Selasa, 12 Oktober 2010

Pengorbanan
Oleh Quim Monzó



SEPASANG suami-istri merenungi siluet menara itu. Yang perempuan merasa diliputi kasih mesra sehingga dia memeluk hangat suaminya.

“Aku sungguh sangat menginginkan perjalanan ini.”
Mereka berciuman, berkecupan hangat. Si suami mengusap rambut istrinya. Lalu mereka kembali menatap menara itu.
“Jam berapa kita harus sampai di Florentina?” tanya si perempuan.
“Menjelang malam. Kamu lapar? Mau kembali ke mobil dan cari makan siang di dekat-dekat sini?”
“Ya, tapi kita naik dulu ke puncak menara.”
“Menara itu? Ah, tidak.”
“Apa maksudmu? Jangan bilang kita sudah jauh-jauh pergi ke Pisa dan kita akan meninggalkan tempat ini tanpa naik ke puncak menara itu.”
“Ya, aku tak mau naik ke sana.”
“Kenapa?”
“Menara itu tidak aman. Pasti tak akan menyenangkan jika menara itu rubuh saat kita sedang naik ke puncaknya.”
“Bagaimana mungkin menara itu rubuh? Dia sudah berdiri miring seperti itu berabad-abad. Bisa-bisanya kamu berpikir menara itu akhirnya rubuh tepat saat kamu dan aku naik ke puncaknya!”
“Ya, menara itu memang sudah miring selama berabad-abad. Tapi tidak benar jika menara itu sudah semiring ini sejak berabad-abad silam. Setiap saat menara itu makin miring, makin parah. Dan suatu hari dia akan rubuh. Semua orang akan bilang, ‘Nah, hari inilah ternyata saatnya, siapa yang mengira?’ Tapi aku tak mau berada di dalamnya saat itu terjadi.”
“Tak tahukah kamu kalau menara itu pernah ditutup selama bertahun-tahun sampai orang-orang yakin bahwa tak ada yang salah dengannya, sampai sebuah dewan beranggotakan para ahli geologi, para arsitek, dan entah siapa lagi memutuskan bahwa menara itu tidak berbahaya?”
“Bahwa menara itu pernah ditutup bertahun-tahun adalah bukti pasti bahwa menara itu memang berbahaya. Justru begitu dia rubuh, menara itu tak akan berbahaya lagi. Sebab, tak bakal ada lagi orang yang akan memanjatnya. Masalah hanya ada jika menara itu tetap ada. Lagi pula, yang mereka lakukan hanyalah menopang menara itu dengan cincin-cincin baja, menanamnya pada lapisan semen, dan memberinya tali baja sebagai penahan. Hanya ada sedikit orang yang mampu naik ke puncak menara itu, dan ini menegaskan bahwa masalah menara itu belum terpecahkan.”
“Tidak. Mereka telah melakukan segala langkah pengamanan yang layak. Kini tak bakal ada hal buruk terjadi.”
“Sebaliknya. Kini lebih banyak hal buruk yang bisa terjadi ketimbang sebelumnya. Dulu, seiring berjalannya waktu, menara itu telah menjadi relatif stabil. Kini, dengan segala cincin baja dan tali penahan ini mereka justru melenyapkan kestabilan yang relatif itu. Menara itu pasti akan rubuh. Dan itu bisa terjadi kapan saja.”
“Kamu membuatku heran. Kamu sungguh-sungguh tak mau naik? Kita sudah ada di Pisa dan kau tak mau naik menara ini bersamaku?”
“Itu berbahaya.”
“Semua hal mengandung bahaya. Naik kapal terbang. Naik mobil. Merokok. Bahkan diam di rumah sekalipun. Tetangga sebelah kita tak mematikan gas secara benar lalu seseorang menyalakan korek api dan seluruh gedung apartemen pun meledak.”
“Kamu keras kepala.”
“Aku akan naik. Jika kamu mau, kamu boleh menungguku di sini.”
Angin kencang bertiup. Selendang yang melilit leher si perempuan terbang menyapu wajahnya. Dia menariknya dengan sebelah tangan dan menatap suaminya dengan raut muka jengkel. Si suami mengerti bahwa menolak keinginan istrinya akan menjadi retakan pertama di dinding yang menyatukan mereka, sebuah dinding yang telah mereka bangun tahun demi tahun. Karena ia bersedia melakukan apa pun demi menjaga agar dinding itu tidak retak, akhirnya ia menyetujui kehendak istrinya.
“Baiklah, ayo kita naik,” ujarnya.
Perempuan itu tersenyum. Si lelaki melingkarkan lengan di pinggang istrinya. Mereka melangkah menuju menara dan mulai memanjat tangga, sementara si perempuan bahkan tidak menyadari bukti cinta suaminya ini. (*)
(Koran Tempo, 3 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar