Sabtu, 18 September 2010

Sungai
Oleh Farizal Sikumbang
 

Bulan Januari. Awal tahun yang aneh. Dan sudah berhari-hari, hujan turun deras sekali di kampung kami. Kadang  suaranya laksana  mengetuk-ngetuk atap seng rumah. Lewat ventilasi, angin dingin menerobos masuk ke dalam rumah, lalu menyergap kulit.  Kami lima orang keluarga terperngkap dalam cuaca yang ganjil. Juga dalam gigil.
Ini adalah hari penantian yang panjang. Juga mendebarkan jantung. Penuh harap dan cemas. Di sudut ruangan, ibu menekukkan wajah. Beliau sedari tadi telah menangis tersedu-sedu. Meratapi ayah yang tak kunjung pulang, sedangkan nenek masih sibuk membaca alqur’an dengan suara yang pelan. Kadang seperti tertahan dengan irama taju’idnya yang menyentuh. Dua orang adikku yang masih kanak-kanak terlelap dalam tidur setelah sedari tadi tak kunjung mau berhenti menangis.
Kusandarkan tubuh ke dinding kayu rumah panggung ini. Kujulurkan kaki. Melepaskan penat segala tubuh. Dan kepala yang semenjak tadi telah sarat dengan pesuruh. Tapi hujan membuat aku terduduk. Kali ini tidak bisa melakukan apa-apa seperti perintah ibu agar aku tak henti-henti menyusuri sungai mencari ayah. Lihat, hujan masih turun dengan angkuh. Lalu dengar, suara angin menderu, bergerisik. Juga ayunan suara serumpun  bambu di belakang rumah  yang terdengar nyaring. Kadang seperti suara yang mencekam.
Sudah dua hari ayah tidak pulang. Raib tak berkabar. Ayah hilang penuh mesterius. Hanya sehelai handuk ayah yang menjadi petunjuk. Handuk itu tergeletak di bibir sungai. Aku yang menemukannya setelah kami ingin mengajak ayah makan siang.  Kami menduga ayah tergelinjir ke dalam sungai yang berair deras. Ketika kuberitahu ibu, beliau menangis tersedu-sedu. Seperti sangat tak rela ayah bernasib menyedihkan. Tak kukira ibu seperti itu. Aku kira ibu tak menyayangi ayah.
“Belum tentu ia dibawa air sungai, kau cari dulu ke tempatnya sering bertandang, “ujar nenek untuk menenangkan hati ibu.
“Jadi, jangan kau sebarkan dulu berita yang belum tentu itu,” tambah nenek lagi. Seperti petunjuk nenek, aku mencari jejak ayah dengan mendatangi sanak famili. Juga di mana biasanya ayah  selama ini sering ditemui. Tapi segala tempat yang aku datangi tidak juga menemukan sosok ayah. Aku  semakin khawatir jika benar ayah terjatuh ke sungai yang berair deras karena hujan sering turun.
Akhirnya kami putus asa. Aku tidak menemukan ayah. Kami memastikan bahwa ayah memang telah terjatuh ke sungai. Kami meratapi ayah sepanjang hari. Kini di atas rumah panggung ini aku terdiam. Memikirkan nasib ayah. Kami yakin sekali bahwa ayah memang telah terjatuh ke sungai, sebab ayah tidak pulang-pulang. Seandainya sungai tidak berair deras akibat hujan lebat tentu ayah akan bisa menyelamatkan diri. Juga seandainya hutan-hutan di atas bukit sana tidak ditebangi tentu air hujan tidak akan turun deras ke muara sungai.
Jika hujan turun semakin lebat lebat, kami takut kampung akan kebanjiran akibat air sungai yang meruah. Sesekali masih terdengar suara petir menggelegar. Memekakkan gendang telinga. Mengalahkan suara nenek yang masih khusuk membaca alqu’an di pojok ruang sana. Aku tahu nenek juga bersedih atas kehilangan ayah, sebab nenek selalu menyayangi ayah. Itu karena ayah  menentang orang-orang yang menebang kayu di atas bukit. Nenek memang selalu menganjurkan ayah agar terus memperingati penebang liar itu. “Hutan-hutan itu adalah tempat permainan aku sedari dulu,” ujar nenek kepada ayah suatu hari. “Kuharap kau jangan membiarkan mereka membabat sesuka hatinya. Hanya kau harapanku karena kau laki-laki. Aku juga benci pada penduuduk di kampung ini yang kadang ikut-ikutan.”
“Tapi uangnya banyak Mak,” sela ibu.
“Hah, sama saja kau rupanya. Sudah terpengaruh pula. Kau perhatikan sekarang air sungai kita sudah keruh. Ladang kita separoh sudah ditimbun longsoran tanah bukit itu. Tak terpikir olehmu ?
Kau jangan coba-coba pengaruhi suamimu. Ingat itu.” 
Seperti harapan nenek, ayah mematuhi perintah beliau. Ayah tidak mau seperti orang kampung lainnya yang ikut-ikutan menjadi penebang kayu liar di hutan. Bahkan ayah memarahi teman-temannya yang tidak sepandapat dengannya. Begitulah ayah, salah satu dari beberapa orang di kampung kami yang tidak setuju hutan kami ditebangi. Akibat dari kemauan ayah itu, orang-orang yang menebang hutan menjadi benci pada ayah. Bahkan si Husin, teman ayah sedari muda tidak mau lagi menyapa ayah.
“Mereka yang ikut menebang pohon di hutan sudah keenakan memakan uang hasil penebangan kayu itu,” umpat ayah ketika kami sekeluarga berkumpul di rumah panggung ini. “Ini ulah si Manaf, anak si Burhan itu., semenjak ia menjadi cukong penampung kayu, orang sekampung jadi ikut-ikutan bekerja dengan dia,” jawab Mak tak kelah seru. “Sekarang ia sudah jadi orang kuat Mak. Dia punya kaki tangan di kantor lurah. Sebab  lurah pun dapat jatah dari hutan itu,” tambah ayah. “Kita tidak bisa berbuat apa-apa.” “Hutan akan semakin gundul, aku cemas dengan kampung ini,” keluh nenek lagi.
Dan keluhan nenek itu, jika musim hujan turun tak henti-henti selama tiga hari akan terbukti. Air sungai  akan meruah dengan warna kuning pekat, serta membawa potongan  sisa penebangan kayu di hutan. Kini ayah telah jadi korbannya. Ayah telah diseret air sungai yang deras akibat hujan turun dua hari penuh. Kurebahkan tubuh untuk  melepas kantuk. Dingin masih menusuk kulit. Hujan masih turun mengetuk-ngetuk atap seng rumah kami.
***
Pagi hari, kuturuti satu persatu anak tangga rumah panggung ini. Sisa hujan semalam masih tersisa membasahi tangga rumah. Beberapa helai daun pisang yang tumbuh di depan rumah terlihat merunduk, seperti masih menahan jatuhnya hujan kemarin. Dan jalan di halaman rumah masih terlihat berlumpur. Beberapa tempat masih digenangi air membentuk kolam-kolam kecil. Di samping rumah,  ibu terlihat dengan wajah sembab. Beliau kemudian berjalan menghampiriku.
“Kau susuri lagilah sungai, mana tahu kau temukan,” ujar ibu pelan.
“Ya, akan saya susuri bu.”
Ibu kemudian berpaling, menuju ke jalan ke luar rumah. Aku tak tahu ibu akan ke mana. Mungkin ke rumah tetangga.
Kini  aku akan sendiri menyusuri sungai. Setelah kemaren beberapa penduduk kampung ikut serta mencari jasad ayah. Sungai itu panjangnya lebih empat kilometer sebelum sampai ke laut. Aku hanya berharap tubuh ayah tersangkut kayu dan tidak sampai menuju laut.   Jika sampai ke laut aku yakin tidak akan bisa menemukan tubuh ayah.
***
Sungai ini kata nenek dulu lebarnya hanyalah tiga meter. Airnya juga kata nenek dulu sangatlah jernih dan siapa yang haus akan bisa langsung meminumnya. Tapi semenjak penduduk mulai menebang kayu di bukit itu, perlahan-lahan semua mulai berubah. Kini sungai ini lebarnya mencapai  sepuluh meter lebih. Apalagi setelah si Manaf menjadi agen pemasok kayu yang dikirim ke daerah lain. Dia  menebangi hutan dengan menggunakan alat-alat berat. Jumlah kayu yang ditebang sampai berhektar-kektar. Hutan di bukit sana mulai terlihat gundul. Maka sungai semakin melebar akibat terkikis oleh air yang deras.
Dan lihat, kini sungai ini berair keruh, menghanyurkan batang-batang kayu dan ranting-ranting yang ditinggalkan sewaktu penebangan. Kuhela tapak kaki, menyusuri sungai ini. Kuharap ayah masih hidup dengan memegangi potongan kayu yang dihanyutkan. Tapi apa mungkin? Tidakkah tubuh ayah dihantam kayu-kayu itu?
Peluh mulai membasahi dahiku. Arloji ditanganku sudah menunjukkan angka sebelas. Kedua kakiku mulai terasa lelah dan sakit. Duri-duri sedari tadi menyentuh kulit kaki ini. Tapi perihnya  terkalahkan oleh kehilangan ayah. Kali ini kududukkan tubuh di pingir sungai ini. Aku mulai putus asa. Aku merasa tidak akan menemukan tubuh ayah. Sebab di sini kira-kira sepuluh meter lagi menuju laut. Menuju laut? Ah.
***
Malam harinya beberapa tetangga datang ke rumah kami melakukan takziah. Mereka melantunkan ayat-ayat Alquran dan mendoakan semoga ayah kami di terima di sisi Tuhan. Ibu seperti terharu dan sesekali masih meneteskan airmatanya, sedangakan kedua adikku terdiam seribu bahasa. Mungkin mereka masih sedih atas kehilangan ayah. 
Hujan malam ini turun rintik-rintik. Dinginnya masih seperti menusuk kulit. Tapi tidak mengalahkan kekhusukkan para petakziah. Mereka memang terlihat kasihan pada keluarga kami atas kehilangan ayah. Ketika pengajian telah selesai, mereka masih sibuk bercengkrama dan membicarakan tentang ayah kami. Mereka sangat kasihan karena ayah meninggalkan  anak yang masih kecil-kecil. Bahkan ada yang mengutuk penebangan kayu di atas bukit yang menyebabkan sungai di kampung kami berair deras dan lebarnya semakin meluas.
Dari atas rumah panggung  itu kami kemudian  mendengar suara ketukan pintu di antara suara rintik hujan yang turun. Uda Iman yang duduk di dekat pintu berdiri seperti menyambut tamu yang datang setelah acara pengajian itu. Akhirnya kami tahu yang datang itu Lurah kampung kami yang bernama Burhanudin. Dia datang bersama Uda Kutar.  Ketika mereka mengambil duduk setelah dipersilahkan oleh Uda Iman,  terdengar bisik-bisik dari semua tamu. Tapi aku tidak tahu apa yang mereka bisikan. Perlahan Uda Kutar kemudian berdiri di antara tamu-tamu lainnya yang masih duduk bersila. Melihat itu kami semua bertanya-tanya.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu,” kata Uda Kutar. “Saat ini Lurah kampung kita sudah hadir di tengah-tengah kita. Beliau akan memberikan kata sambutan atas musibah ini. Untuk itu mari kita dengarkan bersama. “ Semua tamu yang hadir terdiam. Meski masih ada yang berbisik-bisik. Tapi aku tidak tahu apa yang mereka bisikan. Suasana hening. Namun keheningan itu pecah ketika nenek berdiri dan bersuara lantang.
“Tak perlu, kami tak perlu mendengarkan kata-kata apa darinya. Dia yang menyebabkan si Husin hilang ditelan sungai. Tak tahu itu dia,” ucap nenek dengan nada bergetar. Semua tamu yang hadir menjadi riuh. Bahkan seperti gemuruh
“Ya, tak perlu ada kata-kata apa pun darinya. Dia yang menyebabkan sungai menjadi melebar hingga tanah kebun saya di kikis air,” kata Pak Jamal dengan nada meninggi pula.   
“Ya. Tak perlu.”
“Saya setuju.”
“Setuju.”
“Usir saja di dari sini,” seru Pak Hasan.
“Ya usir saja.”
“Dasar Lurah tak berguna.”
“Makan uang sogokan.”
Kata-kata makian itu terus berlanjut membuat suasana  rumah menjadi semakin gaduh. Sedangkan Lurah Burhanudin sedikit menyurukkan wajah di belakang Uda Kutar seperti tertuduh. Dia pucat. Seperti kena laknat.

(Sumber: Padang Ekspres, 20 April 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar