Jumat, 17 September 2010

LIMBO
Oleh Stefanny Irawan

ENGKAULAH itu, mempelaiku? Telahkah waktu mengubin dalam petak-petak kecil hingga ringan kakimu menyeberanginya? Ataukah memang kau serupa anak rusa yang melompat-lompat riang, menyeberangi gunung-gunung dan bukit-bukit waktu?1 Telahkah tiba saatnya kau menyuntingku? Tetapi, akan bagaimanakah aku hadir di depanmu, ketika tempatku berdiri tidaklah lagi kebun penantian sunyi nan indah? Akankah kau gusar mendapatinya, akankah kau marah? Dan akankah aku menerima tanganmu? Tepatnya, layakkah? Karena aku telah berdiri di persimpangan jalan ini, sejak empat bulan lalu, dengan jari-jari gemetar dan hati yang terbakar. Karena aku bersama dia. Bersama kekasihku.
Kami bertemu pagi itu. Pagi yang tak istimewa. Matahari, angin, air, tanah mengada dalam rutinitas mereka, dan manusia-manusia bangun menyambut dalam suatu ritual hidup yang telah demikian adanya. Namun pagi itu ada seseorang yang mengira dirinya terjaga di alam mimpi luar biasa pada suatu hari yang biasa. Aku. Aku baru saja bangkit dari mencabut rumput liar di kebun dan mendapati seorang bidadari, berdiri berjarak sepuluh langkah dari tempatku, seperti sesuatu di persimpangan khayal dan nyata. Bidadari yang terpanggang matahari. Cokelat, matang, ranum. Dan aku merasa bahasa telah tiba-tiba sirna dari diriku atas kehadiran seorang yang begitu indah. Bidadari itu tersenyum, menangkap bahasa yang hendak hijrah dengan jari-jarinya, memasukkan ke dalam mulutnya, dan memulangkannya kepadaku: Selamat pagi, saya.... Namun sederet kalimat itu tak pernah genap, lonceng gereja berdentang. Bidadari itu terhenti dan beranjak. Membuatku mengira wajahku menerbitkan sinar keterpanaan yang terlalu hingga menakutinya. Namun apa pun itu, aku telah terlalu sibuk meyakinkan diriku untuk tak meyakini apa yang baru saja terjadi, terlalu sibuk menutup tingkap-tingkap hatiku agar tak mengeluarkan kata-kata: kurasa aku telah jatuh cinta. Dengan bidadari yang bahkan tak kutahu namanya.
Ya, aku telah jatuh cinta. Saat itu juga. Tidakkah kau merasa aku hina, mempelaiku? Telah kurasakan manis cintamu, telah setuju aku 'tuk menanti, dan kini aku tersungkur.
Kucoba mengingat hari-hari lalu, hari-hariku mencari cinta di segala yang ada di bawah langit, di jalan-jalan, dan di lapangan-lapangan2. Begitu inginnya aku menemukan seseorang yang mencintaiku dan kucintai dengan sepenuhnya. Seseorang yang kepadanyalah layak kukorbankan segalanya, kepadanyalah kuberikan semua yang ada, tanpa sisa. Dan ternyata kutemukan engkau, mempelaiku. Kutemukan, kupegang, dan tak kulepaskan, sampai kubawa engkau ke rumah ibuku, ke kamar orang yang melahirkan aku3. Dan aku katakan kepada ibuku, "Ibu, dia akan menjadi mempelaiku." Ibu menatapku dengan mata tuanya dan kulihat wajah kedua kakakku di sana. Mereka yang bersimpuh di hadapan ibuku sebelum aku untuk menyampaikan hal yang sama namun membatalkan pertunangan di tengah jalan pada simpuh yang kedua. "Tidak Ibu, dia benar akan menjadi mempelaiku." Perlahan wajah kakak-kakakku memudar dan dari mata ibu terpancar sinar. Sinar bahagia.
Tapi sinar itu tak cukup kuat untuk menjangkauku saat ini, mempelaiku. Tidak setelah aku bertemu dengannya, bidadari yang terpanggang matahari. Sebab dari dirinya juga terpancar sinar, dan bukan hanya sinar bahagia, tetapi sinar yang mengajakku turut serta, berbahagia bersama.
Aku tahu, di saat aku menerjemahkan sinarnya, aku telah berdosa. Jubah harga diriku terkoyak dan dingin menyapa dagingnya. Badai yang awal.
Berhari-hari aku mendapati parasnya dalam galeri kepalaku. Telah kucoba merobek-robek lukisan dirinya di dalam situ. Tetapi kemudian datang padaku ia dalam rupa baru, sebuah arca batu. Kuhancurkan arca itu dengan palu. Dan ia berubah hantu. Membayangiku. Aku tak dapat mengusirnya, pun dengan menyebut namamu.
Aku bergerak dalam hari-hari berhantu. Namun hari itu sang hantu hadir menjelma semula: seorang bidadari yang terpanggang matahari, secara ajaib terselip di antara rak-rak tua perpustakaan kota. Bidadari yang tak tampak penuh paras mukanya, hanya mata. Tetapi pun dengan mata itu, aku telah pasti mengenalinya, mata yang mengajakku berbahagia bersama. Maka sekali lagi aku seakan terjaga dan mendapati diriku bermimpi. Sepasang mata itu telah mengajak milikku berdansa. Dansa yang perlahan, manis di tengah musik gesekan halaman-halaman buku yang tak berirama. Waktu serasa dipingit di tarikan napasku yang tak kunjung kuhembuskan; berharap menahan sang bidadari dengan cara demikian. Namun harapanku hanya memiliki sepersepuluh ketahanan embun pagi dari mentari. Sang bidadari bergerak menjauh, melewati rak buku kesusastraan, musik, dan ketika ia persis hendak hilang di balik pintu, aku tersentak dan mendapati kaki-kakiku telah bergegas dalam langkah yang tak malu-malu. Waktu bercucuran dari hembus napasku. 'Tunggu! Namamu...' Hanya itu yang sanggup kulemparkan ke udara yang sunyi. Dan memang, udara hanya terkoyak satu kali. Tak ada jawaban. Bidadari yang terpanggang matahari telah sekali lagi hilang. Aku hanya mampu menatap pada keriuhan kosong drama kehidupan pinggir jalan. Maka aku melangkah pulang, pelan, dengan tanda tanya di setiap ujung nadi dan sesosok hantu. Di kepalaku. Yang tak terusir walau dengan menyebut namamu.
Aku hidup melewati hari-hari dan malam-malam yang asing. Yang giris, seperti rasa yang ditimbulkan gesekan rumput dan ilalang di padang saat tengah malam pada waktu bulan baru. Seperti tersesat. Seperti lesat dalam pacuan di mana semuanya menjadi samar, baur - aku tak bisa lagi memikirkanmu, mempelaiku; tak bisa lagi mengingat cintamu; tak bisa lagi mengucapkan namamu seperti dahulu, hanya bunyi kosong menggaungkan bingung dan malu - dan satu-satunya yang bisa kulihat adalah diriku, dan hantu di dalamku. Seperti tak tau ingin hidup atau mati.
Dengan semua rasa itu, suatu malam aku mendapati adaku di tepi laut. Aku tak tahu pasti apa yang menggerakkanku, tetapi aku ada di situ, melangkah, setapak demi setapak, memasuki wilayah basah dan dingin yang terus merayap naik melewati betisku, meniti pinggangku. Mungkin tubuh berhantuku ingin menguji hidup, menanti tanda, adakah aku harus terus hidup atau mati saja. Aku tak tahu pasti apa yang kunanti, ketika tiba-tiba menyembul dia. Bidadari yang terpanggang matahari di laut di bawah purnama dini hari. Hantuku menjelma nyata.
Bidadariku mengusap wajahnya, membiarkan matanya melihatku dengan lebih jelas. Aku sekali lagi kehilangan bahasa. Dan ia menatapku lurus. Sinar yang sama. Ditangkapnya bahasa yang mengapung pergi dengan tangannya, dan diletakkannya dalam genggamanku. Tetapi tangannya tidak pergi. Dituntunnya aku ke tepi. Jantungku berpindah ke telinga.
Air menyusut dari kulit kami seiring pasir yang meninggi di bawah telapak kami. Ditatapnya aku lekat, jemarinya mengusap titik-titik air dari wajahku. Perlahan dibukanya pakaianku yang basah. Di sanalah. Aku dan dia. Berhadapan, seperti manusia mula-mula, seperti yang tak seharusnya. Malam itu, sepotong hati terpenjara dalam elok lekuk kulit tubuhnya.
Dan jubah harga diriku menyerpih lalu lenyap, dan angin menyesah dagingku dengan namamu.
Mata badai.
Ampuni aku, mempelaiku.
Empat bulan telah berlalu. Dan mempelaiku, kau kini mengetuk pintuku. Tetapi di balik pintu ini aku telah berdiri di persimpangan jalan, aku tak tahu lagi cintaku kepadamu, tak bisa lagi aku memberikan kepadamu semuanya tanpa sisa, sebab inilah sisa, akulah sisa. Menjawab ketukmu, ingin aku berkata: janganlah mengetuk, aku tak tahu adakah aku benar ingin membuka, meski musimku telah lewat dan kini waktunya engkau meminangku; janganlah mengetuk, karena aku telah tak layak.
Satu titik air mata naik di ujung mataku dan wajah kedua kakakku muncul di sana. Ingin kutanya mereka: inikah yang kalian alami, yang membuat kalian pulang untuk bersimpuh kedua kali dan menorehkan wajah kalian di mata ibu? Haruskah aku bersimpuh juga? Ibu, sanggupkah engkau menampung wajahku juga di matamu?
Telah kubawa engkau ke rumah ibuku.
Telah kubawa Engkau ke rumah ibuku.
"Bapa Uskup sudah datang. Sebentar lagi kita akan mulai misa penahbisan Anda menjadi seorang romo, Frater Yos." Romo Paroki tersenyum dan membuka pintu, keluar.
Di tengah koridor, di balik pintu yang terbuka sesaat, kulihat bidadari yang terpanggang matahari. Kami berpandangan. Dan sebelum pintu berayun menutup, aku merasakannya lagi: seperti tersesat, seperti lesat, seperti tak tahu bahwa aku hidup atau mati.
Catatan Kaki:
* Limbo (bhs. Inggris) = keadaan yang serba tak menentu di mana orang tidak tahu apa yang harus dilakukan.
1 Berdasarkan kitab Kidung Agung 2: 8-9
8 Dengarlah! Kekasihku! Lihatlah, ia datang, melompat-lompat di atas gunung-gunung, meloncat-loncat di atas bukit-bukit. 9 Kekasihku serupa kijang atau anak rusa. Lihatlah, ia berdiri di balik dinding kita, sambil menengok-nengok melalui tingkap-tingkap dan melihat dari kisi-kisi.
2 Berdasarkan kitab Kidung Agung 3: 2
2 Aku hendak bangun dan berkeliling di kota; di jalan-jalan dan di lapangan-lapangan kucari dia, jantung hatiku. Kucari, tetapi tak kutemui dia.
3 Berdasarkan kitab Kidung Agung 3: 4
4 Baru saja aku meninggalkan mereka, kutemui jantung hatiku; kupegang dan tak kulepaskan dia, sampai kubawa dia ke rumah ibuku, ke kamar orang yang melahirkan aku.
(Sumber: Media Indonesia, Minggu, 11 September 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar