Jumat, 17 September 2010

Mawar Bercahaya
Oleh Joko Nugroho

Sebuah mawar, ya, sebuah mawar yang mekar di samping rumah tua kosong yang terletak di sudut desa. Elok kelopak mawar itu mekrok seperti kue mangkok. Tumbuh di antara ilalang liar dan empat buah pohon randu dan trembesi. Ilalang itu seperti pagar yang menjaga sang mawar agar tidak terlihat oleh penduduk desa yang sering lalu lalang di jalan depan rumah tua kosong tersebut. Mawar itu hanya setangkai. Dia tumbuh seorang sendiri tanpa kembang lain. Indah kesepian. Tak punya tempat untuk berbagi cerita; tentang cuaca, tentang musim, tentang hari, dan tentang hati.
Ratno tanpa sengaja menemukan mawar itu. Ketika sore itu pulangnya dari Kantor Kelurahan dengan motor butut yang melewati ke timur desa dimana hamparan padi menguning dan menunggu siap dipanen begitu menyejukan hati. Kemudian Ratno berbincang-bincang dengan beberapa petani yang duduk-duduk di tanggul sambil menikmati lautan kuning tersebut. Berbincang-bincang mengenai pupuk yang langka dan harganya mencekik. Tentang harga gabah dan beras yang murah dan tak stabil. Tentang hama yang kadang menyerbu tanpa perhitungan. Tentang air irigasi yang pembagiannya tak rata, dan banyak bahan perbincangan di antara mereka, masalah keseharian petani. Ratno hanya mencatat dan mencatat, lalu esok harinya catatat itu lenyap oleh rutinitasnya sebagai Lurah.
Setelah merasa lama berbicang-bincang dengan para petani, Ratno kemudian mengarahkan stang motornya menyusuri pinggiran sungai batas desanya dengan desa seberang. Beberapa truk tampak sedang mengangkut pasir di tanggul seberang. Seperti telah diberi dan mendapat bagian sendiri-sendiri, pemuda dan lelaki beristri desa seberang mengangkat pasir dari sungai dan menumpuknya di tanggul. Kadang di antara mereka mencari pasir sampai di wilayah desa Ratno. Pernah pengambilan pasir oleh masyarakat seberang itu menuai protes dari masyarakatnya karena kekayaan alam yang bisa dijadikan lahan pekerjaan bagi masyarakat, terutama pemuda yang enggan menjamah sawah, dibiarkan saja diambil orang lain. Tapi protes itu hanya dianggap angin lalu karena mayoritas penduduk desanya lebih menikmati hidup sebagai petani dan tak ada yang peduli, termasuk Ratno sebagai Lurah.
Setelah merasa letih dan istri tercintanya, Larminah, pasti sudah menunggu, Ratno menghidupkan sepeda motornya dan mengarahkannya ke rumah melewati jalan depan rumah tua kosong tersebut.
Cahaya merah itu terlihat jelas oleh Ratno. Memancar terang di petang yang mulai kelam. Ratno menghentikan sepeda motornya. Mengamati dengan seksama cahaya merah itu. Belum jelas oleh Ratno cahaya apa yang memancar di samping rumah tua kosong tersebut. Ratno memarkirkan motornya di pinggir jalan dan hatinya tergerak untuk mengetahui cahaya itu. Setelah celingukan seperti maling yang takut ketahuan, Ratno masuk ke samping rumah tua kosong tersebut. Kakinya melangkah pelan dan waspada. Bunyi ilalang dan ranting kering yang terinjak berbaur dengan suara jangkrik. Aneh, ketika Ratno mulai dekat dan semakin dekat, cahaya merah itu meredup seiring dengan langkahnya. Disibaknya ilalang liar di sekitar tempat munculnya cahaya merah itu tapi ia tidak menemukan cahaya merah tersebut. Tiba-tiba terdengar suara burung hantu dari salah satu pohon yang tumbuh di halaman rumah tua kosong itu. Kuduk Ratno merinding.
Ratno tidak menceritakan apa yang dilihatnya kepada siapa pun. Tidak kepada istrinya, bawahannya, atau pun penduduk yang berpapasan dengannya. Ia simpan rahasia itu sendiri. Dan tiga malam sudah Ratno menyelidiki apa yang sebenarnya ia lihat. Apakah itu yang mbau rekso rumah tua kosong itu? Apa ajimat, yang mungkin bisa ia andalkan untuk melanggengkan jabatannya.
“Merah Delima? Ya, mungkin Merah Delima, karena cahaya itu merah,” guman Ratno saat duduk dipendopo rumahnya. Menurut cerita yang pernah didengarnya kalau ada salah seorang penduduk desa mempunyai Merah Delima, maka desa tersebut akan makmur dan terhindar dari bala. “Tapi Merah Delima milik siapa? Apa penduduk desaku ada yang memilikinya? Kenapa cahaya merah itu memancar di samping rumah kosong itu?” Bermacam tanya tumpuk-undung di benak Ratno. Seperti tiga malam sebelumnya, malam itu Ratno pamit kepada sang istri ikut ronda dengan masyarakatnya. Ketika kakinya sampai di Simpang Tiga tengah desa, bukan jalan ke arah gardu ronda yang diambil tapi jalan lain, jalan ke rumah tua kosong. Disembunyikannya tubuh di balik pohon trembesi.
Sarung yang dibawanya dari rumah digunakannya untuk menghalau nyamuk-nyamuk nakal yang haus darah. Mata menatap tajam ke asal cahaya merah itu. Hingga jam dua dini hari cahaya itu belum juga muncul, masih seperti kemarin. Mata Ratno mulai perih dan memerah. Kesal. Tapi harapan itu selalu ada, pikirnya. Ratno mencoba tetap bertahan. Dipaksanya kepalanya yang terantuk-antuk tak kuat menahan kantuk untuk tetap tegak. Matanya yang berat dipaksanya untuk tetap melek. Tapi, bagaimanapun manusia punya batas kekuatan, Ratno terlelap tanpa disadarinya.
Ratno terbangun ketika mendengar suara azan Subuh dari masjid yang tak jauh dari rumah tua kosong itu. Bergegas pulang setelah mengucek mata, meregangkan otot, dan melap iler yang meleleh di sudut bibir.
“Sebenarnya bapak dari mana?” tanya Larminah ketika mereka sarapan dengan cemberut.
“Kan sudah bapak bilang kalau bapak ikut ronda dengan masyarakat,” jawab Ratno seperti pamitnya tadi malam.
Wajah Larminah semakin masam.
“Ngatman dan Arjo tadi malam ke sini mencari bapak, bukankah mereka yang mendapat giliran ronda tadi malam?” selidik Larminah.
Ratno teringat sebuah sinetron tentang perselingkuhan seorang usahawan dengan seorang artis. Usahawan itu memberi alasan tetap saat sang istri bertanya ke mana dirinya tadi malam saat mereka sarapan.
“Tadi malam aku mampir dulu ke warung kopi Kang Burhan,” jawab Ratno kemudian.
“Mereka sudah mencari bapak ke situ, tapi ndak ada,” hati Larminah dikecam perih.
“Masakan ibu pagi ini enak ya?” Ratno mencoba mengalihkan percakapan seperti yang dilakukan pejabat dalam sinetron itu.
“Sudahlah pak, jujur saja. Ke mana sebenarnya bapak empat malam ini?!” suara Larminah meninggi. Ia tak kuat lagi menahan cemburu dan sakit hati.
“Maksud ibu?” raut wajah Ratno seperti seorang koruptor yang berlagak tidak mengerti pertanyaan yang disodorkan wartawan di mana uang hasil korupsinya dicuci.
“Bapak sebenarnya ndak ikut ronda empat malam ini, kan?!” dada Larminah ngingkit-ingkit, ingin rasanya sayur lodeh yang berada di depannya disiramkan ke wajah Ratno.
“Siapa yang bilang?” jawab Ratno seperti artis yang sangat piawai berulah peran.
“Kenapa bapak harus berbuat seperti itu?! Apa ibu sudah ndak cantik lagi?! Apa ibu ndak montok lagi?! Apa…” airmata Larminah tak kuat dibendung.
“Maksud ibu apa?”
“Bapak sudah berbohong pada ibu!” Kata Larminah dengan suara tinggi, “Pamitnya ikut ronda tapi ternyata mampir ke rumah Maryem janda kembang samping rumah tua kosong!”
Dengan hati panas dan sakit, Larminah meninggalkan suaminya yang terbengong. Terdengar suara pintu kamar dibanting. Ratno beranjak dari duduknya, melangkah ke kamar. Ratno meminta agar pintu kamar dibuka, tapi hanya tangis Larminah yang terdengar. Ratno mengangkat bahu, tahu benar seperti apa istrinya merajuk. Paling sejam dua jam juga reda dan malamnya pasti mengeong mesra di kupingnya. Ratno pun berangkat ke kantor.
Siangnya Ratno melalaikan tugasnya sebagai Lurah dan melupakan kemarahan Larminah tadi pagi. Pikirannya tertuju pada cahaya merah itu. Ia dibikin galau, tak bisa tenang, dan konsentrasinya kacau. Ada hasutan dari dalam diri untuk menyelidiki kembali apa sebenarnya cahaya merah itu.
Setelah berpesan kepada bawahannya kalau dirinya keluar karena ada keperluan dan meminta membatalkan agendanya siang ini, Ratno bergegas menuju samping rumah tua kosong itu. Sesampainya di sana Ratno langsung ke asal cahaya merah itu. Ratno kaget ketika melihat sekuntum mawar tumbuh indah di antara ilalang yang menyemak, karena sedari kemarin mawar itu belum ada, dalam lindungan cahaya merah. Kelopak mawar itu mekar seperti ranumnya dara yang beranjak dewasa. Tangkainya mulus bak kaki balerina dan tanpa ada satu onak pun. Lekuk tangkainya mengingatkan pada lekuk tubuh istrinya ketika muda dulu, seperti gitar Spanyol. Daunnya tanpa garis daun, halus sehalus sutra. Memang di luar kodrat, tapi begitulah adanya. 
Mawar itu mempunyai daya pikat luar biasa. Ratno terpesona, takjub. Mata Ratno tak bisa dialihkan dari keelokan mawar itu. Hatinya tak henti-henti memuji. Diamatinya dengan teliti setiap lekuk mawar itu. Terkenang olehnya saat pertama kali menjamah bentuk tubuh Larminah. Ada hasrat untuk melakukannya.
Seekor Alap-alap terbang dari sarangnya di randu tua yang berjarak beberapa depak dari tempat Ratno. Alap-alap itu berputar beberapa kali di atas rumah tua kosong itu. Kemudian hinggap di salah satu sudut atap rumah tua kosong itu yang berbentuk limasan. Alap-alap itu mengawasi Ratno dengan matanya yang tajam. Ingin tahu apa yang dilakukan Ratno terhadap mawar itu. Alap-alap itu meraung ketika Ratno hendak mencabut mawar itu. Raungnya mirip lengkingan maut. Ratno kaget. Matanya liar mencari lengkingan Alap-alap itu. Mata Ratno beradu tatap dengan mata tajam Alap-alap.
Pelan tapi pasti berkembang kegundahan di dada Ratno, seakan ada berpuluh mata tajam mengawasinya. Darah mengalir kencang. Degug jantung tak beraturan. Bulu remang tiba-tiba berdiri. Kemudian terdengar dua ekor kucing saling bercengkrama, musim kucing kawin, yang berasal dari balik pohon trembesi yang berada di sisi kanan Ratno. Ratno berdiri perlahan dari jongkoknya. Mengamati sekitarnya. Dilihatnya jam tangan menujukkan pukul setengah tiga. Ratno kembali ke kantornya dengan segala gundah gulana.
***
Ratno dirundung keresahan. Ia mulai suka melamun, suka mengigau memanggil-manggil mawar itu. Berbicara sendiri dan mulai tak doyan makan seperti lelaki yang gandrung pada perempuan. Pikirannya tak mau lepas dari mawar bercahaya itu. Membayang jelas di benaknya lekuk-bekuk mawar itu. Dari tangkainya, kelopaknya, daunnya, serta mekrok kelopaknya yang indah. Tiada hari tanpa menyebut-nyebut mawar itu. Setiap bermesraan dengan Larminah, ia merasa yang berada di dekapannya bukanlah istrinya tapi mawar itu. Ratno benar-benar jatuh cinta pada mawar yang hidup kesepian di samping rumah tua kosong itu.
Larminah semakin khawatir dengan polah-tingkah suaminya. Ia sangat mencintai Ratno, hidup dan matinya.
“Apa yang dapat aku lakukan kalau suamiku benar-benar mempunyai gendakan. Apakah aku harus mau dimadu seperti selir-selir raja tempo dulu? Atau minta cerai? Ah, apa yang bisa aku lakukan kalau bercerai dengan suamiku? Aku seorang perempuan Jawa yang diikat oleh adat yang mengharuskan mengabdikan diri, tunduk, dan manut pada sang suami hingga tidak diberi ruang gerak untuk menjadi diri sendiri. Apalagi suamiku adalah Lurah, wajib bagiku menjaga nama baik dan kehormatan suami walau hati tercabik-cabik,” Larminah mulai risau.
Oh, yang Maha Tunggal, jangan Engkau jadikan ketakutan hambaMu ini menjadi kenyataan, pinta Larminah dalam hati.
“Tapi apa aku tidak boleh berontak?” tanya itu muncul tiba-tiba.
Akhirnya tak ada percakapan dan tegur sapa diantara mereka. Menjadi asing satu sama lainnya. Seolah tak saling kenal. Juga di ranjang tidur, mereka seperti dua buah guling yang ditata berdampingan. Ratno mulai enggan diladeni, Larminah ogah untuk meladeni. Tapi mereka tidak seperti anjing dan kucing. Mereka hanya diam, itu saja.
Setelah malam kedelapan mereka tidak seranjang, merah darah menghiasi di kedua tubuh suami-istri tersebut.*
(Sumber: Padang Ekspres, 25 Mei 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar