelap sekali dia, pikirku. Seluruh penumpang sudah turun. Hanya tinggal kernet dan sopir yang sibuk menghitung uang hasil jerih payah mereka. ''Brahmana, kita sudah sampai,'' kataku sambil terus mengguncang pundaknya.Tak ada reaksi.''Brahmana! Brahmana!''Tetap tak ada reaksi. Kepegang pergelangan tangannya tak ada denyutan. Tapi ada senyum di bibirnya. Senyum yang membahagiakan ibunya di kampung sana. Negara, 2002.

(Sumber: Bali Post, 20 April 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar