Senin, 18 Oktober 2010

Makam
Oleh Abraham Zakky Zulhazmi


Pagi ketika Handoko dan Sudibyo baru saja datang ke water park kebanggaannya, seorang Satpam tergopoh menghampirinya. Wajahnya gugup dan takut. “Pak, ada dua orang pengunjung yang tiba-tiba kesurupan di kamar ganti.”

****

“Jangan!” “Kenapa? Di situ kan tempatnya strategis, akses menuju ke sana juga mudah, lebih dari itu, suasananya juga masih asri. Cocok lah kalau kita bangun water park.”
“Iya, tapi...”
“Sudahlah, di antara semua pemilik saham hanya kau yang masih meragukan pemilihan tempat itu. Kita dulu memang setuju lokasinya di belakang terminal, namun suara bus-bus terlalu bising untuk pengunjung.”
“Aku juga memang tidak setuju jika di belakang terminal. Tapi tempat yang baru ini... Ah, kau memang tak pernah memahami hal-hal gaib!”
Dua orang yang berdebat sengit terdiam sejenak. Sama-sama menyalakan rokok. Sudibyo bersikukuh meminta untuk tidak membangun water park di lokasi yang baru saja disepakati. Rumahnya tak jauh dari lokasi pembangunan water park. Ia tahu semua cerita tentang daerah itu. Di lain pihak Handoko, pengusaha kaya, pemilik saham terbesar, acuh tak acuh dengan semua cerita yang berkembang di masyarakat perihal lokasi itu. Lebih-lebih hanya cerita mistis yang menurutnya sangat tidak masuk akal dan murahan.
“Begini saja, Dibyo, sekarang kau lunasi saja dulu kekurangan uang yang belum kau setor. Nah, masalah cerita-cerita tak jelas itu tak usah lagi kau pikirkan. Ini zaman modern, Bung. Semua serba rasional, ilmiah! Toh warga sekitar lokasi pembangunan water park tak ada yang komplain. Mereka justru senang ada lapangan kerja baru untuk mereka.”
“Baiklah, aku turuti sajalah apa katamu. Semoga apa yang kau katakan itu benar. Semua serba rasional. Tapi kalau di kemudian hari ada apa-apa aku tak turut campur.”
“Tenang saja, Bung. Percaya saja sama aku. Proyek seperti ini bukan kali pertama buatku.”
Sudibyo menghela napas panjang lalu menghembuskannya berat. Handoko senyum-senyum saja. Ia kemudian mohon pamit. Di pintu depan ia masih coba meyakinkan Sudibyo.
Kecamuk dalam hati Sudibyo belum selesai. Ya, barangkali benar kata Handoko, saat ini semua serba rasional. Lalu bagaimana dengan cerita warga yang kerap melihat sosok menyeramkan di pemakaman dekat lokasi water park? Sosok Sumini edan!

****

“Nak, nanti malam kamu mau nonton ketoprak sama Bapak tidak?”
“Di mana, Pak?”
“Di balai desa, Nak. Pak Kades nanggap ketoprak karena panen kali ini bagus.”
“Pulangnya malam banget ya, Pak?”
“Tidak terlalu malam sebenarnya. Tapi kamu nanti jangan takut ya, soalnya lakon ketoprak malam ini Sumini Edan.”
“Wah, siapa itu Sumini Edan, Pak?”
“Sudah, tonton saja ketopraknya. Nanti kamu bakal tahu.”
Maka, Sudibyo kecil menyimpan penasaran dalam benaknya. Siapa itu Sumini edan? Apakah ia orang ternama sehingga bisa menjadi lakon ketoprak? Mengapa pula ada kata edan tersemat di belakang namanya?
Di balai desa orang sudah lama berkumpul. Tua muda, laki-laki perempuan, semua tumpah ruah di sana. Sepanjang pentas mulut Sudibyo menganga. Terpukau oleh penampilan pemain ketoprak yang piawai. Kostum mereka juga menarik hati. Yang paling mengesankan tentu saja jalinan cerita Sumini edan. Kini tahulah ia siapa Sumini edan itu sebenarnya.
Dalam ketoprak itu diceritakan, dahulu kala tersebutlah seorang bupati bernama Broto, bujangan yang selain gagah perwira juga tampan rupawan. Gadis-gadis rela menunggu berjam-jam di beranda rumah mereka demi melihat Bupati Broto melintas dengan kudanya yang kekar. Di antara sekian gadis hanya Sumini yang menunjukkan ketertarikannya kepada Broto secara nyata. Ia adalah anak saudagar kaya, Sastro Kusumo. Dengan kekayaan keluarganya ia tentu sebanding jika bersanding dengan Bupati Broto.
Namun nahas, Bupati Broto sudah melabuhkan hatinya pada Cempaka. Pada dasarnya tidak jadi soal jika Cempaka adalah gadis lain yang lebih cantik dan lebih kaya daripada Sumini. Masalahnya Cempaka adalah adik sepupunya sendiri yang tidak berpunya lagi tidak rupawan. Singkat cerita, di hari yang dinanti, Bupati Broto benar-benar melamar Cempaka. Berkobarlah bara yang lama disimpan dalam hati Sumini.
Sumini tertekan hebat menghadapi kenyataan ini. Ayahnya tak bisa berbuat apa-apa. Ia menyadari bahwa kemarahannya hanya menghasilkan kesia-siaan.
Sumini merasa menjadi perempuan buruk rupa yang tak layak dilirik lelaki manapun. Hari-harinya dihabiskan dengan mengurung diri di kamar. Kian hari wajahnya kian kusut, cermin dari hatinya yang kusut pula. Lama kelamaan ia mulai berbicara dengan dirinya sendiri. Sesekali tersenyum sendiri tanpa ada sebab. Sudibyo menahan napas sampai pada adegan ketika Sumini mengamuk di jalan-jalan desa sehingga menakuti anak-anak kecil yang sedang bermain. Lakon Sumini Edan disudahi dengan meninggalnya Sumini di pinggir kali tak jauh dari rumahnya.
Penonton bertepuk tangan riuh rendah meski menyimpan rasa bergidik di hatinya. Lantas bubar satu persatu.
Sudibyo menyimpan kenangan masa kecil menonton ketoprak dengan lakon Sumini Edan hingga ia dewasa. Ketika ia remaja Sudibyo tahu di mana letak makam Sumini Edan. Ya, tepat di samping lokasi pembangunan water park. Kini ia sudah kehabisan akal untuk meyakinkan Handoko supaya tidak sembrono membangun water park di lokasi yang terkenal angker itu. Semua orang tahu, dulu pernah berdiri pabrik kembang api di lokasi pembangunan water park, akan tetapi baru sebulan berdiri pabrik itu terbakar hebat.

***

Sehari setelah launching water park, Handoko mengundang Sudibyo makan malam di rumahnya. Syukuran. Tak seperti biasa Sudibyo datang lebih awal, dengan seorang perempuan pula.
“Tumben kau datang lebih awal. Ngomong-ngomong siapa perempuan ini? Calon isterimu kah? Ah, kau tak pernah cerita padaku.”
Sudibyo hanya tersenyum tipis. Dan makan malam berjalan relatif tanpa obrolan. Hingga tiba-tiba perempuan yang bersama Sudibyo angkat bicara.
“Sumini sudah berkalang tanah, masih juga kau usik makamnya. Jangan gegabah dan serakah Handoko,” perempuan itu berwajah tenang.
Handoko sedikit tercengang. “Ah, kita tidak menggusur makam Sumini, hanya menggeserkan sedikit. Kita sama tahu kalau makamnya tidak digeser tidak ada lahan parkir buat pengunjung. Hehehe.”
Jam berdentang sembilan kali. Sudibyo pulang bersama perempuannya. Saat menutup kembali ke meja makan Handoko menyadari dompet Sudibyo tertinggal. Buru-buru ia meraih Ponsel. Menghubungi Sudibyo, berharap belum pergi jauh.
“Dompet?! Dompet apa? Sedari tadi aku masih di rumah. Mencari-cari kunci mobilku. Aku lupa taruh di mana. Baru saja aku mau meneleponmu karena terlambat,” jawab Sudibyo di seberang sana. Ponsel Handoko jatuh ke lantai. Bulu kuduknya meremang. Tiba-tiba tercium wangi bunga melati.

(Solopos, 17 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar