Jumat, 17 September 2010

Pak Saman
Oleh Enang Rokajat Asura

"Pak Saman, mana dongengnya? Pak Saman, mana dongengnya?" Anak-anak di gang itu selalu saja membuat Pak Saman tersenyum bangga. Setiap ia pulang dan pergi bekerja, anak-anak itu selalu menagih janji. Tak perlu diberi dongeng panjang-panjang. Cukup cerita tentang si kancil. Dongeng pendek yang telah diceritakan berulang-ulang itu pun akan tetap disukai. Apalagi, ketika Pak Saman mengekspresikan suara kancil dengan jenaka. Anak-anak pasti tertawa riang.
Pada saat-saat seperti itu, Pak Saman selalu mengibaratkan dirinya sebagai seorang pahlawan. Ya, pahlawan tukang dongeng bagi anak-anak gang itu. Selesai mendongeng, lelah pun akan lenyap karena mendapat kebahagiaan pada wajah anak-anak polos itu.
"Sudah, sekarang kalian mandi. Terus ngaji, ya?"
"Ya. Terima kasih, Pak!"
Senyum Pak Saman mengembang. Adegan rutin tiap pulang kerja itu membuatnya semakin ceria. Pernah suatu hari, ia dilarang istrinya, Mak Salmah, bercerita pada anak-anak, terutama saat ia mendapat tugas membawa kereta api ke kota-kota yang jauh.
"Lebih baik istirahat dulu. Kamu, kan, belum tidur," saran Mak Salmah ketika itu.
"Enggak apa-apa! Di depan anak-anak gang itu, aku merasa selalu jadi manusia, Mak!
Bukan hanya sekrup kecil dari besarnya lokomotif yang selalu kunaiki."
Mak Salmah tercenung dan tak bisa mendebatnya. Dia selalu merasa kalah pintar dari suaminya itu. Setiap ada pertengkaran dari elit politik, misalnya, Pak Saman memang selalu setia mengumbar analisa-analisanya, sekalipun hanya pada teman seperjalanan, pada asistennya di kabin lokomotif menyengat itu, dan pada Mak Salmah tentu saja. Kekaguman pada suaminya, membuat Mak Salmah bertahan dalam hidup sederhana dan melahirkan anak-anak.
* * *
Pak Saman tiba-tiba terjaga dari lelap tidurnya. Terdengar anak-anak gang itu memanggil-manggil. Ketika melihat beker di atas bufet di kamarnya yang sumpek, dia tidak percaya. Pasti mimpi, gumamnya. "Mana mungkin anak-anak gang itu minta didongengi jam setengah tiga subuh. Ini mimpi," lamunnya.
Mak Salmah masih tetap terlelap, bahkan sesekali terdengar dengkurnya. Pak Saman mencoba kembali memicingkan matanya tapi sulit untuk bisa kembali tidur. Hari itu memang sedang libur. Baru besok malam dia kembali membawa kereta ekspres malam Bandung - Solo Balapan. Tentu saja bukan karena itu semua yang membuatnya tidak bisa memicingkan mata. Suara anak-anak itu seperti sengaja membangunkan. Apa ini sebuah firasat? Lama Pak Saman membiarkan lamunannya melanglang.
Lelah dengan lamunan itu, kakinya melangkah keluar kamar, membuka tulak dapur, merapatkan jaket, menahan dingin menggamit kulit. Di sumur di belakang rumah, dia mengambil air wudu. Ia salat malam, ditambah wirid, disambung salat subuh, barulah dia merasa diserang kantuk.
"Pak Saman, mana dongengnya? Pak Saman, mana dongengnya?" anak-anak di gang Kancil memanggil-manggil pada pagi buta. Pak Saman masih terlelap. Terpaksa istrinya keluar dan memberi tahu pada anak-anak itu bahwa suaminya masih tidur. Kekecewaan menggayut pada wajah polos anak-anak itu.
"Emak aja yang mendongeng, ya?" hibur Mak Salmah. Anak-anak menggeleng.
Ketika Mak Salmah menceritakan kejadian itu pada suaminya, Pak Saman marah. "Kenapa tidak membangunkan aku, Mak?" protesnya.
"Akang masih lelap tidur. Emak pikir, Akang sengaja mau istirahat di hari libur ini," sanggah istrinya. Pak Saman masih juga terlihat kecewa. Dia berdiri di ambang pintu, menatap jalan. Di sana, ia melihat anak-anak bergerombol. "Anak-anak!" panggilnya. Anehnya, tak seorang pun menoleh. Mereka telanjur kesal tampaknya. Pak Saman menunduk sedih. Ketika istrinya membawakan singkong rebus, ia tak bersemangat menyentuhnya.
"Maafin Emak ya, Kang, sudah membuat Akang kecewa."
"Eggak apa-apa. Cuma aku menyesal karena hari ini tidak berbuat baik buat orang lain. Kata ustad, menyenangkan orang lain adalah sedekah."
"Pergilah ke musala, barangkali ada yang bisa Akang kerjakan di sana."
"Ya, kau benar." Wajah murung itu berubah ceria. Ia melangkah tegap.
* * *
Hujan lebat. Kali Cikapundung banjir. Pak Saman dan istrinya diliputi kecemasan. Rumahnya memang tak jauh dari kali itu. Tahun kemarin ketika kali banjir, rumahnya terendam sampai lutut. Mudah-mudahan, setelah magrib nanti hujan reda sehingga ia bisa berangkat membawa penumpang ke Solo Balapan. Lima belas menit lebih dari waktu magrib, hujan masih lebat. Pak Saman pergi juga. Tubuhnya dibalut mantel tua pemberian seorang pengusaha, dilapisi jas hujan. Tak lupa ia membawa senter. Tepat jam 20.00 kereta akan berangkat. Masihcukup banyak waktu, pikir Pak Saman waktu itu.
"Aku berangkat, Mak. Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam. Hati-hati, Kang," terdengar lirih suara MakSalmah. Entah kenapa, Mak Salmah seperti berat melepaskan suaminya. Tidak seperti biasanya. Padahal, bukan sekali dua kali suaminya pergi saat hujan lebat seperti itu. Pak Saman berjalan menerobos hujan yang tak henti. Langit seperti bocor malam itu, terus menerus tak terbendung mengucurkan air hujan. Pada saat menyeberang, jembatan bambu berayun-ayun, seperti mau rubuh tertimpa air bah.
Entah pada langkah ke berapa Pak Saman terpeleset dan hampir tercebur. Beruntung dia masih kuat memegang salah satu bambu, kendati senter dan ransel berisi bekal terlempar jauh terbawa banjir. Pak Saman terus berjuang. Akhirnya ia bisa naik dan meneruskan perjuangan. Pakaiannya basah kuyup. Beberapa bagian tubuhnya terasa perih. Mungkin lecet.
Di ujung gang tak ada satu pun mobil. Lama menunggu tak juga datang. Ia pun berjalan kaki menuju stasiun. Taksempat menghitung berapa menit yang telah dihabiskan. Yang jelas ketika sampai stasiun, jam menunjukkan 19.55, lima menit sebelum kereta menuju Solo berangkat. Pada saat melapor, Pak Saman sudah digantikan masinis lain. Ia hanya bisa menatap nanar ketika rangkaian gerbong itu berangkat.
Keesokan harinya, Pak Saman dipanggil atasannya.
"Bagaimana kita bisa menjamin keselamatan penumpang kalau datang saja terlambat. Padahal, lancar dan tidaknya lokomotif ada pada Anda. Mesin itu harus diperiksa. Tugas terakhir itu ada pada Anda, Pak Saman. Kendatipun paramekanik telah melakukan kontrol dan pemeriksaan, tetap tanggung jawab akhir ada pada Anda."
"Maaf, Pak. Banjir telah menghalangi saya."
"Sudahlah, tak perlu menyalahkan banjir!"
Pak Saman tak bicara. Dia paham betul atas pelanggaran yang telah dilakukannya. Ketika dia diskors, ia juga tak banyak bicara. Ia ingat betul, ketika sebuah kecelakaan terjadi, masinis memang yang harus bertanggung jawab. Apa yang telah dikatakan atasannya itu sama sekali tak salah. Dia pulang membawa beban di pundak. Surat itu disimpan di saku celananya. Tak ingin ia memberi tahu siapa pun, juga kepada istrinya. Tak ada anak-anak yang menyambut. Semua anak di gang itu tahu, Pak Saman semestinya baru pulang lusa malam.
* * *
Berita sangat menggemparkan. Ekspres malam Bandung - Solo tabrakan dengan kereta dari Surabaya, satu kilo arahBarat dari Stasiun Banjar. Pak Saman terduduk lemas. Mak Salmah menangis dan tak bisa bicara. Ia hafal betul, kereta itu yang seharusnya dibawa suaminya.
Pak Saman mengetahui berita itu dari tetangga yang tadinya hanya ingin memastikan apakah Mak Salmah tahu beritakecelakaan itu. Kemudian para tetangga datang susul menyusul. Mereka tahu dari anak-anaknya, Pak Saman pergi membawa kereta itu. Ketika mengetahui Pak Saman ada di rumah, semua mengucap syukur. Anak-anak menangis karena kegirangan.
Human error, begitu kesimpulan atasannya. Namun seluruh media massa tetap menggugat. Pak Saman terguncang.Keselamatan dirinya, firasat yang datang, banjir yang menghadang, justru semakin membuatnya menggigil ketakutan. Seorang wartawan datang tapi Pak Saman tak bisa bicara. Apakah arti semua ini? Selalu itu yang jadi tanda tanya.
Setiap berita dan semua tudingan ditujukan pada kesalahan masinis yang katanya ngantuk. Pak Saman semakin ngerikarena dia merupakan bagian dari mata rantai itu. Sesekali Pak Saman mengeluh. Apakah mereka juga tahu, betapa beratnya tugas itu. Saat seluruh penumpang tidur, bahkan mungkin saat seluruh atasannya terlelap, Pak Saman dan kawan-kawannya tetap terjaga, mengendalikan lokomotif, menempuh jarak yang sangat jauh.
Kecelakaan mengerikan itu terus menjadi konsumsi media. Telinga Pak Saman rela tak rela semakin panas. Betapa tidak. Semua pihak menyalahkan masinis. Hanya ada seorang wanita dari lembaga konsumen yang terasa ada dipihaknya. Mengungkap tentang kesejahteraan dia dan kawan-kawannya tidak sebanding dengan beban berat yangharus dipikulnya. Konflik itu hingar-bingar mengisi jagat informasi.
Seorang tetangga yang kebetulan keluarga jauhnya jadi korban kecelakaan itu menemui Pak Saman. Dia bertanya, apakah benar masinis sering ngantuk? Apa benar istirahatnya kurang? Pak Saman tak bisa menjawab. Juga ketika tetangga itu bicara tentang keluarganya yang jadi korban, Pak Saman hanya bisa menitikkan air mata. Hati Pak Saman bertanya, ketika seluruh penumpang selamat sampai tujuan, adakah yang ingat jasa masinis?
"Harusnya Pak Saman, kan, yang membawa lokomotif itu? Kenapa tiba-tiba diganti orang lain? Ini yang membuat saya tak habis mengerti," gugat si tetangga. Barangkali dalam hatinya ia berharap seharusnya Pak Saman juga menjadi bagian dari kecelakaan itu.
Dua hari setelah kecelakaan, Pak Saman jatuh sakit. Satu bulan, dua bulan, bahkan hampir seratus hari, ia masih terbaring. Dari perusahaan, hanya dua orang yang datang, rekan-rekan masinis, yang membawa uang hasilsumbangan dari teman-temannya. Beruntung masih ada tetangga yang peduli. Ternyata, orang-orang pandai dikantornya masih kalah gesit dibanding anak-anak yang selalu mendengar dongeng Pak Saman. Anak-anak itu hampir setiap pagi dan petang datang menjenguk, berdoa bersama-sama untuk kesembuhan Pak Saman.
"Pak Saman mana dongengnya? Pak Saman mana dongengnya?" Anak-anak di gang itu telah mendorongnya untuk berdiri. Pak Saman berangsur-angsur sembuh. Ketika kesehatannya hampir pulih, dia ke kantor, mengajukan pensiun lebih awal. Di luar dugaannya, dua hari berselang telah turun SK. Benar-benar dramatis. Tidak seperti sebelumkejadian kecelakaan menghebohkan itu, sulit untuk mengajukan pensiun muda.
* * *
Pak Saman mulai mendongeng lagi tentang sang kancil yang cerdik, tentang kera yang serakah. Tak ada lagi lelah,tak ada lagi kantuk. Mata tuanya kembali berbinar ketika anak-anak itu tergelak. Pada saat seperti itulah dia menjadi seorang manusia yang dianggap ada dan dihargai. Tidak seperti masinis yang duduk di depan membawa sekian ratus penumpang tapi tidak pernah ada yang memperhatikannya sebagai manusia.
"Kwik...kwik... kwik!"
"Kok,bunyi kera seperti lokomotif, Pak Saman?"
Pak Saman tersenyum kemudian dia berdiri dan sedikit membungkuk membentuk lokomotif. Anak-anak spontanmengikuti dari belakang. Kwik...gujes, kwik... gujes! Ternyata menjadi lokomotif dalam keseharian terasalebih menyenangkan. Pak Saman kembali tersenyum di tengah derai tawa anak-anak Gang Kancil itu.
"Mau ke mana kereta kita, Pak Saman?"
"Ke langit!"
"Ya... kwik... gujes! Kwik... gujes!"
(Sumber: Tabloid Nova, 21 Januari 2001)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar