Jumat, 17 September 2010

Ibu Meninggal di Tanah Suci
Oleh Humam S Chudori

Antara percaya dan tidak saya membaca suratkabar yang memuat nama-nama calon jamaah haji yang wafat di tanah suci. Bukan lantaran nama ibu saya ada di sana. Melainkan karena berita itu menyebutkan ibu meninggal akibat sakit parut-paru. Sebagai salah seorang anaknya, saya tahu persis ibu tidak pernah mengidap penyakit paru-paru.
Namun, setelah Mardiana -- adik saya yang tinggal di Pemalang -- mengatakan hal yang sama, saya baru percaya. "Ibu meninggal katanya karena sakit paru-paru," ujar Mardiana dari seberang. "Masa? Bukankah ibu tidak pernah sakit?"
"Betul kok, Mas," potong Mardiana, "Saya juga tak pernah menduga kalau ibu menderita sakit paru-paru." Saya diam.
"Saya sudah mendapat surat tembusan dari Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Departemen Agama. Di dalam surat tersebut dinyatakan demikian."
Saya masih tetap diam. "Hallo, Mas!" lanjut Mardiana, "Mas Darman masih di sana?"
"Ya, ya. Saya masih mendengarkan kamu, Mar."
"Menurut Mas Darman, apa perlu kita...."
Tut...tut ... tut. Tiba-tiba percakapan kami terputus.
Saya tidak tahu kenapa tiba-tiba percakapan kami putus. Mungkin uang yang dibawanya tidak cukup, lantaran ia menelpon dari wartel. Saya tak mungkin menelepon balik karena di rumahnya tidak ada telepon, dan ia tak punya ponsel."
Diantara kami berempat hanya Mardiana yang tinggal bersama ibu, di Pemalang. Dua adik saya yang lain sudah merantau ke kota lain. Bakhtiar di Bandung, Zaenal Arifin di Surabaya, dan saya sejak lulus SMA mengadu nasib di ibukota.
Ibu berangkat ke tanah suci bersama rombongan pengajian ibu-ibu, karena ayah sudah lama meninggal. Ia menunaikan rukun Islam ke-lima dibiayai oleh Zaenal Arifin.

Ketika saya menghubungi adik saya yang lain dan mengabarkan kematian ibu, tidak ada yang mempersoalkan penyebab kematian ibu.
"Mungkin ibu memang harus meninggal di sana, Mas," kata Bakhtiar, adik Mardiana, ketika saya mengabarkan kematian ibu.
Jawaban yang tak jauh berbeda adalah ketika saya ditelepon Zaenal. Adik saya yang paling bungsu ini tidak membicarakan penyebab kematian ibu. Tatkala saya mengemukakan kebingungan saya karena kematiannya disebabkan penyakit paru-paru, ia tak memberi komentar apa pun.
"Apa pun yang menjadi penyebab tidak masalah, Mas. Yang jelas, ibu sekarang sudah tidak ada. Buat apa kita bicarakan penyakit ibu," kata Zaenal.
Satu minggu setelah mendapat kabar itu, saya memutuskan agar semua adik-adik pulang ke Pemalang. Sebagai anak tertua saya ingin memperbincangkan hal-hal yang perlu diselesaikan. Mungkin almarhumah punya tanggungan hutang, janji, atau wasiat yang harus segera dilaksanakan. Juga, apakah perlu diadakan tahlilan atau tidak.

Bagi saya pribadi, tahlilan bukan sesuatu yang harus diadakan. Tetapi, bagaimana dengan ketiga adik saya. Dan jika memang akan diadakan tahlilan bagaimana pelaksanaannya. Apakah akan diadakan di rumah salah satu di antara kami atau di Pemalang. Sebab yang ada di Pemalang hanya Mardiana. Padahal Mardiana tinggal seorang diri, tanpa suami tanpa anak. Sejak suaminya meninggal ia tak pernah menikah lagi.

Dalam pertemuan nanti bila perlu saya ingin membicarakan tentang kemungkinan pembagian warisan. Meskipun barangkali pelaksanaannya tidak akan segera dilakukan. Paling tidak, akan dibuat kesepakatan secara tertulis tentang pembagian harta warisan orangtua. Saya tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Saya masih ingat tat kala Barzanji meninggal. Ketika itu masalah warisan tidak segera dibicarakan. Akibatnya cukup fatal. Keluarga Zakir tidak mendapatkan apa-apa. Lantaran setahun setelah Barzanji meninggal, Zakir mengalami kecelakaan lalu lintas dan juga meninggal. Gara-gara belum ada kesepakatan di antara anak-anak Berzanji tentang pembagian waris, Masudah, istri Zakir, tidak mendapatkan apa-apa dari harta peninggalan warisan orangtua suaminya. Padahal ia tidak bekerja. Hidupnya bergantung pada suaminya.

Saya tidak ingin Kustini -- istri saya -- mengalami nasib yang serupa dengan Masudah. Lantaran Kustini juga tidak punya penghasilan apa-apa. Kasihan mereka jika Tuhan menghendaki saya mati lebih dulu dari mereka. Masih mending apabila saya meninggal setelah anak-anak saya bekerja. Jika tidak, apa tidak terlantar istri dan anak saya nanti?

"Alhamdulillah! Ibu meninggal sebelum pulang ke sini," ujar Mardiana, ketika kami sudah berkumpul di rumah ibu.
"Kok?" hampir bersamaan kami -- saya, Bakhtiar, dan Zaenal Arifin -- berkata, "Kamu bilang alhamdulillah?"
Benar. Kami merasa aneh dengan pernyataan Mardiana. Sebab kalimat yang diucapkannya alhamdulillah. Bukan lainnya. Padahal dalam pemahaman kami, kalimat ini diucapkan jika seseorang mendapatkan sesuatu yang patut disyukuri.
Mana mungkin ibu meninggal ia malah bersyukur. Apa mungkin Mardiana memang berharap mendapatkan warisan orangtua. Setelah ibu meninggal Mardiana akan menempati rumah yang ada di Pemalang. Lantaran semua saudaranya tidak ada yang tinggal di sana. Lalu ia akan....

"Saya memang bersyukur karena Ibu meninggal sebelum pulang ke sini," ujar Mardiana, menghentikan pikiran saya.
Hening sejenak. Mardiana diam. Ia menunggu reaksi kami.
"Kalau ibu tidak meninggal di sana saya akan pusing sendiri," tambahnya setelah beberapa saat lamanya ia terdiam.
Kami masih tetap diam. Namun, setumpuk pertanyaan tetap memenuhi pikiran.
"Asal tahu saja, ibu pernah bilang kalau nanti pulang dari naik haji ia tidak mau dipeluk oleh Mbok Rahma. Jijik, katanya. Dan saya harus menjagai jangan sampai Mbok Rahma mendekati ibu, apalagi sampai merangkul ibu seperti orang lain. Lalu apa yang harus saya lakukan kalau ibu pulang dari tanah suci dan mBok Rahma ke sini. Padahal setiap ada orang pulang dari menunaikan haji semua tetangga akan menyalami dan merangkulnya," imbuh adik perempuan saya satu-satunya.

Mbok Rahma adalah tetangga ibu. Memang, perempuan yang pekerjaan sehari-harinya menjadi buruh cuci pakaian tetangga itu fisiknya nyaris tidak pernah bersih. Tetapi, saya pikir berpelukan dengannya saat pulang dari tanah suci tidak akan membuat ibu menjadi sakit. Apalagi orang yang berpelukan tatkala pulang dari ibadah haji tidak akan lama. Sebab, banyak orang yang ingin memeluknya. Hingga tidak mungkin mBok Rahma akan punya kesempatan berlama-lama memeluk ibu.
"Kalau Mas Darman, Bakhtiar, dan Arifin, tidak akan bingung bila ibu pulang nantinya. Nah, kalau saya? Bukan hanya karena saya disuruh menjagai mBok Rahma agar jangan sampai mendekati ibu. Tapi, saya yang masih tinggal di sini apa tidak akan jadi pembicaraan orang-orang. Apa kata mereka jika tiba-tiba saya melarang mBok Rahma merangkul ibu?"
Kami bertiga masih tetap diam.
"Untungnya ketika ibu berangkat, mBok Rahma sedang sakit, hingga ia tidak datang ke sini. Kalau tidak, apa tidak terjadi fitnah. Lha wong orang mau berangkat haji kok malah bikin masalah. Sebab, setiap orang yang datang ke sini semuanya memeluk ibu sebelum beliau masuk mobil."
Kami diam. Jadi ibu berbuat demikian to, pikir saya. Pantas Mardiana merasa bersyukur ibu meninggal di tanah suci. Saya sendiri tidak bisa membayangkan andaikata diri saya adalah Mardiana. Bagaimana bila mBok Rahma datang ke rumah dan saya harus melarang perempuan itu mendekati orang tua perempuan kami.

(Sumber: Republika, 7 Desember 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar