Jumat, 17 September 2010

Lho
Karya Yanusa Nugroho

Dulu, waktu aku kecil, sering orang yang lebih tua dariku menasihati bahwa kedua telingaku ini harus mau mendengar ucapan orang lain. Tentu, maksudnya adalah mau menerima nasihat dari orang lain, karena siapa tahu mereka punya pengalaman hidup berharga. Nasihat itu selalu terngiang dan bahkan sudah merasuk ke dalam jiwaku, sehingga ketika kuliah pun, aku lebih suka jadi pendengar daripada pembicara.
Dalam kehidupan sehari-hari, aku menjadi manusia yang jarang sekali menggunakan mulut, karena aku entah bagaimana seperti tersihir oleh kata-kata "diam adalah emas." Ada untung, ada pula ruginya. Untungnya, aku menjadi manusia yang jarang salah ngomong dan sekali berkata, aku selalu didengar orang. Ruginya, aku kurang populer di mata rekan-rekan entah ketika masa kuliah dulu, atau sekarang ini di tempatku bekerja. Bahkan, ketika aku sudah berumah tangga dan tinggal di kompleks, kalau ada rapat RT pun aku tidak pernah diundang, gara-gara orang kurang mengenalku. Terus mau apa coba?
Aku memang tidak bisa bergaul, karena di dalam pergaulan yang dibutuhkan adalah bicara, bicara, dan bicara. Mungkin karena itu pulalah aku jadi suka mencari kesibukan sendiri. Kalau hari kerja, ya, memang tak ada kesibukan lain selain mengerjakan tugas kantor. Tapi bila hari libur, maka aku akan berusaha mencari kesibukan di rumah, atau tidur! Nah, pada suatu kali ketika cuti, aku berniat mengecat rumahku. Kebetulan yang akan kucat memang bukan seluruh dinding rumah, tapi hanya beranda dan pagar tembok yang tak seberapa itu. Setelah kubayangkan warna yang akan kuoleskan di dinding, aku pun ke toko material mencari cat dan peralatan lainnya.
Belum lagi aku mengunci pintu pagar, tiba-tiba Pak Sodik, orang yang biasa mengerjakan renovasi rumah lewat di depan rumah. Setelah basa-basi dan seperti biasa kujawab cuma dengan senyum, dia bertanya aku akan ke mana, dan kujawab akan membeli cat tembok. Tanpa kuduga dia langsung bicara panjang lebar soal harga cat, sampai warna. Dia, tanpa kuminta langsung mengeluarkan ilmunya soal cat dan aku tak bisa lain kecuali mendengarnya dengan kesabaran imitasi. Entah ke mana saja arah bicaranya, yang kutahu pada akhirnya dia menawarkan diri mengecat tembok rumahku. Aku tertawa kecil dan mencoba menolak dengan halus, "Wah, mana kuat saya bayar Pak Sodik." Dia tertawa saja, tapi bersikeras agar pekerjaan tersebut diserahkan kepadanya. "Pokoknya, Mas Nug terima beres. Daripada tangannya belepotan cat, kan, enggak lucu?" tambahnya sembari menodongkan tawarannya padaku. "Baik. Ongkos tukang catnya, berapa per hari?" tanyaku sekadar ingin cari celah. "Ah, kayak enggak kenal saja, pakai nanya segala..." jawabnya sambil tertawa entah apa maksudnya. Begitulah percakapanku dengan Pak Sodik. Akhirnya dialah yang mengerjakan pengecatan dinding rumahku.
Anehnya, ongkosnya selalu dia rahasiakan, seakan aku sudah biasa menyuruhnya mengecat rumahku. Sementara aku masih saja memikirkan kira-kira berapa biayanya. Karena tak ada lagi yang bisa kulakukan, aku masuk kamar dan membiarkan dia bekerja. Kusibukkan diriku dengan membaca apa saja. Entah bagaimana aku meraih sebuah buku, oleh-oleh dari seorang kawan. Panchatantra, sebuah kumpulan cerita klasik India, yang semasa kecil kukenal lewat dongeng tutur ayahku. Meskipun sudah kuhafal benar cerita-cerita itu, tapi saat itu aku menikmatinya juga. Kisah si petani bodoh, Pertapa dan Jin, dan entah apalagi, kubaca semuanya, sampai akhirnya tiba-tiba Pak Sodik muncul di pintu kamarku. "Ada apa, Pak?" "Sudah selesai..." jawabnya dengan raut muka kurang senang. Kulihat arlojiku, baru jam tiga. Sudah selesai. Ya, memang hanya sedikit yang harus dikerjakannya. "Berapa, Pak?" "Terserah sajalah... soalnya, ya, gimana, ya. Ini, kan, enggak seberapa..." jawabnya dengan nada yang menusukku. "Tadi, kan, saya sudah bilang, kalau ini pekerjaan enggak seberapa, dan juga soal biayanya... ya, kan?" kataku tak mau kalah. Tapi, tampaknya dia tidak bisa menerima sanggahanku. Dia terus menggumam tak jelas, tapi kutahu maksudnya. "Kalau sekalian yang dalam, sih, saya bisa mengira-ira berapa besarnya. Tapi, ini, kan, cuma sedikit. Jadi... saya enggak enak mau minta bayarannya." Aku makin kesal. "Pak, begini saja. Enggak usah merasa enggak enak. Bilang saja berapa, saya bayar," kataku seraya mencabut dompet. "Wah, jangan begitu Mas. Masak saya mau narik ongkos lebih mahal dari harga catnya," ucapnya sambil tersenyum kecewa."Kalau memang begitu, ya enggak apa-apa. Ini mohon diterima..." kataku sambil mencabut selembar 50 ribuan. Dia tak bicara lagi dan langsung pulang.
Terus terang aku kesal, mana mungkin hanya mengerjakan tak lebih dari 15 meter persegi, aku harus mengeluarkan upah Rp 50 ribu. Tapi, ya, mau bilang apa? Beberapa hari kemudian, kebetulan aku diundang teman yang mengadakan akekah untuk anaknya yang baru lahir. Di tempat itu pun aku merasa hanya sebagai pendengar, mendengarkan orang bicara soal politik, soal sepak bola, soal perempuan, soal anak-anak, narkoba, dan entah apa lagi. Rasanya begitu banyak pengetahuan mereka soal topik-topik itu, sementara aku merasa tak tahu apa-apa. Gelak tawa dan canda ria berhamburan di sekitarku dan seakan tak mau menyentuhku sama sekali, sampai sebuah kalimat menyedot perhatianku: soal Pak Sodik. Pak Wisnu, seorang tamu juga, yang bicara soal Pak Sodik, segera kutanyai lebih banyak. Katanya, dia kemarin menyuruh Pak Sodik membetulkan kitchen set-nya. Sambil bekerja Pak Sodik ngoceh bahwa dia kecewa karena pernah disuruh orang kompleks mengecat rumah dan dibayar murah sekali. Biasanya dia dibayar Rp 100.000 per pekerjaan mengecat rumah, tapi cuma dibayar kecil. Begitu tutur Pak Wisnu. Nyaris saja aku bertanya soal siapa yang menyuruh Pak Sodik dan berapa jumlah uang yang diterimanya, tapi kuurungkan. Tapi, yang membuatku jadi lebih kesal adalah ketika kudengar bahwa Pak Sodik berkomentar soal luasnya tembok yang harus dicat. Katanya, "Cuma ngecat se-emprit saja pakai nyuruh orang. Kayak bos saja. Kayaknya enggak mau kotor." Entah apa yang kemudian diceritakan Pak Wisnu, rasanya aku sudah tak tahu lagi. Terus terang aku marah pada manusia "kancil" satu itu. Bagaimana mungkin dia bisa memutarbalikkan ucapan dan membuatku seperti orang paling jahat di dunia. Sejak saat itu, aku berjanji tak akan menyuruh dia lagi untuk melakukan pekerjaan apa pun.
Suatu kali, aku berniat mengganti rumput di halaman rumahku. Tak seberapa luas memang, tapi jika diganti dengan rumput golf, kok, kayaknya bagus. Tanpa pikir panjang, aku pergi dan membeli rumput tersebut. Ketika aku asyik mencangkuli halamanku, tiba-tiba si "setan" itu muncul lagi. Seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, dia mulai berkomentar soal rumput. Namun, kali ini tak kuhiraukan sama sekali. Ketika, sebagaimana kuduga, dia akhirnya meminta pekerjaan itu, aku cuma menjawab bahwa aku bukan sok bos yang hanya bisa menyuruh-nyuruh orang. Aku memang bermaksud menyinggungnya, tapi badak juga dia rupanya. Entah bagaimana, akhirnya dia pergi dan itu membuatku lega.
Akhirnya, begitu magrib tiba, selesailah taman baruku. Puas juga rasanya mengisi hari Minggu dengan kegiatan itu. Di stasiun kereta api yang akan membawaku ke Kota, aku bertemu orang-orang kompleks yang juga berangkat bekerja dengan menaiki kereta pagi. Setelah omong sana-sini, akhirnya ada satu kalimat yang membuatku harus menahan amarah. Menurut salah seorang itu, entah siapa, Pak Sodik menggerutu bahwa di kompleks ternyata masih saja ada yang bermental petani. Orang itu, kata Pak Sodik, rumahnya bagus, barang-barangnya mewah, tapi tak mau memberikan sedikit mata pencarian bagi orang semiskin dia. Padahal, tambahnya, rumput yang digantinya itu cukup luas, yang menurutnya bisa memberinya 10 - 20 ribu rupiah sekadar buat makan hari itu. Ketika aku duduk dan menatap pemandangan di luar kereta, aku tak bisa mengerti tentang apa yang baru kualami ini. Kereta api membawaku ke suatu tempat yang jauh dari kompleks rumahku, tapi yang mungkin akan membawaku kepada lingkungan yang tak jauh berbeda dari apa yang ada di sekitar rumahku. Aku mulai berpikir, mungkin kini saatnya aku harus banyak bicara, entah benar, entah salah. Yang penting bicara. Dengan berbicara, mungkin orang akan segan kepadaku. Mungkin.
(Tabloid Nova edisi 5 Maret 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar