Sabtu, 18 September 2010


Serigala dan Orang Arab
Oleh Franz Kafka

SAAT itu kami sedang berkemah di sekitar oasis. Teman-temanku sudah tertidur sejak tadi. Tiba-tiba seorang Arab dengan perawakan jangkung dan kulit putih melintas, rupa-rupanya dia sedang mengurus unta-untanya dan mencari tempat untuk istirahat.
Aku merebahkan diri di rerumputan dan mencoba untuk memejamkan mata, tapi tidak bisa karena suara lolongan serigala terdengar dari kejauhan. Aku pun terbangun, dan serigala yang lolongannya terdengar sangat jauh tadi, tiba-tiba sudah muncul di hadapanku. Gerombolan serigala itu berputar mengelilingiku. Sorot matanya kuning gelap, gerakannya lincah dan berirama, seolah-olah mereka baru saja menjadi juara.
Seekor serigala datang dari belakangku lalu menyentuh tanganku seperti meminta kehangatan. Kemudian, dia berdiri di hadapanku dan mata kami pun hampir saling beradu.
"Aku adalah serigala tertua di mana pun. Aku sangat gembira karena akhirnya dapat berjumpa denganmu. Aku hampir putus harapan, dari tahun ke tahun engkau kami nantikan. Tidak hanya aku, ibuku, ibunya, dan juga nenek moyang kami, percayalah."
"Menakjubkan sekali," ucapku.
Gundukan kayu bakar yang semula siap dibakar untuk mengusir gerombolan serigala akhirnya terlupakan begitu saja.
"Aku sangat takjub mendengar itu semua. Ini adalah kebetulan yang tidak diduga, dan perjalananku kemari hanyalah perjalanan singkat untuk menjelajahi negerimu. Selain itu apa lagi yang kalian butuhkan dariku?"
Dengan memberanikan diri meminta gerombolan serigala mendekat padaku, mereka semua melongo setelah aku belai dengan sayang.
"Kami tahu," serigala tertua memulai,
"engkau datang dari utara, seperti apa yang kami harapkan. Kecerdasan orang utara tidak akan dijumpai di antara orang-orang Arab, tidak sedikit pun, akan aku ceritakan padamu bagaimana keangkuhan mereka. Mereka membunuh binatang untuk dijadikan bahan makanan, dan menghinakan bangkainya begitu saja."
"Jangan keras-keras," ucapku,
"Ada orang-orang Arab dekat situ."
"Kau pun orang asing di sini," timpal serigala.
"Atau kau belum tahu bahwa tidak pernah ada dalam sejarah, serigala takut kepada orang Arab. Untuk apa kami takut kepada mereka? Bukan sebuah kemalangan bagi kami, bila harus dikucilkan dari makhluk-makhluk seperti itu?"
"Mungkin," ucapku.
"Permasalahan ini ada di luar wilayahku dan aku tidak berhak menilainya, ini sepertinya perseteruan yang sudah sangat purba, aku mengira ini semua akan berakhir dengan darah."
"Kau sangat pandai," ucap serigala tua,
mereka mulai menjulur-julurkan lidahnya dan terengah-engah karena udara terus dipompa keluar dari paru-paru mereka meskipun mereka sedang diam, kadang-kadang bau busuk keluar dari rahang-rahang mereka.
"Kau sangat pandai, dan yang kauucapkan baru saja sesuai dengan tradisi turun-temurun kami. Kami akan menagih darah dari mereka, dan perseteruan ini akan berakhir."
"Aduh," ucapku, mereka sangat berapi-api, dibandingkan dengan apa yang aku harapkan,
"Mereka akan mempertahankan diri mereka, dan akan memberondongkan senapannya hingga kalian semua mati terbunuh."
"Kau salah mengerti kami," ucapnya.
"Inilah kekurangan manusia di mana pun bahkan di daerah utara yang sangat jauh. Kami tidak bermaksud membunuh mereka, dan air Sungai Nil pun tidak mungkin cukup untuk membersihkan kami dari darah-darah mereka. Sebab kesukaan mereka pada daging membuat kami takut dan melarikan diri ke tempat yang lebih aman, gurun pasir, dan itulah rumah kami."
Dan semua serigala berkeliling, juga serigala yang lain yang datang dari jauh, mereka menekuk moncongnya di antara kaki depannya dan diusap-usap dengan cakarnya, mereka seperti sedang menyembunyikan sebuah kebencian yang sangat, aku ingin sekali melompati kepala mereka dan melarikan diri.
"Lalu, apa yang kalian rencanakan?" tanyaku pada mereka, aku mencoba untuk bangkit, tapi tak bisa, dua serigala muda di belakangku menggigit jaket dan bajuku, aku mencoba untuk duduk.
"Ini adalah kereta yang akan membawamu," jelas serigala tua, dengan serius.
"Tanda penghormatan."
"Lepaskan aku!"
Aku menangis, mengiba pada serigala tua, lalu ke serigala muda.
"Mereka pasti melepaskanmu," ucap serigala tua yang lain, "jika itu memang yang kauinginkan, tapi memakan waktu agak lama, karena gigi-gigi mereka masih sangat baik, seperti kebiasaan kami, mereka harus mengendurkan gigitan itu sedikit demi sedikit. Sementara kau menunggu itu, dengarkan petisi kami."
"Tindakan kalian cenderung membuatku sulit untuk menyetujuinya," ucapku.
"Jangan coba-coba melawan kami yang sangat tidak bijak," timpalnya, dan sekarang suaranya tiba-tiba terdengar menjadi sedih.
"Kami makhluk lemah, kami tidak punya apa-apa kecuali gigi, apa pun yang ingin kami lakukan baik buruk atau tidak, kami cuma bisa mengerjakannya dengan gigi."
"Baik, sekarang apa yang kauinginkan?" tanyaku dengan tidak begitu tenang.
"Tuan," dia menangis, dan semua serigala melolong, tampak seperti sebuah nyanyian.
"Tuan, kami ingin kau mengakhiri perseteruan ini yang menyebabkan dunia terpecah. Engkau adalah orang yang tepat, seperti yang sudah diramalkan moyang kami, engkau dilahirkan untuk melakukan itu. Kami tidak ingin disusahkan lagi oleh orang Arab, tempat bernapas dan kaki langit bebas dari mereka, tidak ada lagi domba yang mengembik karena dipotong oleh orang Arab, tiap binatang liar mati dengan sendirinya, tidak ada campur tangan manusia hingga kami memakan bangkai itu dan memungut tulang-tulangnya sampai habis. Tak lebih, hanya kebersihan yang kami inginkan," mereka meratap dan menangis terisak-isak.
"Bagaimana mungkin kau tinggal di dunia seperti ini. O, hati yang mulia dan penuh kebaikan? Mereka yang putih adalah sampah, mereka yang hitam adalah sampah, janggut mereka adalah sebuah kengerian, tatapan tajam mata mereka membuat seseorang ingin meludah, dan ketika mereka mengangkat lengannya terlihat menganga di ketiaknya. Begitulah tuan, tuan yang kami sayangi, dengan segala kekuatan tanganmu celah kerongkongan mereka akan selesai dengan gunting ini!"
Dan jawabannya, sebuah sentakan kepala seekor serigala yang datang dengan mengeluarkan gunting jahit yang dilapisi masa lalu yang telah berkarat, membayang dari gigi taring sebelah atas.
"Baik, akhirilah gunting itu di sini, dan sekarang waktunya untuk menyudahi itu semua!," teriak pemimpin kafilah yang datang dengan perlahan melawan arah angin, dan memperlihatkan cambuknya.
Serigala-serigala itu dengan tergesa-gesa melarikan diri, tapi pada jarak yang tidak jauh mereka berkumpul dan mengatur siasat, semua makhluk bengis itu berkumpul dengan rapat dan merencanakan sesuatu yang jahat, dan mereka terlihat seperti diikat dalam sebuah ikatan dari seutas keinginan yang berkelebat.
"Rupanya kau juga telah ikut dalam pertunjukan ini, tuan," ujar orang Arab, tertawa dengan gembira dan bebasnya.
"Tahukah kamu apa yang akan dilakukan oleh serigala-serigala bengis itu kemudian?" tanyaku.
"Tentu," jawabnya
"Ini pengetahuan yang sangat umum, betapa lama sudah keberadaan orang Arab, gunting itu telah berhasil melewati pengembaraannya di padang pasir, dan akan mengembara bersama kami sampai ke ujung hari. Setiap orang Eropa ditawarinnya pekerjaan besar, setiap orang Eropa adalah orang yang bertakdir untuk dipilih oleh mereka. Mereka memiliki harapan yang gila, binatang-binatang liar ini bodoh, bahkan sangat bodoh. Sebab itulah kami menyukai mereka, mereka adalah anjing-anjing kami, anjing yang menyenangkan. Sekarang lihat ini, seekor unta yang mati tadi malam dan aku telah menyuruhnya dibawa kemari."
Empat orang datang dengan bangkai yang berat dan dijatuhkan di depan kami. Bangkai itu telah jatuh ke tanah dengan kerasnya sebelum serigala-serigala sempat mengeluarkan suara. Seperti tidak tertahankan mereka menghela tali-tali, dan mulai bergerak dengan ragu-ragu, merayap di atas perutnya. Mereka telah melupakan orang-orang Arab itu, melupakan kebencian mereka, terciumnya daging bangkai yang berbau busuk sangat menggiurkan mereka. Seekor serigala telah di tenggorokan unta, menghunjamkan gigi-giginya ke dalam urat nadi. Dengan semangat yang berapi-api, berusaha keras sampai batas keputusasaan, semua otot yang ada di tubuhnya kejang saat melakukan tugas berat itu. Dalam sekejap mereka semua sudah di atas bangkai itu, bekerja sama, berkumpul seperti gunung tinggi.
Dan sekarang pemimpin kafilah mencambukkan pecutnya secara bergantian ke arah punggung mereka. Mereka semua mengangkat kepalanya dalam keadaan setengah tak sadar karena sedang asyiknya, melihat orang-orang Arab berdiri di belakang mereka, merasakan pukulan cambuk di moncongnya, dan mencoba melarikan diri dari orang-orang Arab itu. Tapi darah unta itu telah menggenang, tercium sampai ke surga, bangkai itu telah tercabik-cabik di sekujur tubuhnya. Mereka tidak mungkin menolak ini, mereka pasti kembali lagi, sekali lagi pemimpin kafilah mencambukkan pecutnya dan aku mencoba untuk menahannya.
"Engkau benar tuan," ucapnya, "kita akan meninggalkan mereka untuk usaha mereka, lagi pula sekarang waktunya berkemas. Baik, kau telah menyaksikan bagaimana mereka. Makhluk yang mengagumkan bukan? Dan betapa mereka membenci kita!"
****
Diterjemahkan Taufiqurrahman dari sumber William Peden (ed). 1971. Short Fiction-Shape and Substance, Houghton Mifflin Company, Boston
Sumber: Media Indonesia Online, Minggu, 28 Agustus 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar