Kamis, 11 November 2010

Tiga Cerita di Batang Pisang
Oleh Hermawan Aksan


Diaduk-aduknya isi kotak wayang, siapa tahu ia lupa belum mengeluarkan keempat wayang berwajah lucu itu meskipun, seingatnya, ia sudah melakukannya sejak sore menjelang pentas. Ia hafal bahwa Ki Dalang tak pernah menunggu puncak malam untuk menggelar gara-gara para punakawan.  

Cerita Satu: Kurusetra  
MAKA berceritalah Ki Dalang. Kocap kacarita... 
Baratayuda akhirnya pecah juga meskipun sudah dilakukan berbagai upaya untuk mencegahnya. Bahkan seorang Kresna, titisan Wisnu yang sangat dihormati dan dipuja, tak mampu membendung gejolak saling menumpah darah antarsaudara.
Begitu sabda sang raja kedua kubu membahana, kedua pasukan pun saling berhadapan langsung di arena Kurusetra, dengan tameng di depan dada, pedang dan tombak di genggaman, dan tanda tanya di kepala: untuk apa? Toh mereka tinggal menunggu auman sangkakala. O, gelar pasukan yang alangkah indah! Bukan kuda-kuda yang bersiap tawur dalam perang campuh, bukan pula pameran kekuatan yang hanya mengandalkan kegagahan diri berlebihan, melainkan langkah tegap dan sikap tengadah untuk bersiap memulai tarung secara ksatria. Masingmasing akan berhadapan dengan lawan yang setara.
Tak ada perwira yang sedia beradu pedang dengan tamtama. Tak ada ksatria yang sudi membasahi tangannya dengan darah para sudra. Sebaliknya, tak ada tamtama yang memberanikan diri menghadapi perwira. Kemenangan akan ditentukan oleh gelar pasukan, tapi juga oleh satu per satu kedigdayaan.
(Tapi, oh, apakah kemenangan juga ditentukan oleh takdir? Siapa yang menentukan takdir? Kalau takdir sudah menen tukan siapa yang bakal menang, buat apa harus terja di perang?) Ketika sangkakala meraung di fajar yang mencekam, kedua kubu melaju dengan derap langkah yang mantap dan kecepatan yang nis caya.

Genderang dan tambur berdebum.
Dan ujung-ujung pedang yang saling membentur, disertai sorak-sorai yang menggema, lebih menggairahkan ketimbang gamelan istana.
Lalu, tatkala tajam tombak menembus dada, dan menyemburkan darah dari lubang seberang, jiwa pun melayang menuju arah yang benderang. Tiada sesal ketika ujungujung senjata menembus tubuh mereka karena tiap jiwa terbang menuju nirwana.
Sangkakala kembali berkemandang pada saat sang surya menyelinap ke balik gunung dan langit tinggal garis-garis semburat merah. Tombak dan pedang kembali tersarung dan sorak-sorai surut ditelan remang petang. Semua prajurit menarik langkah ke kemah, menghimpun lagi tenaga dan menyusun gelar baru, mempersiapkan episode berikutnya esok hari.
Esoknya, dan hari-hari berikutnya, bersiaga para ksatria, yang selama ini memenuhi halaman kitab-kitab sastra. 
Para putra Pandawa dan Kurawa saling berlaga beradu senjata. Masing-masing sudah punya lawan. Pancawala, Angkawijaya, dan tentu saja Gatotkaca, bertarung sebagai perisai Amarta, beradu jiwa dan raga dengan Burisrawa, Lesmana, dan Jayadrata dari Hastina.
Dan, setelah para putra mereka perlaya, lalu Duryudana, Dursasana, dan kesembilan puluh delapan adiknya, dibantu para waskita seperti Karna, Durna, Bisma, dan Salya tampil satu demi satu mendarmabaktikan jiwa-raga mereka untuk negeri yang mereka bela, Arjuna dan Bima maju menjadi penentu... 
“Ki Dalang!“ Ki Dalang memandang arah suara datang.
“Mengapa para putra Pandawa harus gugur meskipun demi kejayaan negeri mereka? Bukankah mereka adalah generasi yang lebih muda, yang mestinya berkesempatan menghirup udara kehidupan lebih lama?“ Ki Dalang terdiam. Perang terhenti.
“Jawablah, kami ingin kejelasan. Bagaimana logika yang mendasarinya? Bagaimana kita menarik moral dari cerita yang memutus sebuah generasi?“ “Saya tak bisa menjawab pertanyaan ini. 
Kisah Baratayuda sudah digelar beribu kali dan tak pernah ada perubahan cerita.“ “Bukankah Ki Dalang punya kewenangan membikin cerita yang baru yang berbeda?“ “Kalau berubah, bukan lagi Baratayuda namanya.“
Penonton bungkam. Perang masih terhenti. Dan angin mati.
Cerita Dua: Astrajingga
KI Dalang kalang kabut ketika ia tak menemukan Semar dan anak-anaknya di kotak wayang. Padahal, tiba saatnya para punakawan naik pentas, melepas ketegangan di antara dentang pedang dan jerit kematian di Kurusetra.
“Tadi ada,“ kata pembantu dalang, dengan suara bergetar oleh rasa gentar. Ia bertugas menyodorkan wayang yang diminta Ki Dalang.
“Coba cari lagi, siapa tahu keselip di antara para buta,“ ucap Ki Dalang.
Pembantu dalang meneliti satu demi satu deretan wayang yang sudah terpasang, baik yang berjajar di sebelah kiri maupun di sebelah kanan batang pisang. Namun ia tak menemukan Astrajingga, Udawala, Nalagareng, dan ayah mereka.
Diaduk-aduknya isi kotak wayang, siapa tahu ia lupa belum mengeluarkan keempat wayang berwajah lucu itu meskipun, seingatnya, ia sudah melakukannya sejak sore menjelang pentas. Ia hafal bahwa Ki Dalang tak pernah menunggu puncak malam untuk menggelar gara gara para punakawan.
Semua isi kotak sudah dikeluarkan, tapi para punakawan itu tak juga ditemukan. Ke mana mereka? Apakah ada yang mencuri? Buat apa? Bahkan dalam bentuk ukiran kayu, harga punakawan tak lebih dari para raksasa buruk rupa.
Lengking merdu Nyi Sinden sudah lewat setengah kawih. Mestinya, Astrajingga langsung muncul dari awal dan berjaipongan.
“Mana, nih, Cepotnya!“ teriak penonton.
Ki Dalang kian gelagapan. Dengan matanya ia bertanya. Namun si pembantu, yang sudah bermandi peluh, karena lelah dan takut, hanya bisa mengangkat bahu.
Dan, bahkan hingga lengking kawih pudar di langit malam, entakan-entakan kendang hanya mengiringi pentas batang pisang yang hampa.
Akhirnya, Ki Dalang meneruskan pentasnya tanpa kehadiran punakawan, tanpa selingan humor-humor segar yang menertawakan. O, bisa saja ia memainkan para buta untuk bercanda, tapi tentu tak akan bebas seperti senda-gurau Astrajingga dan Udawala. Dan yang pasti, tak mungkin Yudistira bersabda sekaligus bercanda.
Ketika pentas tuntas, dan Ki Dalang membereskan wayang-wayangnya, ia mendapati keempat punakawan mengintip dari balik kotak. Ki Dalang terperangah.
“Nah, ini ada! Di mana tadi menyimpannya?“ tanya Ki Dalang kepada pembantunya.
Sebelum pembantu dalang menjawab, sekonyong-konyong Astrajingga tertawa.
Ki Dalang terkesiap. Bagaimana mungkin wayang tertawa sendiri?
“Jangan terkejut, Ki Dalang,“ kata Astrajingga. “Kami memang memutuskan untuk istirahat dulu. Di negara yang sudah makin lucu ini, buat apa kami tampil kalau tak lagi membuat penonton tertawa?“
Cerita Tiga: Indraprasta
KIAN panik Ki Dalang bukan kepalang. Ia tak bisa lagi menemukan wayang-wayang dengan cepat. Wayangwayang seakan-akan berebut tempat di sebelah kanan batang pisang. Para raksasa, siluman, dan denawa buruk rupa berdesakan dengan para ksatria tampan. Batas memudar antara pembela kebenaran dan pengusung kejahatan.
Mengapa bisa begitu, Ki Dalang tak tahu. Ketika menyusun wayang-wayang, ia dan pembantunya yakin bahwa para ksatria semua berjajar di sebelah kanan dan para raksasa berbaris di sebelah kiri batang pisang.
Karena itu pergelaran menjadi tersendat-sendat seperti laju kura-kura. Ia yakin sudah meraih Prabu Yudistira, eh, yang terpegang malah Dursasana. Nyaris ia memainkan tokoh Hastina itu ketika ia membuka adegan pasowanan di Keraton Indraprasta. Ia juga sudah siap menarikan Astrajingga dalam entakan kendang yang mulai menggila, tapi yang terpegang di tangannya adalah Dewi Supraba. Sungguh memalukan kalau sampai sang dewi swargaloka berjaipongan sambil bercanda.... 
Yang lebih ganjil, Ki Dalang tak mampu lagi Dalang tak mampu lagi mengendalikan cerita.
Alur men galir liar di luar kehendaknya. Ia sudah mem persiapkan cerita tentang pengukuhan Yudistira sebagai raja Indraprasta, sesuai dengan permintaan si empunya hajat, yakni seorang bupati yang baru terpilih.
Namun cerita berkembang k jelas arah ketika tiba-tiba saja tak jelas arah ketika tiba-tiba saja Bima menolak pengangkatan itu. Bima beralasan kakak sulungnya berkubang dosa yang mustahil teram punkan, yakni bermain dadu dengan mempertaruhkan Kerajaan Hastina, bahkan istrinya sendiri, Dewi Drupadi. Bima pun mengajukan diri untuk menjadi calon penguasa alternatif. Alasannya, dialah yang selama ini menjadi tulang punggung perjuangan Pandawa. Ia siap bersaing dengan kakaknya sendiri untuk berebut takhta.
Bima tidak sendiri. Sang panengah, Arjuna, pun mendadak berteriak macam pelantang. Ia juga merasa berhak untuk bersaing dengan kedua kakaknya guna berebut mahkota kebesaran. Arjuna berkilah, karena memiliki rupa bak Kamajaya, dialah yang paling pantas menjadi raja. Bahkan Nakula dan Sadewa, yang biasanya tak pernah bicara, kali itu juga turut mengajukan diri bersaing seba¨gai pasangan raja dan menteri perdana.
Kisah menjadi makin runyam ketika tokoh-tokoh golongan kiri --mereka yang biasanya berbaris di sebelah kiri batang pisang-berbondong-bondong mengajukan diri untuk menjadi raja di Indraprasta. Dari Jayadrata, Citrayuda, Dadungawuk, Padasgempal, hingga Sarpakenaka beramai-ramai mendatangi istana.
“Setop! Setop!“ Pak Bupati berteriakteriak dari barisan terdepan para tamu.
Mukanya merah, malu tak terperi, karena ia berdampingan dengan tokoh-tokoh terhormat dari provinsi.
“Ki Dalang, kenapa cerita tak keruan begitu?“ semburnya.
“Saya juga tak mengerti,“ sahut Ki Dalang.
“Bagaimana mungkin?“ “Lihat saja sendiri apa yang terjadi.“
Di pentas batang pisang, wayangwayang berjalan, menari, dan berbicara sendiri!
Tutup lawang sigotaka.  ***
Bumiayu, Oktober 2010
(Suara Merdeka Edisi 7 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar