Senin, 18 Oktober 2010

Malaikat yang Mencintai Senja
Oleh Bamby Cahyadi


Sudah dua hari,sejak ia turun ke bumi,ia belum mendapat rumah atau apartemen yang cocok untuk ia tempati.Ia masih saja mencari-cari tempat yang cocok untuk menghabiskan sisa waktu hidupnya yang tinggal 312 tahun lagi.
Ukuran tempat tinggal yang cocok bagi Tareq,malaikat yang baru saja diturunkan ke bumi itu sebenarnya hanya dua syarat.Pertama,ia ingin menempati sebuah rumah dengan halaman luas dan menghadap ke arah barat di mana ia bisa melihat matahari terbenam setiap harinya. Yang kedua, ia ingin menempati sebuah kamar apartemen di lantai paling tinggi dengan jendela- jendela berukuran lebar dan harus menghadap ke arah barat pula tentunya. Hingga hari ini ia belum juga mendapatkan tempat yang ia maksud, walaupun ia sudah berkeliling ke segala penjuru Kota Jakarta untuk mencari tempat yang tepat sebagai rumahnya.Apalagi rumah berhalaman luas, sudah sangat langka di Jakarta.
Sudah berpuluh-puluh jasa penyedia rumah atau apartemen yang ia datangi,tetapi hasilnya nihil. Kemarin, saat ia pertama kali menginjakkan kakinya di bumi, ia sempat melihat-lihat sebuah apartemen di kawasan Kemang, tapi ia urung menempati kamar apartemen tersebut, karena jendela apartemen itu menghadap ke arah selatan.Padahal kamar apartemen yang ditawarkan padanya berada di lantai paling atas,lantai 35. Lalu atas bantuan seorang tenaga pemasaran kompleks perumahan mewah, ia diajak kelilingkeliling ke seputaran Pantai Indah Kapuk.Di sana ia ditunjuki rumahrumah besar yang menghadap ke laut.
Ada beberapa rumah besar bergaya mediterania di pinggiran pantai Ancol yang ketika ia datang kosong dan siap untuk disewa, namun sayang rumah-rumah megah itu menghadap ke arah utara. Kini, hari sudah senja. Tareq menarik napasnya memandang langit yang memerah.Ia mendongak memandang ke arah barat dari atas ruang tatap di ketinggian Monas. Seorang petugas keamanan mengingatkannya, bahwa sebentar lagi ruang akan ditutup dan lift akan dihentikan operasionalnya. Karena Monas dibuka hanya sampai sore hari, maka Tareq diminta untuk turun. ”Beri saya waktu barang sebentar, Pak. Saya hanya ingin melihat matahari yang terbenam dari sini,” ucap Tareq, tanpa sejenak pun mengalihkan pandangannya dan tetap menatap tanpa berkedip ke arah batas cakrawala yang kian memerah di barat sana.
Satpam yang bertugas hanya tertegun, dan ikut-ikutan pula memandangi selaput senja yang kini kian menipis menjadi gelap.Langit yang tadinya jingga kemerahan kini mengelam seperti tersapu jelaga. ”Kami harus tutup, Mas!” ujar satpam dengan nada suara tegas. Tareq mengerjapkan kelopak matanya,lantas ia menuju pintu lift diikuti satpam di belakangnya.Satpam itu sangat heran dengan penampilan Tareq yang menggunakan setelan jas panjang dan sangat tebal seolah temperatur Jakarta sangat dingin untuknya, jas panjang dan tebal itu pernah ia lihat di filmfilm Hollywood. Mungkin orang gila yang ke sasar,pikir Satpam itu menilai Tareq.
Begitulah pakaian para malaikat yang diturunkan ke bumi, mereka memakai jas yang menjura panjang dan tebal.Pakaian tersebut paling tidak akan menyamarkan sepasang sayap malaikat yang ditekuk di belakang punggung mereka. Menyadari ia diperhatikan terus menerus dengan saksama oleh petugassatpam, saat mereka telah berdua di dalam lift,ia bertanya kepada satpam berkumis tipis itu. ”Apakah ada yang aneh dengan saya,Pak,”tanya Tareq. Satpam itu terhenyak. Lalu dengan suara yang disigap-sigapkan, ia berkata,”Ya,saya heran saja melihatmu memakai jas panjang dan tebal seperti itu. Seperti pakaian musim salju,” kata satpam masih terus memandangi Tareq. Tareq tersenyum tipis.Lantas ia memasukkan kedua tangannya dalam saku jas panjang dan tebalnya itu.
”Ini pakaian khas malaikat yang turun ke bumi,”ujar Tareq ringan. ”Ha...ha...ha,dasar wong edan!” Satpam itu lalu tertawa terbahak- bahak sambil menepuknepuk punggung Tareq. Sesaat kemudian satpam tersebut diam dan terkesima,ketika ia menyadari menepuk-nepuk sesuatu yang ganjil di punggung Tareq dan membuat perasaannya tak karu-karuan. Sesuatu yang ia tepuk begitu asing dan misterius, satpam itu bagai terpental ke sebuah ruang rasa yang aneh,ganjil tak terceritakan. ”Maaf, saya bercanda kok, Pak. He he he...!” kata Tareq sambil tersenyum pada satpam yang masih terlongo-longo itu. Satpam itu masih saja terkesima, sambil mengusap-usap telapak tangannya yang mendadak dingin, ketika itu pintu lift terbuka.
Sebelum ia beranjak,satpam itu memegang punggungnya sendiri seperti memastikan sesuatu.Lalu ia menggeleng- gelengkan kepalanya. Telapak tangannya masih dingin. ”Saya duluan, permisi dan terima kasih, Pak!”Tareq sedikit membungkuk mohon pamit pada satpam yang telah mengantarnya sampai ke lantai dasar. ”Iya, ya... ya, silakan,” ujar Satpam gugup. Berangsur telapak tangannya menghangat kembali. Tareq berlalu,ia lantas menuju pelataran Monas.Lampu-lampu di taman sudah menyala. Beberapa pasang muda-mudi yang pacaran sudah mencari posisi duduk di pojok-pojok taman. Tukang foto langsung jadi, menawarkan jasa foto padanya. Tareq menolak. Ia melangkahkan kakinya ke arah jalanan di depan Stasiun Gambir. Dari situ ia menyetop taksi dan meminta supir taksi menuju Hotel Grand Indonesia tempat ia menginap sementara.

***

Keesokan harinya,Tareq masih terlihat sibuk, wara-wiri mengelilingi setiap sudut kota. Berbekal selembar halaman iklan koran berisi informasi rumah dan apartemen yang ia dapati dari resepsionis hotel, kini ia berada di kawasan Mega Kuningan. Ia sempat mampir sejenak di Mal Ambassador membeli permen karet dan sebungkus rokok. Dari situ ia naik taksi menuju apartemen Casablanca yang terletak di Jalan Profesor Satrio.Turun dari taksi, Tareq menyulut sebatang rokok, benda yang oleh kalangan malaikat dianggap tak berguna itu –bahkan sebagian malaikat menyatakannya haram, ternyata kini bermanfaat baginya di saat-saat gelisah karena belum mendapat sebuah rumah yang diidamkannya.
Diantar oleh seorang petugas pemasaran apartemen,ia masuk ke dalam lift menuju lantai paling atas di salah satu tower apartemen yang menjulang tinggi mencakar langit. Betapa terkejut Tareq ketika memasuki lift. Ia melihat sosok malaikat yang sangat terkenal baik di kalangan manusia, maupun malaikat.Sosok itu adalah Izrail. Izrail tampak santai.Ia menyandarkan tubuhnya di dinding lift yang terbuat dari cermin semua. Tentu petugas pemasaran tak melihat sosok Izrail, karena malaikat adalah makhluk gaib yang tak kasatmata.
Tareq menegur Izrail, tentu mereka berbicara lewat telepati. Sang petugas pemasaran apartemen mengoceh terus,mempromosikan keunggulan apartemennya. Sementara Tareq dan Izrail terlibat percakapan. ”Halo Tareq, apa kabar? Lama tak melihatmu di surga. Rupanya kau di sini?”Tegur Izrail. ”Saya baru tiga hari di sini kawan,” jawab Tareq. ”Ah, tiga hari itu kan waktu manusia. Bagi kita, oh bukan, bagi kami, itu waktu yang sangat lama kawan!”ujar Izrail. ”Ada urusan apa kau di sini?” tanya Tareq curiga. ”Kau pasti sudah tahulah,lihat saja nanti,” jawab Izrail kalem. ”Kau sendiri ngapain ada di apartemen ini?”lanjut Izrail bertanya. ”Saya lagi mencari rumah,” jawab Tareq pendek. Izrail hanya tersenyum kecut.
”Hmm, rumah...Rumah,rumah! Kasihan kau Tareq.Seharusnya kalau kau tak melawan Tuhan,rumahmu bukan di sini!” kata Izrail sambil menunjuk lantai lift.”Tapi di sana,” lanjut Izrail sambil menunjuk bagian atas lift. ”Izrail, perlu kau ketahui, saya tak pernah melawan Tuhan! Saya hanya mengusulkan pada-Nya agar warna langit bumi hanya satu warna, warna senja. Lalu Tuhan menolak, dan saya meminta untuk diturunkan ke bumi.Karena saya mencintai senja!”tukas Tareq. ”Kau memang aneh, sebagai malaikat pengatur warna, seharusnya kau bisa bersikap netral.Sikapmu memilih warna senja,tentu menurunkan kredibilitasmu di mata Tuhan. Ya, begitulah. Ngomongngomong, sepertinya susah juga hidup di bumi?” ucap Izrail sambil terkekeh.
”Kau tak sedang mengintaiku, kan?”tanya Tareq. Pintu lift terbuka, percakapan terhenti.Tareq dan petugas pemasaran apartemen keluar dari lift disusul Izrail di belakang mereka. Izrail lantas memisahkan diri tanpa pamit pada Tareq. Beberapa saat kemudian,terdengar desau angin yang cukup kencang dari sebuah kamar apartemen yang pintunya terbuka. Petugas pemasaran tampak panik. Ia lalu berlari menyeruak masuk ke dalam kamar apartemen yang pintunya terbuka.Tareq pun ikut masuk ke dalam. Mereka menemukan jendela apartemen terbuka lebar, menganga.Tirai warna hijau toska melambai-lambai ditiup kesiur angin siang yang kering. Petugas pemasaran tercekat, ketika melihat ke bawah.
Di aspal parkiran apartemen, di bawah sana,seorang perempuan muda dengan kepala hancur berantakan dan tubuhnya remuk-redam terpuruk mencium aspal.Perempuan itu baru saja terjun dari ketinggian lantai 41 apartemen. Tareq menoleh keluar jendela kamar saat Izrail berkelebat dan mengepak-ngepak sayapnya menuju langit, sambil tangannya menggenggam nyawa perempuan yang baru saja meloncat dari apartemen itu. Nyawa perempuan di genggaman Izrail tampak tersenyum padanya. Petugas apartemen tampak masih kebingungan dan berkeringat. Ia menatap Tareq dan seolah ingin menjelaskan sesuatu. Ia sangat khawatir akibat peristiwa bunuh diri yang baru saja terjadi menyurutkan niat Tareq menyewa kamar apartemen tempatnya bekerja.
Tareq sangat maklum dengan situasi ini. ”Tidak masalah, Pak. Kalau perlu, kamar ini saya sewa sekarang,” kata Tareq mantap. Mata petugas pemasaran itu membelalak tak percaya. Tareq mengangguk pasti.Kamar ini akan ia sewa.Tareq tampak puas,karena kamar di mana perempuan muda itu bunuh diri, berjendela lebar dan menghadap ke barat. Ya, ke arah barat.

***

Di suatu senja,312 tahun waktu malaikat pun berlalu.Tareq sedang menatap tanpa berkedip ke arah cakrawala. Matahari lamat-lamat tenggelam di ufuk barat menyisakan semburat cahaya jingga kemerahan yang melindap. Tiba-tiba pintu apartemennya diketukseseorang.Tareqbergeming. Pintu kembali diketuk. Lalu suara ketukan berhenti untuk beberapa saat. Barulah ketika langit menjadi gelap, ia menuju pintu dan membukakan daun pintu untuk sang tamu. ”Silakan masuk Izrail, kau sangat tepat waktu.” Mereka bersalaman, lalu berbincang- bincang penuh keakraban. Suasana kamar menjadi hangat. Tawa mereka membahana hingga ke seluruh penjuru apartemen. Mendadak kamar apartemen senyap. Izrail menyela,”Waktumu habis!”

***

Esok pagi petugas apartemen menemukan jenazah Tareq tertimbun beribu-ribu bulu-bulu sayap burung merpati berwarna putih. Polisi memastikan ia tewas akibat kehabisan napas, tersedak oleh bulu-bulu sayap burung yang memenuhi sekujur tubuh dan juga mulutnya. Petugas pemasaran apartemen sangat sedih melihat kondisi Tareq, saat jenazah itu dimasukkan ke dalam kantung mayat. ”Padahal baru lima hari dia di sini,” gumamnya lirih, setengah berbisik kepada petugas forensik Polda Metro Jaya.(*)

(Seputar Indonesia, 17 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar