Jumat, 17 September 2010

Lurah
Oleh Zaki Jubidi

PAK Lurah sakit. Berita itu telah ter-siar kemana-mana. Entah siapa yang menghembuskannya pertama kali, yang jelas dari anak-anak sampai kakek-nenek tahu tentang hal itu.Hampir di tiap tempat -- orang berkumpul — pasti membicarakan Pak Lurah. Di pasar, ibu-ibu yang belanja tidak hanya tawar menawar harga tapi juga memperdebatkan penyakit Pak Lurah. Di tempat nongkrong, para pemuda pasti menyelipkan perihal penyakit Pak Lurah dalam pembicaraan mereka. Di tempat rapat, sebelum acara dimulai para penduduk membicarakan sakit Pak Lurah dengan suara perlahan dan akan serempak berhenti ketika Pak Lurah datang.Tapi yang mereka bicarakan bukanlah soal: mengapa Pak Lurah sakit, Pak Lurah sakit apa, sejak kapan Pak Lurah sakit.Pertanyaan yang terus terulang-ulang adalah apa benar Pak Lurah sakit? Memang pada mulanya hal itu adalah sebuah pertanyaan tapi pada perkembangannya telah berubah menjadi sebuah pernyataan. Seluruh warga percaya bahwa Pak Lurah sakit, tapi seluruh waraga pun membantah dan akan bilang Pak Lurah tidak sakit. Mbulet. Samijo, itulah nama yang diberikan oleh orang tuanya ketika ia lahir. Samijo adalah satu-satunya orang desa Jowinong yang bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Juga satu-satunya sarjana. Ketika teman-teman sebayanya masih bermain layang-layang, Samijo kecil sudah mengenyam pendidikan tingkat esempe. Samijo bersekolah di kota kabupaten. Banyak sekali orang yang mencemooh keluarga Samijo saat itu. Ada yang menganggap sombong, bahkan ada yang berani mengatakan bahwa bapak-ibu Samijo adalah orang bodoh dan sok tahu. Bagi mereka sudah bisa baca-tulis sudah cukup. Tidak perlu sampai esempe. Toh akhirnya nanti jadi petani seperti para orang tua mereka.Saat menginjak umur dua puluh tahun, Samijo melanjutkan sekolah di Surabaya. Padahal temannya, Sutaji --teman sebaya— sudah memiliki anak dua. Sutaji adalah sahabat karib Samijo. Sutaji bukanlah seorang yang bodoh. Sejak kelas satu hingga kelas enam esde, ia selalu menduduki rangking pertama. Ketika esde, Samijo sangat banyak berhutang jasa pada Sutaji, sebab Samijo adalah anak yang bodoh. Kebodohan Samijo memang terlalu parah, hingga kelas empat ia belum hapal berhitung dari satu sampai sepuluh. Pernah suatu ketika ia ditanya oleh gurunya: siapa nama presiden kita? ia tidak menjawab Bapak Soeharto tapi ia jawab: Kartolo. Ia dengan yakin menyebut nama yang sering ia dengarkan pada malam hari lewat radio transistor milik bapaknya.Masa kecil Samijo tidaklah sebahagia yang dikira banyak orang. Ketika masih esde ia mengalami tragedi yang mengerikan. Pak Brata, guru matematika terkenal sangat baik terhadap Samijo. Banyak yang mengira bahwa kedekatan ini karena Samijo adalah anak orang kaya dan hal itu akan dimanfaatkan oleh Pak Brata. Tapi tidaklah demikian adanya. Suatu ketika saat di kamar mandi Pak Brata bertemu dengan Samijo, dan di tempat itulah Samijo disodomi oleh Pak Brata sampai beberapa kali. Meskipun kejadian itu sangat membuatnya sakit, tapi ia tak berani bercerita kepada siapa pun.Masa-masa esema yang ia alami juga tidak begitu bahagia. Di masa puber yang sangat indah, Samijo termasuk cowok yang selalu gagal dalam bercinta. Sudah tak terhitung berapa kali cintanya ditolak. Ia sudah berusaha keras untuk berpenampilan menarik tapi ia selalu gagal bahkan hanya membuat dia seperti buruh pabrik. Kalaupun ia punya pacar, itu hanya untuk mengeruk isi kantong Samijo, setelah puas Samijo ditinggal pergi. Merana. Tapi bagaimanapun juga nasib berkata lain, Samijo sudah menjadi lurah dan mempunyai istri yang cantik. Seperti hari-hari sebelumnya, Samijo selalu meluangkan waktu untuk berjalan-jalan mengelilingi desa hingga matahari tenggelam. Dengan senyum mengembang, ia sapa semua orang. “Selamat sore, Pak Karjo.”“Sore Pak Lurah.” “Jalan-jalan Pak Lurah?”“Iya Pak, sambil memantau keadaan desa.” Kalimat-kaliamat ini hampir selalu keluar bila Pak Lurah bertegur-sapa dengan warganya. Seolah menjadi kalimat yang wajib diucapkan bila bertemu Pak Lurah meski hanya sekadar basa-basi. Jambang yang tumbuh di sekitar dagu tak membuat wajahnya sangar. Mungkin ia sengaja membiarkan jambang itu tumbuh tipis, sebagai legitimasi kekuasaan. Tapi mata dan hidungnya seperti ingin memberontak untuk memperjuangkan kejujuran. Mata Samijo yang bulat ikan koki mengguratkan kekosongan: sebuah pintu menuju nol. Sedangkan hidungnya membentuk wujud jambu air yang panjang dan membesar di bawah.Tiap kali penduduk bertemu Samijo, dalam benak mereka selalu terjadi gesekan tanya. Mereka percaya Pak Lurah sakit tapi mereka jadi tak percaya setelah bertemu langsung dengannya. Sampai-sampai pilihan Lurah yang akan segera digelar tidak dihiraukan. Mereka sangat yakin Pak Lurah saat ini — yang mereka mitoskan sakitnya -- akan menjabat lagi sebagai lurah.“Kasihan Pak Lurah, masih muda sudah sakit.”“Apa benar ia sakit?”“Ia tak pernah kelihatan sakit.”“Tapi ia sakit.”***Hari telah menjadi malam. Desa menjadi hening dengan lampu-lampu petromak yang menyala putih kekuningan. Angin gunung menghembus dan terasa dingin oleh kulit, meski beberapa lembar kain melapisinya.Rumah Pak Lurah juga lengang, sayup-sayup hanya terdengar gending-gending jawa. Di serambi, tampak Pak Lurah sedang duduk di kursi goyang sambil menghisap rokok. Wajah Pak Lurah hanya datar. Tak tampak sedang memikirkan suatu masalah atau juga sedang santai. Juga tidak sedang memikirkan pilihan lurah yang akan segera dilaksanakan. Wajah Pak Lurah benar-benar nol. Di dalam ruang tamu yang tampak hanya kursi kosong dan di tembok terpampang lukisan Raden Cokro dan Raden Roro Sekar Arum. Orang tua Lurah Samijo. Gambar dalam lukisan itu tampak berwibawa dan penuh kharisma. Di ruang tengah, bu lurah sedang diam sambil memandang televisi hitam putih yang listriknya diambil dari aki. Malam semakin larut. Bu lurah tampak gelisah, perhatiannya tak lagi pada televisi. Wajahnya sangat carut, dadanya yang bengkak itu turun naik tak teratur. Seperti mengharap sesuatu yang ditunggu dan selama ini tak pernah ia dapatkan. Ditinggalkanya televisi tetap menyala. Samijo melihat kedatangan istrinya dengan dingin. Tangan Samijo diraih dengan tergesa dan diseret menuju kamar. Lalu merekapun tertelan malam dengan segala gairahnya.***“Pak Lurah, sebaiknya Bapak menyiapkan dana lebih banyak untuk pemilihan Lurah bulan depan.” “Lho, untuk apa?”“Ya, biar Bapak tetap menjadi Lurah.”Lalu Samijo berdiri dari kursinya. Ia mengitari ruangan dengan tangan menopang dagu. Alisnya mengernyit, mencoba bagaimana sebaiknya menghadapi pilihan Lurah. Lalu masih dengan ekspresi yang sama ia bertanya pada Joko —bawahannya—.“Apa aku harus keluar uang banyak untuk tetap jadi lurah?”“Memang dulu tak perlu melakukan itu, tapi sekarang tak mungkin tanpa uang”, jawab Joko sambil menyalakan rokok.“Kenapa?”“Di Desa Mojojejer ada orang baru. Dia pindahan dari Surabaya. Seperti juga Bapak, dia seorang sarjana ekonomi. Dan penduduk sepertinya banyak yang bersimpati padanya,” Joko serius menerangkan.“Tapi aku juga sudah bosan jadi lurah,” jawab Samijo malas.Joko tampaknya bingung. Ia tak mungkin membiarkan Samijo tidak jadi lurah lagi. Sebab ia sering mendapat ‘keuntungan’ dari Samijo. Dia takut jika yang jadi lurah adalah orang baru, ia tidak mendapat ‘keuntungan’. Dari kas desa saja ia bisa ambil untung lima ratus ribu. Belum lain-lainnya.“Tidak bisa Pak, Bapak harus jadi Lurah.” ucapnya agak ngotot.“Aku malas,” jawab Samijo singkat.“Apakah Bapak sudah tidak cinta pada saya lagi?” bawahan bertanya seolah mendapat akal.“Joko...bagaimanapun aku tetap cinta sama kamu. Kamu adalah laki-laki di dunia ini yang kucintai. Aku tak ingin kehilangan kamu.”“Kalau Bapak tetap jadi lurah kita kan bisa bertemu kapan saja,” sambil tersenyum dengan kerlingan nakal.Setelah berpikir agak lama akhirnya, “Emm...baiklah. Dari pada aku harus kehilangan kamu,” Samijo mengambil keputusan. Ia melangkah mendakati Joko, mencium tangannya lalu berpelukan mesra. Dan mereka tenggelam dalam api asmara.***Suara siulan Samijo berhenti, air tidak lagi berguyur. Pintu kamar mandi terbuka. Pak lurah keluar dengan rambut yang basah dan senyum mengembang di bibirnya. Dan atas nama cinta, Samijo siap bertarung memperebutkan kembali kursi lurah.Surabaya, Nopember 1998-2000.

(Bangka Pos, 17 November 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar