Jumat, 17 September 2010

Gadis Pemetik Jamur
Oleh Yetti A.KA


IA gadis pemetik jamur. Hampir setiap pagi ia berada di tengah kebun kopi, menyingkap kabut, mencium aroma bunga kopi dan bau daun-daun membusuk, mencari jamur di batang-batang kayu lapuk dan basah, memilih jamur yang tidak beracun sebelum dipetik (jamur yang dimakan ulat biasanya tidak mengandung racun). Menjelang pukul delapan ia pun sudah membawa pulang sekeranjang jamur untuk dimasak bening, ditumis, disantan, atau dipepes ibunya-ah bukan ibu, melainkan ibu tiri atau lebih tepat bibinya. Setelah itu masakan jamur bibinya sudah terhidang di samping nasi hangat, lalapan timun atau kol, sambal cabe rawit tomat panggang, dilengkapi kerupuk jalin; menu pagi hari yang sangat digemari orang-orang yang biasa tinggal di perkebunan kopi itu, di alam yang memiliki curah hujan cukup tinggi sepanjang tahun, tempat bermacam-macam jamur tumbuh tiada henti-henti.

***

Semua tahu, Lolanda, gadis pemetik jamur itu, seseorang yang terlihat periang, lincah dan manis jika dibandingkan dengan gadis-gadis yang berada di perkebunan. Ia ramah, suka membantu, dan pandai menyenangkan hati orang lain, kecuali terhadap bibinya. Ia lebih sering menganggap bibinya orang asing, perempuan tidak berguna, dan musuh yang harus diwaspadai. Kadang-kadang ia melihat bibi persis ular yang tengah menunggu kesempatan menjulurkan lidah, mematuk, dan mengalirkan bisa ke tubuhnya.

Semua pikiran buruk tentang bibi itu melintas bagai sambaran api, kadang amat mengejutkannya, dan ia akan ketakutan setengah mati.

Ia memang selalu tidak siap berhadapan dengan kenyataan. Sama persis ketika ia tidak sanggup menerima detik-detik kematian ibunya saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Ibunya terlihat pasrah dan tidak berdaya. Lalu bibi datang dari kota (dan rela meninggalkan pekerjaan), menyambut tangan ibu yang kurus. Mereka saling berbisik, seakan-akan tengah melakukan suatu perjanjian. Diam-diam Lolanda memerhatikan kejadian itu lewat celah pintu, dan ia sudah dapat membayangkan bibi akan menggantikan tempat ibunya dalam waktu dekat lewat sikap dua perempuan itu. Ia menjerit keras seraya lari ke teras. Ia bukan tidak suka bibinya. Bukan itu. Bibi sering mengiriminya berbagai mainan, baju baru, cokelat, dan kue kering aneka rasa. Jadi, mana mungkin ia benci bibinya. Hanya jika bibi harus mengisi tempat yang sepantasnya hanya milik ibunya, ia sungguh-sungguh tidak bisa. Dan semakin ia membayangkannya, kenyataan mengerikan itu makin mendekatinya. Meneror.

Bila kemudian ia menyerah juga dan menganggukkan kepala saat ayah minta persetujuan untuk menerima kehadiran bibi sebagai pengganti ibunya setelah satu bulan ibu meninggal dunia, itu karena ia benar-benar tidak punya kekuatan. Ia terlalu kecil untuk menentang rencana orang dewasa. Apalagi ia juga tahu, ibu yang meminta bibi. Barangkali ibu juga telah menyerahkan dirinya bulat-bulat pada bibi, memindahtangankan tanggung jawab pengasuhan, tanpa bertanya apa ia setuju atau tidak. Selebihnya ia harus menurut pada kehendak terakhir ibunya itu. Jika tidak, sama saja ia mengkhianati ibunya, perempuan yang lebih sering mengenakan daster dan sarung selama hidupnya, jarang tampil luar biasa di hadapan orang lain, dan tidak pula pintar seperti bibi yang sekolahan (ibunya memilih dan mewarisi kebun kopi, sedangkan bibinya memilih sekolah dan berkarier di kota). Namun, ibunya punya ketulusan dalam mencintai, sesuatu yang belum tentu dimiliki perempuan lain, termasuk bibinya, meski ia tahu bibinya tentu telah berkorban dengan membunuh mimpi-mimpinya yang serupa gunung, menjulang terlalu tinggi, mengintai bintang di langit, dan menggantinya dengan kenyataan yang tiba-tiba berada di depannya; menjadi seorang istri bagi lelaki yang tidak ia cintai sekaligus ibu dari anak umur sepuluh tahun yang tidak pernah ia lahirkan sendiri. Karena itu pula bukan, sehari sebelum menyatakan bersedia menjadi istri ayahnya, bibinya merayakan perpisahan dengan kekasih yang ia cintai, menangis beberapa jam, lalu mereka bercinta untuk pertama dan terakhir kali. Setelah itu, bibinya pulang, berkata pada ibunya yang sedang sekarat: Baiklah aku akan menikah dengan suamimu dan menjaga Lolanda kesayangan kita.

Entah kenapa bibinya harus melakukan itu. Membuat mata semua orang memandang iba padanya, seolah-olah bibi tengah terjerembab di lubang dalam penuh duri, mengoyak-ngoyak kulit halusnya sampai berdarah-darah, menghancurkan tubuhnya yang padat berisi itu.

"Tidak seburuk itu, Lolanda. Kau dan ayahmu bukan duri. Bukan sesuatu yang akan menusuk kulitku. Kalian kesayangan kakakku, dan kini menjadi kesayanganku juga," ujar bibinya menghibur diri, setiap saat, lebih-lebih bila ia sudah bercerita lagi tentang perpisahan sepasang kekasih yang mengharukan itu, cerita yang terlalu sering didengar Lolanda dari bibinya selama delapan tahun mereka bersama, seakan-akan dengan begitu dada bibinya sedikit lapang. Sementara itu, Lolanda menganggap cerita itu bagai dongeng penuh air mata, membuatnya beberapa saat terjebak rasa pilu dan dadanya dikurung penyesalan. Seharusnya bibi tidak perlu kehilangan begitu banyak kebahagiaan. Membuatnya tampak sangat menyedihkan. Kalau saja Lolanda bisa mencegah dari awal. Atau kalau saja ibunya tidak sakit, tidak pergi meninggalkan dirinya yang masih kecil, yang masih butuh perlindungan seorang ibu. Bibinya tidak akan pernah sama dengan ibunya. Sekeras apa pun bibi berusaha. Lolanda tidak bisa percaya bibi bisa membuatnya merasa nyaman, merasa berada dalam pelukan ibu di saat-saat yang dibutuhkan.

Di hadapannya, bibi tidak lebih dari seseorang yang putus asa. Maka Lolanda hanya bisa berkata, "Tentu bukan duri, Bibi. Tidak mungkin kami duri. Kita saling menyayangi."

Sesekali, memang, Lolanda berusaha menunjukkan sikap pengertian yang dalam. Sekadar kepura-puraan atau kesungguhan, ia tidak tahu pasti. Ia memegang tangan bibinya, persis dua sahabat yang saling mengerti. Mereka bertatapan. Berpelukan. Menyandarkan tanggungan satu sama lain. Siapa pun yang melihat kejadian itu, pasti menyangka mereka benar-benar serasi sebagai ibu dan anak.

Adakah yang bisa membaca gelagat mata Lolanda yang sarat kelicikan dan terbakar cemburu. Tidak. Tidak satu pun. Lolanda tidak membiarkan orang lain mencampuri perasaannya, mencari tahu isi hatinya. Ia menutup diri rapat-rapat. Juga pada ayahnya. Orang lain hanya bisa melihat dirinya yang palsu; ia yang periang, lincah, dan manis. Selebihnya hanya dirinya sendiri yang tahu. Juga tentang rencana-rencana menyingkirkan bibi dari ayahnya. Membuat perempuan itu tidak pernah dicintai ayahnya secara sungguh-sungguh sebagai pengganti ibunya.

Sebab itu Lolanda menolak melanjutkan sekolah setelah lulus SD. Ia ingin mengikuti jalan ibunya, perempuan yang hidup di perkebunan kopi dari kecil hingga menikah, menjadi perempuan pemetik jamur yang suatu ketika dicintai seorang lelaki hanya karena ketulusannya. Ya. Ia akan merebut ayahnya kembali. Membuat lelaki itu menemukan ibu dalam dirinya sebagai gadis pemetik jamur. Hampir setiap pagi ia pun sudah berada di tengah kebun kopi untuk mencari bermacam-macam jenis jamur. Ia menjejakkan kaki di tanah yang dulu pernah dilalui ibunya, bertahun-tahun. Ada kenangan yang terus bergerak setiap kali ia melewati batang-batang kopi, membuat ia tidak ingin berhenti, dan terus menjelajahinya, sampai ia menemukan dirinya sendiri telah menjelma jamur raksasa, jamur beracun yang siap mengancam bibinya yang cantik dan pintar itu.

Dada Lolanda berdegup keras. Setiap kali begitu. Apalagi akhir-akhir ini.

***

Hingga suatu pagi, awan sangat tebal ketika Lolanda berlari ke tengah kebun kopi. Ia membawa keranjang kosong. Keranjang milik ibunya, satu-satunya yang tersisa dari lima keranjang yang ditinggalkan ibu delapan tahun lalu. Sebelum berangkat ia masih sempat melihat ayah dan bibi melambaikan tangan, "Jangan lama-lama di tengah kebun kopi, Lolanda, nanti kau kehujanan," teriak bibi. Wajah ayah dan bibinya berseri-seri. Perasaan Lolanda campur aduk. Ia gugup dan cemas. Hanya berlari, pikirnya, satu-satunya cara melawan serangan yang muncul tiba-tiba dalam dirinya. Ia berlari. Secepatnya. Sayup ia masih mendengar suara bibi: Cepat kembali! Cepat kembali! Suara itu seolah terus mengejarnya. Ketika ia menoleh, ia tidak dapat melihat ayah dan bibinya, ia merasa telah sangat jauh, dan ia bernapas lega. Tapi sesudah itu ia disambut kesunyian kebun kopi pagi hari, membuat ia merasa menjadi seorang gadis tanpa siapa-siapa. Kekalutan bertengger di wajahnya, persis burung patah sayap. Ia tidak bisa lagi tersenyum pada daun-daun atau dingin pagi yang selalu menemaninya berburu jamur, bertahun-tahun.

"Aku cemburu," pekik Lolanda.

Pagi tambah gelap. Awan bergerak cepat di atas kepala Lolanda.

"Aku akan segera kehilangan ayah untuk selama-lamanya." Lolanda meremas daun-daun kopi. Air matanya meleleh sudah. Keranjang jatuh dari tangannya. Menggelinding. Menuruni tebing. Dalam waktu cepat Lolanda telah kehilangan satu-satunya kenangan dari ibunya, satu-satunya keranjang yang semestinya harus ia jaga baik-baik, sebab ia tidak mungkin mengejar keranjang itu hingga ke lembah di mana air dari bukit-bukit berkumpul dan mengalir, tempat beribu-ribu makhluk halus berdiam sejak beribu-ribu tahun lalu, jauh sebelum sebidang kecil tanah perkebunan kopi jatuh ke tangan kakek dari pihak ibunya.

Lolanda terperangah menyadari kecerobohan itu, tapi kemudian ia memilih tidak mau peduli. Potongan kebahagiaan wajah ayah dan bibi kembali hadir di matanya. Betapa semringah senyum ayah. Kabut yang bertahun-tahun bergayut di wajahnya sejak ibu meninggal dunia, sama sekali tidak berbekas. Semua itu terjadi begitu mendadak, bahkan Lolanda nyaris tidak menyadarinya. Kapan. Adakah dalam beberapa hari ini. Kenapa ayah tidak memberinya kesempatan. Sedikit saja lagi. Tidakkah ayah harusnya menunggu. Tidak harus menghabiskan waktu sekian lama. Hanya beberapa minggu lagi, itu sudah cukup. Tapi ayah justru membuatnya benar-benar putus asa, membuat ia terlihat sama sekali tidak berguna. Kenapa ayah tidak mau menghargainya yang susah payah menghadirkan sosok ibu dalam tubuhnya, dalam hari-hari yang ia titi. Bukankah ia melakukan itu demi ayah. Demi mereka berdua. Ya. Hanya ia dan ayah. Tidak ada bibi. Tidak ada perempuan lain yang pantas berada di tempat ibunya, kecuali dirinya, Lolanda si pemetik jamur.

"Aku terbakar cemburu, Ayah! Aku sungguh-sungguh terbakar!"

Ayah dan bibi tertawa sangat lebar. Rongga telinga Lolanda dipenuhi suara tawa itu. Lolanda menjerit-jerit. Tubuh Lolanda berputar-putar, terbentur batang-batang kopi, kemudian rubuh. Ia pingsan atau tertidur. Ketika terjaga ia sudah tumbuh menjadi jamur tanah raksasa. Racun menetes dari bibir jamurnya yang lembut. Ia bayangkan, tidak saja bibi yang akan mati karena racun itu, tapi juga ayahnya. Itulah pembalasan bagi pengkhianat.

Langit kian kelam, sekelam hatinya. Ia ingat pesan bibinya. Ia pun pulang sebelum kehujanan.

***

Maka orang-orang tidak lagi bertemu gadis pemetik jamur yang lincah, periang, dan manis, sejak itu. Seiring itu masakan jamur bibinya sudah jarang pula terhidang di samping nasi hangat, lalapan timun atau kol, sambal cabe rawit tomat panggang, dilengkapi kerupuk jalin.

Lolanda berhenti mencari jamur. Berhenti mengharapkan ia bisa seperti ibunya. Juga berhenti melakukan sesuatu untuk merebut ayahnya kembali. Ia berubah pendiam, mengasingkan diri bersama sekian rencana jahat yang makin ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu yang tepat untuk meledakkannya ke permukaan, ke hadapan ayah dan bibi. Ia juga tidak perlu lagi berpura-pura memahami perasaan bibinya saat perempuan itu sekali waktu kembali bercerita tentang perpisahan mengharukan sepasang kekasih. Ia lelah bersandiwara.

"Sudahlah, Bibi. Itu masa lalu yang tidak perlu diungkit-ungkit lagi," kata Lolanda ketus.

"Aku tidak bisa melupakannya. Butuh waktu beberapa lama untuk itu." Bibinya terlihat memelas.

Di mana wajah semringah itu, batin Lolanda. Di mana kebahagiaan yang pernah tertangkap olehnya pada pagi itu, yang membuat putaran hidupnya berhenti seketika karena ternyata bibinya akan punya bayi dari darah ayahnya, yang membuat Lolanda kehilangan kesempatan menjaga sebuah cinta milik ibunya.

"Bibi selalu berlebihan." Lolanda meninggalkan bibinya.

Bibi menatap kepergian Lolanda tanpa berkedip. Ia sama sekali tidak mengerti maksud kalimat Lolanda. Ia tidak pernah berhadapan dengan Lolanda yang mengabaikannya dan mulai terlihat menakutkan dengan tubuh kehitaman mirip jamur raksasa.

"Lolanda sayang..." bibinya memanggil. "Lolanda sayang..." Tubuh bibinya menggigil.

***

Lolanda, gadis pemetik jamur yang murung, pagi-pagi sekali kembali ke tengah kebun kopi membawa tubuh yang terluka. Ia menerobos batang-batang kopi yang dingin. Membuat daun-daun kopi bergoyang-goyang, dan air di daun itu berjatuhan ke tanah warna hitam.

Di dekat lembah, Lolanda berhenti. Di sana banyak batang-batang kayu berukuran besar dan mulai lapuk, tempat jamur sering tumbuh. Jamur putih, jamur elang, jamur kelumbuk, jamur kuping, jamur bibir, jamur tui. Ya. Lolanda akan memetik bermacam-macam jamur itu, dan ia tinggal menyelipkan jamur lain, entah apa namanya, yang dulu sering diingatkan ibunya untuk tidak dipetik. Dan bibi akan memasak jamur seperti biasa tanpa curiga sebab bibi sama sekali tidak mengerti tentang mana jamur yang boleh dimakan mana yang tidak. Kemudian mereka akan makan bersama lagi dalam suasana kekeluargaan orang-orang yang lama tinggal di perkebunan. Setelah itu...

Lolanda menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia menolak memikirkan akhir drama itu. Nanti saja. Kalau waktunya sudah makin dekat. Ketika tangan ibunya mulai terulur, pertama-tama tentu meraih ayah, lelaki yang sangat dicintai ibu, selanjutnya bibi dan calon bayi dalam perut yang mulai membesar itu, lalu ia sendiri. Setelah itu...Ah, Lolanda mendengus. Dasar iblis, makinya.

Ayah mati. Bibi dan calon bayi mati. Ia mati. Mereka berakhir tanpa ada yang menang atau kalah.

"Iblis! Iblis!" Lolanda berteriak keras. Sungguh ia belum ingin berpikir tentang akhir drama itu. Sungguh!****

Rumah Palung Laut, 29 April 2007 22.23
(Media Indonesia, 20 Mei 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar