Jumat, 12 November 2010

Rawa Ronte
Oleh Eko Hartono


Kabar hilangnya Mbah Parijan menggegerkan kampung kecil itu.Laki-laki yang sudah tua dan sakitsakitan itu terakhir kali diketahui oleh keluarganya masih berada di kamarnya pada pagi tadi.

 Saat semua orang sibuk bekerja di sawah, Mbah Parijan sendirian di rumah.Ketika Mbah Semi, istrinya, pulang dari sawah dan tidak mendapati suaminya berada di kamar,spontan perempuan itu jadi panik. Seluruh anggota keluarga dan para tetangga dikerahkan untuk mencarinya. Hingga sore Mbah Parijan belum ditemukan.Tempat-tempat yang biasa didatangi oleh orang tua itu nihil, begitu juga di rumah famili atau kerabat.
Tapi orangorang tak yakin Mbah Parijan pergi jauh dari rumah. Sebab, dengan kondisi badan yang masih sakit dan lemah mustahil laki-laki tua itu bepergian jauh. Kecuali kalau ada yang mengajaknya pergi dengan naik kendaraan. Namun, para tetangga kiri kanan tidak ada yang melihat Mbah Parijan pergi dengan seseorang. “Jika tidak seorang pun yang tahu dia pergi ke mana, lalu menghilang ke mana Mbah Parijan…?” celetuk seseorang dengan nada bingung dan heran.
Tak ada yang menjawab celetukan orang itu.Semua orang pun bingung dan tak tahu, ke mana mencari Mbah Parijan.Mereka sudah berkeliling desa, tapi hasilnya nihil. Mereka kemudian kembali lagi ke rumah Mbah Parijan untuk memberikan laporan. Namun sayang, tak satu pun yang memberikan jawaban memuaskan. Mbah Semi tak kuasa menahan tangis kesedihan. “Oalah, Pakne.
Kelayapan ke mana saja sih kamu.Sudah tua dan sakit-sakitan kok ya pergi dari rumah…,” Mbah Semi tergugu di atas bale-bale. “Jangan-jangan Mbah Parijan digondol wewe?” ujar seseorang dengan seenaknya. “Huss, masak siang-siang ada wewe!”sergah yang lain. “Iya,nih.Kamu itu kalau omong jangan ngawur. Yang namanya wewe itu biasa nggondol anak kecil, bukan orang dewasa kayak Mbah Parijan. Lagi pula sangat tidak masuk akal ada orang setua Mbah Parijan dibawa lelembut!” ujar Pak RT.
“Habis, ke mana Mbah Parijan pergi? Masak kita semua tidak ada yang tahu di mana keberadaan Mbah Parijan?” Semua orang terdiam.Tak ada yang mampu memberikan jawaban. Kepergian Mbah Parijan yang amat misterius ini memang menimbulkan banyak tanda tanya. Menumbuhkan berbagai spekulasi dan dugaan yang beraneka ragam. Namun, tak satu pun menuju kepada suatu kesimpulan.Semua orang hanya sibuk merekareka.
Kepergian Mbah Parijan tanpa pesan dan jejak menjadi sebuah misteri tersendiri. Tiba-tiba Pardi, anak tertua Mbah Parijan, menyeret tangan Pak RT ke sudut rumah. Dengan suara berbisik-bisik seolah takut kedengaran oleh yang lain, lakilaki empat puluhan tahun itu bicara pada Pak RT. “Begini, Pak RT. Saya curiga, jangan-jangan bapak saya mau mencari jalan pintas!” “Mencari jalan pintas bagaimana maksudmu?” tanya Pak RT tak mengerti. “Ya,mencari jalan pintas untuk mengakhiri penderitaannya.
Seperti Pak RT tahu, bapak saya sudah lama menderita komplikasi penyakit bertahun-tahun. Dia mungkin merasa putus asa dan memilih untuk mengakhiri hidupnya…” “Bunuh diri, maksudmu?” potong Pak RT. “Ya!” “Kamu yakin, bapakmu punya niat bunuh diri?” “Yakin, Pak! Sudah beberapa hari ini dia suka meratap dan mengeluh.Tiap malam kalau pas sakitnya kumat dia suka menyebut- nyebut pengen mati. Dia merasa tak kuat lagi menanggung sakit.”
“Orang kalau lagi sakit berat terkadang tidak sadar dengan apa yang diucapkannya. Secara spontan orang sekarat bisa saja mengucap pengen mati dari pada harus disiksa dengan rasa sakit yang luar biasa. Namun, jika rasa sakit itu hilang, mereka jadi lupa dengan keinginannya itu. Menghadapi mati itu tidak mudah dan tidak segampang yang dibayangkan. Bahkan banyak orang takut mati bila mati itu benar-benar datang!” “Tapi bapakku kayaknya tidak takut lagi,Pak.
Dia bahkan pernah mencoba menantang maut dengan meminum obat melebihi takaran…” “Ah,masak?” “Benar,Pak! Simbok saya yang ngasih tahu.Waktu mau memberi obat bapak, tahu-tahu obatnya sudah habis. Ketika dicari di bawah kolong meja tidak ada. Ternyata diminum semua sama bapak saya. Alasannya, biar cepat sembuh. Padahal dengan minum obat melebihi dosis sama saja bunuh diri!” Pak RT manggut-manggut.Kecurigaan Pardi bahwa bapaknya berniat bunuh diri tampaknya menjadi satu-satunya kemungkinan yang masuk akal.
Tapi yang jadi pertanyaan, kalau benar Mbah Parijan punya niat bunuh diri dan seandainya hal itu terlaksana, di mana dia melakukannya? Jika melakukan di rumah mungkin takut ketahuan.Jadi,kemungkinan dia melakukannya di tempat sepi atau jauh dari rumah. Tapi kira-kira di mana tempat itu? batin Pak RT. Bagi sebagian orang,selalu ada keinginan dan cara tersendiri dalam menghadapi kematian.Mbah Parijan mungkin ingin menghadapi kematiannya dengan khusyuk, tenang,dan tanpa gangguan dari siapa pun.
Jika dia melakukan di rumah dan tiba-tiba ada yang memergoki, lalu memberikan pertolongan padanya sehingga prosesi kematian itu pun batal, tentu sangat mengecewakan sekali. Bahkan bisa menyisakan kepedihan dan luka yang memerihkan. Lihatlah keadaan orang yang hendak bunuh diri tapi tak jadi mati? Sangat mengenaskan sekali! Memikirkan kemungkinan bahwa Mbah Parijan berniat bunuh diri, maka Pak RT kemudian mengerahkan orang-orang untuk menelusuri tempat-tempat sepi yang dikategorikan favorit bagi orang yang mau bunuh diri.
Seperti di hutan, kuburan, bukit, sungai, sendang, atau tempat-tempat keramat. Tetabuhan dari bendabenda semacam perkusi dibunyikan dengan maksud memanggil arwah Mbah Parijan. Ritual ini berlangsung sejak sore hingga malam. Obor-obor dinyalakan. Sepanjang hari penduduk kampung sibuk mencari Mbah Parijan. “Mbah Parijan! Mbah Parijaaaannnn…!” teriak orang-orang memanggil. Namun,usaha orang-orang satu kampung itu tak juga membawa hasil.
Seluruh sudut-sudut yang tersembunyi di desa itu sudah didatangi, namun sosok Mbah Parijan –sekalipun jasadnya kalau memang sudah meninggal— tak ditemukan. Keluarga Mbah Parijan hanya bisa pasrah. Mereka akhirnya melaporkan kejadian ini pada polisi. Tapi polisi yang dilapori masih memberi tenggat 2x24 jam untuk menunggu. Jika dalam dua kali dua puluh empat jam Mbah Parijan tidak pulang, polisi baru bergerak.
Pagi itu kabut tipis menyelimuti halaman rumah, pohonpohon masih kuyup oleh embun, orang-orang masih berkerudung sarung,mendadak dari pintu regol muncul sosok bayangan berjalan tertatih memasuki halaman.Mulamula Toni, cucu Mbah Semi yang masih berusia empat tahun, melihat kehadiran sosok renta itu. Dengan riang bocah itu berseru, “Itu kakek!” Ibunya yang sedang menyapu halaman tercekat mendengar ucapan sang anak.
Dia berhenti menyapu dan menoleh. Benar saja. Dia melihat sosok mertuanya berjalan menuju ke rumah. Dia lalu berseru memberi tahu semua orang. “Bapak pulang! Bapak pulaaanggg….!” Pagi hening seketika pecah oleh kehebohan. Seluruh keluarga berkumpul, para tetangga berhamburan, ingin melihat keadaan Mbah Parijan.Mbah Parijan yang jadi pusat perhatian terlihat bengong dan bingung. Seperti orang linglung.Ketika ditanya dari mana saja, orang tua itu membisu.
Tak sepatah kata terucap dari bibirnya. Dia duduk di bale bambu dengan pandangan menerawang. Keluarganya jadi iba.Mereka lalu meminta para tetangga keluar dari ruangan. Kepulangan Mbah Parijan memang melegakan hati keluarganya. Mereka senang orang tua itu telah kembali.Namun, kepulangannya itu menimbulkan keprihatinan. Laki-laki tua itu telah berubah.Dia tidak mampu lagi bicara alias gagu. Tingkah lakunya pun aneh,seperti orang linglung.
Dia seakan tidak mengenali lagi anggota keluarganya. Tapi kondisi ini coba diterima mereka. Mungkin Mbah Parijan sudah jatuh pikun! Sementara di luar berkembang cerita mengenai hilangnya Mbah Parijan selama beberapa hari. Seperti obrolan segerombol laki-laki di warung itu. “Aku yakin Mbah Parijan pergi ke alam bunian.Dia diajak siluman penghuni alam gaib. Mungkin dia telah kawin sama siluman.” “Ah, mana mungkin.
Mbah Parijan kansudah tua?” “Alam gaib tak mengenal tua muda, karena di sana waktu tidak berjalan seperti di alam nyata.Hanya orang-orang berilmu sakti bisa mendatangi tempat tak kasatmata itu!” “Mbah Parijan punya ilmu kesaktian?” “Iyalah, namanya juga orang jadul alias jaman dulu.Coba kalian tebak, berapa umur Mbah Parijan?” “Tujuhpuluh tahun!” “Salah! Umurnya sudah di atas seratus tahun!” Semua terkejut dan takjub mendengar keterangan orang itu.
Yang lain kemudian menambahi. “Mbah Parijan mungkin punya ilmu rawa rontek. Itu lo ilmu kesaktian yang bikin orang jadi sulit mati. Seperti kalian tahu, Mbah Parijan menderita komplikasi penyakit berat, tapi anehnya tak juga mati. Padahal kalau orang biasa mungkin sudah mati dari kemarin!” Apa yang dikatakan orangorang itu sesungguhnya hanya berdasar prasangka atau dugaan semata. Karena kenyataannya belum ada seorang pun membuktikan kebenarannya.
Mereka hanya menafsirkan keganjilan dan keanehan yang melingkupi kehidupan Mbah Parijan.Walau demikian, cerita itu sudah kadung merasuk ke dalam jiwa orangorang. Mereka pun meyakini hal ini.Mereka percaya Mbah Parijan punya ilmu rawa rontek dan percaya orang tua itu telah kawin dengan manusia siluman penghuni alam bunian! “Dan tahukah kalian, orang yang punya ilmu rawa rontek baru bisa mati kalau ilmunya sudah diturunkan atau ditransfer kepada orang lain!” kata orang itu membuat orang-orang makin yakin dan takjub.
Sejak tersebar kasak-kusuk bahwa Mbah Parijan memiliki ilmu rawa rontek dan dapat menembus alam gaib, banyak orang berdatangan ke rumah orang tua itu. Mereka bukan hanya datang dari daerah setempat, tapi juga dari luar daerah. Mereka juga berasal dari berbagai kalangan. Ada pejabat, pengusaha,PNS,guru,polisi, tentara, buruh, bahkan pengangguran. Mereka berkeinginan bisa mewarisi ilmu rawa rontek milik Mbah Parijan. Mereka rela mengantre menghadap orang tua itu di biliknya.
Keluarga Mbah Parijan pun tak kuasa menghalangi kedatangan mereka. Karena mereka yang datang tak segan memberikan uang dalam jumlah tak sedikit. Mereka pun tak kecewa meski Mbah Parijan tak juga mau bicara, mereka akan datang lagi di waktu lain. Konon,tanda bahwa Mbah Parijan sudah mewariskan ilmunya bila orang tua itu mau bicara pada orang yang dianggap tepat sebagai pewaris. Dan kenyataan, meski sudah puluhan orang sowan kepadanya tak satu pun berhasil mendengar sepatah kata dari orang tua itu.
Keluarga Mbah Parijan sebenarnya tak yakin orang tua itu punya ilmu rawa rontek.Sebab,mereka tak pernah mendengar langsung dari mulut Mbah Parijan. Anak-anaknya pun tak pernah melihat ayah mereka mempraktekkan ilmunya.Yang mereka tahu, ayah mereka petani ulet. Beliau juga tak pernah sakit selama mudanya. Baru pada usia tua ini jatuh sakit. Dan anehnya, begitu jatuh sakit segala jenis penyakit bersarang di tubuhnya. Mungkin itu sebagai pertanda bahwa dia harus segera mewariskan ilmunya agar jalan menuju kematian lebih mudah!

***
Malam itu… Pardi terjaga dari tidur. Dia turun dari ranjang dan berniat ke belakang.Ketika akan melewati ruang tengah, dia tercekat mendengar sayup suara orang bercakap- cakap di dalam kamar Mbah Parijan, ayahnya. Penasaran Pardi menghampiri dan menyibak kain gordin yang menutup pintu. Dan matanya terbelalak melihat Toni,putranya yang masih empat tahun, berdiri di dekat ranjang kakeknya.
Sementara Mbah Parijan berbaring dengan mata terpejam. “Ngapain kamu di sini?” tanya Pardi pada putranya. “Kakek tadi memanggil Toni,” jawab anak itu dengan lugu. Penasaran Pardi mendekati ayahnya dan memegang tubuhnya. Wajahnya berubah pucat pasi, tubuh ayahnya sedingin es dan tak bergerak sama sekali.Dia semakin yakin ayahnya telah berpulang. Tapi yang membuatnya shock, sebelum mati ayahnya sempat berbicara pada Toni. Cerita orang tentang ilmu rawa rontek memenuhi benaknya.Kengerian, ketakutan, sekaligus kegundahan bercampur aduk dalam hatinya. Dia lalu memandang putranya seksama seperti memandang sosok menyeramkan!

(Seputar Indonesia Edisi 7 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar