Jumat, 17 September 2010

Jari Patah
Oleh Agus Fahri Husein

Dari mana harus memulai ceritanya? Barangkali lebih mudah memulainya dari orang itu saja. Orang yang di saku celananya cuma ada Rp 20.000. Orang miskin. Soal kemiskinannya itu sebabnya kebanyakan karena kesalahannya sendiri, karena kebodohan dan kemalasan. Orang tidak bisa menyalahkan orang lain karena kemiskinannya, atau mengatakan "sudah takdir Tuhan". dalam hal ini Tuhan tidak bisa dipersalahkan sama sekali, sebab Tuhan hanya memberi kepada mereka yang berusaha.

Dan, orang itu, yang tubuhnya pendek, kulitnya hitam, dan rambutnya keriting kecil-kecil, sudah jelas kebodohannya, tetapi dia bukan orang malas dalam bekerja dan lagi terkenal jujur. Baiklah dipahami, Tuhan memberi berdasar kecerdikan orang juga. Orang itu bodoh, sebab jika tidak bodoh tentu dia tidak akan jadi helper setiap bergabung dalam proyek. Tiap kontraktor yang mengenalnya, jika butuh helper yang mau jadi bola, rela ditendang kesana kemari, dialah orangnya.

Helper adalah posisi terendah dalam grup kerja. Tugasnya melayani teknisi, atau pekerjaan apa saja sepanjang tidak membutuhkan skill, dan sering harus ikhlas menampung caci-maki, atau gurauan yang tidak semestinya. Dan orang itu, karena kebodohannya, tidak mampu memperlajari ketrampilan-ketrampilan, seperti misalnya mengelas atau memasang batu-bata.

Anak orang inilah yang jarinya patah, dan yang kemudian membuat saya marah dan berkata tidak senonoh kepada dokter dan para perawat di UGD. Saya secara kebetulan bertemu orang itu, ketika anak bungsu saya sedang dirawat di ruang VIP RSUD. Anak saya masih kecil, dan wabah DB itu sedang terjadi di mana-mana. Meskipun anak saya gemuk, kena juga.

Kegemukan anak saya merepotkan para perawat, sebab mereka kesulitan menemukan urat darah, untuk memasukkan jarum infus. Setelah tangan kanan dicoba dan gagal, kemudian pindah ke tangan kiri. Anak saya tidak menangis, tetapi marah-marah. Para perawat dibentak-bentak: Dibilang sakit ya sakit! Sudah!

Tetapi anak itu tidak bisa melawan, tubuhnya sudah lemas. Setelah berjuang beberapa lama akhirnya perawat itu berhasil juga. Anak itu masih marah-marah, bahkan setelah dia dibaringkan di kamarnya di ruang VIP -- ada AC, kulkas, televisi, meja tamu, dan kamar mandi -- dengan jendela dan pintu keluar menghadap tempat parkir mobil.

Dari jendela itulah saya melihat dia, yang jari anaknya patah, berjalan mondar-mandir di halaman UGD, sebentar masuk, sebentar keluar. Dari ambang pintu saya teriaki dia. Setelah tengok kanan-kiri, dia melihat saya di ambang pintu, kemudian setengah berlari, ''Aduh Pak! Bersyukur sekali Bapak ada di sini. Saya telepon ke rumah, tidak diangkat, ke HP, juga tidak diangkat.... Aduh, maaf, Pak. Siapa yang sakit, Pak?''

Untunglah dia lekas menyadari, sebab kurang ajar sekali jika dia merasa bersyukur karena bertemu saya di rumah sakit, meskipun dia belum tahu anak saya kena DB. Sudah pasti tidak ada yang mengangkat telepon, di rumah tidak ada orang, dan HP saya entah di mana, tidak sempat saya pikirkan.

Setelah dokter tetangga memeriksa anak saya, termometer di ketiak menunjuk angka 39, sambil membasahi kepala anak itu dengan handuk basah sampai ke lehernya. ''Langsung dibawa ke UGD ya, Pak!'' Perkataan seperti itu, yang diulang lagi ketika dia menulis surat rujukan, pastilah membuat setiap orang yang punya anak jadi gugup, dan istri saya panik.

Orang ke rumah sakit tentu saja dengan membawa masalah, juga orang itu, dengan kegugupannya yang tidak dibuat-buat, menceritakan anaknya yang jarinya patah. Sekarang masih tergeletak di UGD, ditunggu ibunya, dan belum ditangani, karena, seperti dikatakannya dengan setengah menangis, dia tidak punya kartu asuransi, tidak ada rujukan dari Puskesmas, dan di kantong celananya cuma ada Rp 20.000.

''Mohon maaf, saya terpaksa merepotkan Bapak. Tolonglah saya, katakan kepada dokter, sudilah Bapak menjadi penjamin saya.'' Kalau tidak saya cegah, tentulah dia sudah mencium lutut saya. Dengan cara itu dia membawa saya kembali ke UGD.

Anak itu, yang jari telunjuk kirinya patah, tergeletak tak tersentuh, di sudut ruangan, merintih-rintih hampir tak bersuara memegangi jarinya yang patah. Ibunya mengipasinya dengan selembar koran sambil membujuknya. Di samping anak itu tergeletak botol minuman yang tinggal separoh isinya.

Anak itu jatuh dari sepeda, menabrak kucing. Sepeda dan kucing tidak apa-apa, dan karena upayanya untuk menyangga badannya yang terjatuh, jarinya terlipat ke belakang dan patah. Tidak keluar darah, tetapi melihat bengkak dan birunya, kemungkinan terjadi pendarahan di dalam.

Siapapun yang pernah patah jarinya, tentulah bisa membayangkan bagaimana sakitnya. Dan, dia anak laki-laki. Jari tangan sangat penting untuk bekerja. Dan nanti, jika akan beristri, apa jadinya jika jari telunjuk tangan kirinya terpaksa diamputasi karena terlambat ditangani? Perempuan tidak suka punya suami yang jari telunjuk kirinya diamputasi.

Saya pandangi sekeliling. Tidak ada pasien lain. Dokter dan para perawat tengah asyik mengobrol sendiri-sendiri. Dan, dokter itu, perempuan muda dan cantik, yang tadi saya kagumi karena keramahannya, mengatakan tidak ada kartu, tidak ada rujukan, dan orang itu tidak punya uang, kecuali Rp 20.000 di saku celananya, dan sekarang sudah sore.

Mejanya saya gebrak sekerasnya. Dia terdiam dan pucat, juga para perawat yang tengah mengobrol. Lalu tanpa tertahan lagi keluar kata-kata tidak senonoh itu dari mulut saya. Saya katakan bahwa semua ini, biaya perawatan jari patah anak orang miskin, jangan dikira gratis! Semua dibiayai APBD, dan jumlahnya mencapai sembilan miliar per tahun! Soal kartu atau yang lainnya itu bisalah diurus nanti! Jangan sampai ada anak mati tak terawat karena orang tuanya tak punya kartu. Cobalah pikirkan, jika anakmu jarinya patah dan di sakumu tak lebih Rp 20.000. Rawat!

Sudah cukup saya kira. Tanpa mengeluarkan suara, mereka jadi cekatan sekali menangani anak itu. Tak sampai seperempat jam, jari anak itu sudah diganjal kayu dan digips. Dokter ramah kembali, setengahnya karena takut.

Karena cuma ada Rp 20.000 di saku celananya, orang itu saya beri Rp 300.000 supaya dia bisa beli obat dan ongkos pulang. Saya bisa memberinya lebih banyak, tetapi tidak saya lakukan, karena saya tidak suka berlebihan, dan nanti tidak baik bagi dia. Saya tidak mau dia merasa hutang budi. Rp 300.000 sudah cukup, mungkin masih ada sisanya sedikit. Dan, seperti tadi, orang itu hendak mencium lutut saya, tetapi saya cegah. Saya tidak suka lutut saya dicium.

Saya segera kembali ke Si Gendut yang terkena DB. Karena hujan, saya tidak bisa lewat halaman, saya harus lewat lorong dalam, yang dijaga satpam. Pintu itu ditutup, karena bukan jam bezoek. Ada beberapa orang yang hendak masuk ditolak, dan beberapa lagi, yang punya kartu tunggu, harus membukai barang bawaannya. Sebab, seperti dikatakan satpam, banyak yang cuma membawa sampah.

''Bapak mau ke mana?'' Begitu garang nada suaranya, tetapi berubah seketika setelah mendengar kata "VIP" dari mulut saya. ''Silahkan, Pak. Silahkan.''

Dibukanya pintu untuk saya. Si Gendut beruntung punya orang tua seperti saya. Meskipun tidak kaya sekali, namun mampu membayar rawat-inap di kamar VIP. Dia harusnya tidak boleh marah hanya karena ditusuk lengannya, meskipun, ya memang sakit juga.***

Cilegon, Mei 2007
(Republika, 25 November 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar