Jumat, 17 September 2010

Hikayat Gajah Terakhir
Oleh Gde Agung Lontar

Aku adalah seekor gajah. Gajah terakhir yang tersisa di muka bumi ini. Dengan begitu berarti aku juga seekor gajah tunggal, yang berkelana sendirian dalam ketuaan. Berkelana dari kota ke kota; hutan dan rimba telah tiada. Hanya belantara sawit dan akasia semata. Di sini, di kota, aku merasa mendapatkan kehidupan yang lebih nyaman. Orang-orang di kota agaknya dapat bersikap lebih ramah kepadaku, dibanding para penjaga kebun-kebun sawit dan akasia itu. Orang-orang yang tinggal di rerumah gubuk kardus dan kayu lapuk ini, atau yang tinggal di pinggir sungai hitam pekat jelantah, atau juga yang berteduh di bawah jalan layang. Tidak, tidak ada yang tinggal di kompleks perumahan mewah. Bukan apa-apa, meskipun anak-anak mereka sesungguhnya merasa senang begitu melihatku melintas di pinggiran perumahan mereka, tetapi ibu-ibu mereka mencemaskan anak-anaknya. Bukan apa-apa. Tentu saja bukan mencemaskan aku akan memakan anak-anak mereka yang manis-manis dan lucu-lucu itu, karena aku tentulah tidak akan melakukannya. Aku masih sangat menyukai dedaunan sebagaimana nenek moyangku dahulu. Juga bukan karena mereka mencemaskan aku suatu ketika akan mengamuk membabi-buta sebagaimana yang pernah dilakukan oleh saudara-saudaraku lama berselang sebelumnya.

Bagaimana pun mereka tahu bahwa aku adalah seekor gajah yang renta, yang bahkan untuk menyeret tubuhku sendiri pun sudah membuat aku sulit bernapas. Justru karena itu, yang mereka cemaskan adalah kalau-kalau suatu ketika aku tak lagi mampu menyokong tubuhku yang besar dan berat ini, tetapi justru pada saat itu para kekanak itu sedang bermain di dekatku. Ya, kita semua dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Karena memahami hal itulah aku tak pernah merasa sakit hati akan ulah para ibu-ibu dari perumahan mewah itu. Ya, anak-anak memang harus kita jaga dengan sangat hati-hati; apalagi di zaman yang berlari seperti ini. Meski demikian, setiap aku melewati depan gerbang taman bermain anak-anak itu, aku tetap juga memberi salam kepada anak-anak itu sambil menggeleng-geleng dan mengibas-ngibaskan daun kupingku yang lebar. Belasan anak-anak yang sedang bermain itu pun lalu berhamburan ke pagar kawat taman perumahan itu, lalu dengan caranya masing-masing balik memberi salam kepadaku. Aku tahu; kanak-kanak yang lucu. Meskipun di belakang kulihat para ibu mencemaskan hal itu.

Tetapi tidak dengan anak-anak yang berada di pemukiman kumuh itu. Entah kenapa setiap aku datang dan anak-anak mereka bersorak merubungiku, tidak ada satu pun orang tua mereka yang mencemaskannya. Kadang-kadang aku jadi berpikir pula, apa bedanya antara anak-anak di pemukiman mewah itu dengan anak-anak di pemukiman kumuh ini? Kenapa para ibu di pemukiman mewah itu begitu mencemaskan anak-anaknya bahkan meski hanya sekadar merapat ke pagar kawat taman ketika menyambut salamku, sedangkan para ibu di pemukiman kumuh ini seperti tidak mempedulikan ketika anak-anak mereka ramai-ramai mendekatiku bahkan kadangkala bermain-main di bawah perutku? Apakah ibu-ibu di pemukiman kumuh itu tidak takut suatu saat anak-anak mereka tanpa sengaja terinjak olehku atau bahkan tertimpa oleh tubuhku yang limbung karena usia tua? Ketika yang satu begitu mencemaskan sementara yang lain tidak, apakah itu berarti ada perbedaan nilai di antara mereka? Terus terang sampai saat ini aku tidak begitu memahami hal itu. Yang aku lihat, kegembiraan mereka, kanak-kanak itu, ketika melihatku aku lihat sama saja; meskipun yang di taman lebih terasa seperti getar kerinduan yang tak terlepaskan. Aku memang lebih merasakan kegembiraan yang lepas pada anak-anak di pemukiman kumuh itu ketika mereka berhasil mempermainkan daun telingaku atau sekadar bergelantungan pada belalai atau gadingku. Aku sendiri tentu lebih menyukai bila aku dapat langsung bermain-main dengan anak-anak itu, meski tentu saja aku harus berhati-hati dengan tubuh besar dan tua ini agar tidak sampai menginjak mereka atau limbung dan tumbang. Bagi seekor gajah yang kesepian hal seperti itu sangat menyenangkan. Tidak, tidak; aku memang gajah tunggal, tapi bukanlah yang pemarah.

Ya, aku gajah tunggal karena aku adalah gajah yang terakhir hidup di muka bumi. Ini kuketahui pada hari terakhir aku berada di rombongan sirkus lebih setahun yang lalu. Aku mendengar pimpinan rombongan berbicara kepada pawangku, “Kita lepaskan saja dia. Sebagai gajah terakhir di muka bumi, dia patut mendapatkan kehidupan di alam liar di hari-hari terakhirnya. Kita sudah memeliharanya sejak bayi. Kasihan. Lagi pula, dia sudah terlalu tua. Dia tidak mampu lagi melakukan trik-trik yang kamu perintahkan.”

Maka, pada suatu malam buta, aku pun dilepaskan di sebuah pinggiran hutan. Apakah aku dilepaskan atau dibuang; aku tak begitu paham. Yang kemudian aku sadari, sejak itu aku harus mulai mencari makan sendiri. Sesuatu yang tidak pernah kulakukan sejak bayi. Jadi, meskipun kami kaum binatang hidup untuk makan ataupun makan untuk hidup, tidak juga serta-merta kami mampu melakukannya tanpa belajar dan pengalaman. Hari-hari pertama aku di alam bebas, aku lalui dengan kelaparan dan kehausan. Aku bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Benda gelap yang semula kukira hutan pada malam aku dibuang, ternyata hamparan kebun kelapa sawit semata. Aku sering mendengar saudara-saudaraku dulu sering diburu dan bahkan dibunuh orang bila berani bahkan sekadar mendekat-dekat ke perkebunan seperti itu. Karena itu, aku pun tak berani mencoba mendekati, meskipun pucuk-pucuk hijau muda itu begitu menggoda, meskipun buah-buahan yang bergerombol merah kehitaman itu begitu menggoda. Tapi, apa dayaku, sekelilingku saat itu seluas pemandangan adalah kebun sawit semata. Apa yang harus aku lakukan? Apakah kuseberangi saja parit ini untuk mendapatkan pucuk-pucuk hijau muda itu? Tetapi, dalam keputusasaan begitu tiba-tiba aku bertemu dengan segerombolan manusia. Kami sama-sama terkejut. Tetapi aku lebih terkejut lagi manakala mendengar mereka berteriak ramai-ramai, lalu mengejarku sambil mengacung-acungkan berbagai macam senjata yang ada.

Aku pun lari.

Sebenarnya bagiku manusia bukanlah makhluk yang aneh dan menakutkan. Di rombongan sirkusku aku setiap hari bertemu dan bergaul dengan mereka sejak aku masih bayi lagi. Aku juga sudah terlalu sering mendengar mereka berteriak-teriak dan bersorak-sorai atau bertepuk tangan, melihat wajah-wajah ceria mereka, yang seringkali membuatku tambah bersemangat dan berbahagia. Tetapi, yang aku alami ketika itu aku rasakan berbeda sekali. Mereka memang sama-sama manusia, mereka memang sama-sama berteriak dan bersorak; tapi di bawah sadarku aku merasakan adanya perbedaan. Aku merasakan adanya ancaman yang sangat berbahaya dari sikap mereka yang seperti itu. Karena itulah kemudian aku berlari.

Berlari. Berlari melarikan diri. Hingga tanpa sadar hari larut malam ketika aku sampai di suatu tempat dengan langit berpelangi gelap. Di situ aku tersungkur. Seribu letih menggelantung jiwaku. Selaksa perih menggerayang tubuhku. Sedaksa lapar menggelerus perutku. Sejuta dahaga menggelantang jantungku. Aku pun tak sadarkan diri.

Pagi, aku tersadar setengah mati. Orang-orang ramai di sekelilingku. Matahari setinggi penggalah. Dan yang semula kusangka pelangi gelap ternyata hanya sebentangan jalan layang. Orang-orang itu ramai berbicara.

“Akan kita apakan dia?”

“Kasihan.”

“Dia sudah tua sekali.”

“Kata orang-orang, sudah tidak ada lagi gajah di bumi.”

“Ini, nyatanya ada.”

“Mereka orang bebal semua.”

“Lihat, tubuhnya penuh luka.”

“Ada berbatang-batang anak panahnya lagi. Yang ini pasti bekas kena tombak. Itu, aku rasa kena tembak. Nah, yang memanjang ini pastilah bekas kena tebas parang.”

“Kasihan. Sebaiknya kita obati.”

“Tetapi, dengan apa? Mengobati borok kita sendiri pun kita tak punya.”

“Itu borokkau. Kau memang sayang ke borokkau itu. Dapat kaucium-cium.”

“Hei, lihat, aku punya obat merah!”

“Bawa sini! Tak sampai separuh lagi. Apa cukup untuk semua luka ini?”

“Jangan bercakap saja. Kerjakan apa yang bisa. Kau, kau, cabut anak panah itu. Tapi tunggu dulu, kita ikat dulu gajah ini. Supaya tak mengamuk dia nanti. Cari tali. Tali!”

“Manalah ada tali. Untuk menggantung leher sendiri pun kita tak punya.”

“Jangan menggerutu saja. Cari tali! Tali yang kuat!”

“Ini, tali!”

“Bagus betul talikau. Masih baru lagi. Dapat dari mana?”

“Aku ambil di kedai Babah Along.”

“Kau ambil atau kau ambil.”

“Sudahlah. Apa pedulikau. Yang penting kita butuh tali.”

“Lihat! Lihat! Matanya mulai bergerak-gerak!”

“Cepat! Cepat ikat! Nanti dia keburu bangun!”

“Sana. Ya, gadingnya juga. Ikat yang kuat. Ingat, dia gajah.”

“Gajah terluka lagi.”

“Gajah tunggal dan terluka.”

“Gajah tunggal terakhir di bumi yang terluka.”

Begitulah. Tentu saja tak sampai setengah botol obat merah itu tak cukup untuk membilas seluruh lukaku. Tetapi untungnya luka-luka itu kemudian berhasil sembuh, meskipun agak lama juga. Sisa-sisa makananku yang lumayan bergizi selama di rombongan sirkus sebelumnya agaknya masih cukup untuk menopang kembalinya metabloisme tubuh tua ini. Maka, sejak itu tanpa terasa aku pun perlahan-lahan seolah menjadi salah satu anggota masyarakat di lingkungan pemukiman kumuh bawah jalan layang itu. Tetapi, karena di situ tidak ada lagi rumput, aku pun setiap subuh pergi ke sebuah tepian sungai beberapa kilo dari situ, melewati pinggiran sebuah kompleks perumahan mewah. Di tepian sungai itulah masih tumbuh sebidang rumput gajah. Tapi tak banyak, aku harus menghematnya. Dalam perjalanan itulah aku sering bertemu dengan kanak-kanak di balik pagar kawat taman mewah itu. Mereka merapat ke tepian kawat ketika aku lewat, dan aku pun mengelepak-ngelepakkan daun kupingku.

Di pemukiman bawah jalan layang itu perlahan-lahan aku menyatu. Dan orang-orang yang telah menolongku itu pun ternyata tahu benar bagaimana membuatku berarti. Ketika membangun rumah gubuk mereka, mereka minta aku membawakan balok-balok kayu yang berat-berat. Kadang aku diminta membawa gerobak barang mereka yang besar-besar; di dalamnya aku lihat ada ban bekas besi bekas kaleng bekas ember bekas kertas bekas dan kadang-kadang bekas orang. Dan aku menyukai itu semua, karena dengan begitu aku jadi merasa berguna; bukan hanya sekadar seekor gajah tua yang sedang mencari kuburan gajah-gajah. Setelah semua kerja itu aku pun kadangkala diberikan bermacam buah-buahan atau sayur-sayuran yang mereka punya ketika itu, atau yang kebetulan terselip di antara tumpukan isi gerobak mereka. Lalu di waktu senggang mulailah pula anak-anak mereka bermain-main denganku. Bergelayut, berayun, memanjat, menggelantung di setiap bagian tubuhku yang dapat mereka raih. Mereka tertawa-tawa, kanak-kanak itu. Kadang-kadang juga menangis karena terjatuh atau kalah berebut.

Tetapi kita semua tahu tidak ada kebahagiaan yang abadi di dunia ini, seperti juga kesedihan. Dan aku pun tersadarkan ketika mengetahui kenyataan bahwa ternyata aku adalah satu-satunya gajah yang ada di permukaan bumi adalah sesuatu yang penting. Entah penting untuk apa; aku sepertinya sudah terlalu tua. Bahkan andai ada pun seekor gajah betina saat ini, aku mungkin tak mempedulikannya lagi. Aku lebih menyukai kanak-kanak itu, juga yang di balik kawat pembatas taman perumahan mewah itu, dan bermain-main dengan mereka. Kupikir semula aku hanyalah seekor gajah saja, semua orang juga tahu, dan gajah bukanlah binatang yang aneh. Kalau pada suatu masa mereka memperhatikanku karena aku pandai melakukan berbagai atraksi yang lucu dan menggemaskan mereka di bawah tenda rombongan sirkus; itu sekadar keahlian yang kupikir semua gajah biasa melakukannya. Aku kan sejak bayi sudah berada di dalam rombongan itu. Tak tahunya sekarang, ternyata begitu bilangan cacah dilekatkan di belakang namaku, aku ternyata menjadi sesuatu yang istimewa.

“Banyak orang ternyata yang mencari gajah ini.”

“Memangnya ada apa? Apakah dia sudah membunuh seseorang?”

“Dia benar-benar gajah terakhir di muka bumi.”

“Lalu?”

“Akan kita apakan dia?”

“Dia bukan gajah kita.”

“Tapi, dia sudah menjadi keluarga kita.”

“Ah, kau sentimentil sekali.”

Orang-orang ribut dalam redam di sekeliling perkampungan bawah pelangi gelap itu. Bulan tampak merucup di balik awan yang berlayar.

“Kita sembunyikan dia?”

“Kau gila? Pemburu mencari dia. Perampok mencari dia. Ilmuwan mencari dia. Tentara lebih-lebih mencari dia. Kita semua bisa mati.”

“Kita bisa mati!”

“Anak-anak kita juga bisa mati!”

“Tapi, kudengar ada hadiah untuk orang yang bisa menyerahkan gajah ini.”

“Ya, ya, hadiah. Sangat besar kabarnya. Cukup untuk kita semua.”

“Kalian gila, menyerahkan makhluk yang sudah kita anggap seperti saudara untuk semata hadiah? Sadis!”

“Ini bukan soal sadis. Ini untuk kebutuhan kita juga. Bayangkan, dengan hadiah sebesar itu, kita semua masing-masing bisa membeli sebuah rumah di perumahan mewah itu, menyekolahkan anak-anak kita di sekolah internasional, membelikan istri-istri kita baju dan perhiasan yang mahal-mahal, dan membeli untuk diri kita sendiri sebuah motor atau bahkan mobil! Kita tak perlu lagi mengumpulkan sampah-sampah itu!”

“Jadah! Aku tak suka itu! Jangan ada yang coba-coba menyentuh gajah itu. Ingat, dia sudah membantu kita semua. Kau, dibangunkannya gubuk untukkau. Kau, dibawakannya gerobak bututkau itu. Kau juga. Kau pun juga. Kau, anakkau diselamatkannya dari batang pohon tumbang itu. Kau ….”

“Pokoknya aku tak peduli, akan kuserahkan juga gajah itu, lalu duitnya akan kubagi-bagi ke kita semua. Kalau kau tak mau, tak usah ikut!”

“Ya, betul itu!”

“Ya, betul!”

“Jangan, aku pun tak setuju!”

“Aku setuju!”

“Ya, aku juga!”

“Tak boleh!”

“Bangsat!”

Aku pun kemudian hanya terheran-heran ketika melihat mereka semua tiba-tiba berkelahi. Berkelahi macam budak-budak kecik. Orang-orang yang tadi begitu tulus, saling membantu, dan menjadi sahabat-sahabatku. Aku kemudian hanya ingat, tak lama sesudah itu hujan turun dengan lebatnya, suara petir menggelegar bercampur desingan peluru, dan puluhan makhluk berseragam tiba-tiba datang menyerbu. Aku masih ingat, kenangan hari-hari terakhir itu, dari dalam selubung es beku, seperti nenek moyangku dulu, mammoth.***

PBR, 220507 

(Riau Pos, 24 Juni 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar