Jumat, 17 September 2010

Pelajaran Jadi-jadian
Oleh Arie F Batubara

IBU Guru Matus memasuki ruangan seperti angin. Muncul tiba-tiba dan tak bersuara. Tahu-tahu ia sudah berdiri di depan kami. Dan, ruang kelas yang tadinya hiruk-pikuk itu mendadak saja senyap. Tak seorang pun yang berani bersuara."Kenapa diam anak-anak?" suara Ibu Guru Matus memecah kesenyapan.Jangankan menjawab, untuk memandang wajahnya saja tak seorang pun di antara kami yang punya nyali. Bagi kami, Ibu Guru Matus adalah momok yang menakutkan. Kegemarannya menjatuhkan hukuman, meski itu untuk sebuah kesalahan kecil dan tidak disengaja, telah mengajarkan satu pemahaman kepada kami: Kalau tak ingin mendapat celaka, jangan sekali-kali mencari urusan dengannya."Tadi begitu ramainya. Sekarang mendadak bisu. Ayo, jangan menunduk saja. Angkat kepala! Semuanya!" Ibu Guru Matus memberi perintah.Sambil menyiapkan buku mata pelajaran ilmu hayat --menurut jadwal, itulah yang akan diajarkannya pagi ini-- pelan-pelan kami mengangkat wajah. Dan, astaga, Ibu Guru Matus yang biasanya berwajah masam dan tidak bersahabat itu, kini tampak sangat cantik. Ia berdandan begitu elok. Seulas senyum menghiasi bibirnya yang diberi pemerah. Senyum itu manis sekali. Kami semua terpana."Tidak, anak-anak. Hari ini kita tidak belajar apa-apa. Simpan saja buku pelajaran kalian itu!" kata Ibu Guru Matus pula.Kami semakin terpesona. Suaranya terdengar begitu ramah. Ia pun tak nyinyir seperti biasanya, bertanya ini-itu tentang pekerjaan rumah saat kami mengeluarkan buku pelajaran. Sebaliknya, ia malah menyuruh kami menyimpan buku pelajaran. Padahal, selama ini, karena ketakutan kami terhadapnya, buku pelajaran telah menjadi semacam kitab suci bagi kami."Hari ini kita bergembira, karena hari ini adalah hari yang gembira. Tidak ada pelajaran, tidak ada pekerjaan rumah, tidak ada pertanyaan-pertanyaan!" suara Ibu Guru Matus semakin ramah saja.Seperti embun tersapu angin, ketakutan yang selama ini menyelimuti diri dan pikiran kami mendadak sirna. Serta-merta kami bertepuk tangan. Ibu Guru Matus makin mengembangkan senyumnya. Tiba-tiba saja kami menyadari, ternyata parasnya tidaklah sungguh-sungguh menyeramkan. Sebaliknya, ia tergolong cukup cantik. Memang, bentuk wajahnya agak bulat. Namun, bibirnya yang mungil serta hidungnya yang tidak terlalu besar itu, tampak serasi dengan bola matanya yang bundar jernih."Hari ini kita akan bermain. Sesuai mata pelajaran kita, yaitu ilmu hayat, maka kita akan bermain binatang-binatangan. Ada yang menjadi kucing, kambing, harimau, singa, ular, kuda, dan sebagainya...."Sekali lagi kami bertepuk tangan. Ketakutan yang tadinya terasa begitu berat menggantung, kini telah cair menjadi kegembiraan yang amat sangat. Dan, Ibu Guru Matus tiba-tiba saja telah menjelma menjadi dewi penebar sukacita."Sekarang satu per satu maju ke depan dan katakan mau menjadi apa. Setelah itu akan kita mulai permainannya...."Lagi-lagi sebuah perubahan. Biasanya, semuanya ia putuskan sendiri. Kami, anak-anak muridnya, sama sekali tak boleh berkata apa-apa kecuali mematuhi dan menjalankan segala keputusannya. Tapi sekarang, kami diberi kebebasan sepenuhnya mau menjadi apa. Dodi, anak yang terkenal paling pemberani di kelas kami, kemudian tampil pertama kali. Dengan langkah gagah dan mantap, ia menuju ke depan kelas. Ibu Guru Matus tersenyum."Bagus, Dodi! Kamu benar-benar anak paling hebat. Kelak kamu pasti jadi pemimpin. Nah, sekarang kamu mau menjadi apa?"Dengan mantap Dodi menjawab: "Harimau, Bu Guru!""Harimau? Mm..., bagus! Jadilah kamu harimau!"Ajaib! Serta-merta Dodi berubah menjadi harimau. Aku terkesima. Tapi, teman-temanku yang lain bertepuk kegirangan. Ibu Guru Matus ikut bertepuk tangan."Aku mau jadi kelinci saja," Astuti menyusul tampil ke depan kelas."Jadilah kamu kelinci!" seru Ibu Guru Matus.Astuti pun berubah menjadi kelinci. Teman-temanku semakin kegirangan. Mereka tampak begitu antusias. Lalu, satu per satu mereka tampil ke depan kelas, dan berubah menjadi hewan. Herman menjadi badak, Syaiful menjadi kerbau, Nofrizal menjadi ular belang, Hamdani menjadi buaya, Sugeng menjadi kadal, Aida menjadi tikus, Ira menjadi burung beo, Iskandar menjadi anjing, Riza menjadi monyet, dan seterusnya.Aku menyaksikan semua itu dengan perasaan yang campur aduk. Antara terkejut, heran, bingung, serta takut. Kini hanya aku bersama Ibu Guru Matus yang masih berwujud manusia di ruang kelas itu. Tapi, seperti teman-temanku yang lain, aku pun harus segera mengambil keputusan!"Ayo, Sahlan! Sekarang giliranmu. Kamu mau menjadi apa?"Aku mulai menggigil. Keringat dingin sudah membasahi sekujur tubuh."Kenapa diam saja? Lihat teman-temanmu, mereka begitu gembira. Apakah kamu tidak mau ikut bergembira dengan mereka? Tidak ingin ikut bermain?"Suara Ibu Guru Matus yang diucapkan dengan begitu manis, kurasakan tak ubahnya bujukan seorang nenek sihir. Ia sendiri telah menjelma menjadi seorang nenek sihir yang menakutkan, yang setiap saat bisa mengubahku menjadi hewan apa saja. O...tidak! Aku tak mau menjadi hewan, betapa pun kawan-kawanku tampak begitu senang dan bahagia."Ayo, Sahlan! Berdirilah! Kemari! Bergabung dengan teman-temanmu!"Seperti dipukau, pelan-pelan aku bangkit. Ibu Guru Matus tampak tersenyum, sementara teman-temanku yang kini hanya bisa mendesis, meringkik, mengaum, melenguh, berkicau, mengembik, dan seterusnya itu, seperti memanggil-manggil."Ayo kemari!" Ibu Guru Matus mengangkat kedua tangannya, memintaku mendekat. Kupandangi nenek sihir itu lekat-lekat, sementara kakiku pelan-pelan melangkah. Ibu Guru Matus juga ikut melangkah. Menghampiriku. Jarak kami semakin dekat. Aku mulai merasa, pada akhirnya tak ada pilihan lain buatku. Aku harus menyerah.Namun, mendadak saja, sesuatu terasa bergolak dalam diriku. Langkahku terhenti. Kupandangi Ibu Guru Matus dengan sorot mata tajam. Perempuan itu tampak terkesima, dan menghentikan langkahnya. Kami saling berhadap-hadapan sekarang. Ibu Guru Matus berada dalam posisi menghadangku. Lantas, samar-samar aku mendengar sebuah bisikan, entah dari mana datangnya: "Jangan menyerah, Sahlan! Lawan dia. Lawan!""Ayo, Sahlan! Lihat teman-teman sudah tidak sabar menunggu...," bujukan Ibu Guru Matus telah berubah menjadi desakan.Sesaat, ingin rasanya aku menoleh kepada teman-temanku yang telah menjadi hewan-hewan itu, tapi bisikan di telingaku juga makin jelas: "Jangan menyerah! Lawan!"Kupandangi Ibu Guru Matus dengan sorot mata yang lebih tajam. Kemudian, pelan-pelan kurasakan sekujur tubuhku mengejang. Lalu, entah mendapat kekuatan dari mana, pada detik berikutnya, sambil mengerang panjang aku menerjang Ibu Guru Matus. Perempuan itu terjengkang. Sebelum ia kembali bangkit, buru-buru aku meloloskan diri, dan mengayun langkah sekuat-kuatnya. Berlari!"Hei...! Mau ke mana kamu? Berhenti! Lihat teman-temanmu!"Aku tak peduli. Aku terus berlari dan berlari. Semakin cepat, hingga mengalahkan semua yang mampu melaju dengan cepat. Bersama angin, kususuri lembah dan ngarai, kudaki bukit dan gunung, kutembus hutan dan gurun-gurun, menyeberangi lautan, melintasi benua, menerobos kota dan desa-desa. Aku tak tahu pasti apakah Ibu Guru Matus lantas mengejarku. Yang jelas, suaranya terus saja menyeruku supaya kembali. Dan, aku tak ingin kembali, apa pun yang terjadi.Karena itu, aku terus berlari dan berlari. Jutaan kilometer telah kutempuh. Tiada rasa penat, lapar maupun dahaga. Onak dan duri tak kuhiraukan, terik maupun hujan kuabaikan. Hari berganti menjadi minggu, minggu menjadi bulan, dan bulan menjadi tahun. Langkah kakiku tak lagi bisa dihentikan. Ia terus mengayun dan mengayun. Bahkan hingga berabad-abad kemudian.Tapi, seruan Ibu Guru Matus tak juga berhenti. Ia terus memanggil dan memintaku kembali. "Pulang kamu, Sahlan! Jangan tinggalkan teman-temanmu. Mereka menunggumu. Lihatlah, betapa gembiranya mereka. Apakah kamu tidak ingin bergembira bersama-sama mereka? Ayo! Kembali kamu! Kembali! Kamu tak mungkin hidup tanpa mereka. Kamu adalah bagian dari mereka...!"Ketika pada akhirnya kakiku berhenti mengayun, kudapati diriku berada di sebuah lapangan yang mahaluas. Di sana-sini terlihat orang bergerombol dalam kelompok-kelompok. Bunyi mendengung memenuhi udara, dengan matahari yang bersinar sangat terik. Kudekati salah satu kelompok orang-orang itu dan bertanya apa yang sedang mereka lakukan."Kami sedang menunggu Ratu. Hari ini beliau mengumumkan keputusan, siapa akan menjadi apa. Kalau saudara mau ikut, silakan bergabung dengan salah satu kelompok yang ada," orang yang kutanya memberi penjelasan."Tapi..., saya tidak....""Jangan terlalu banyak tanya. Lebih baik saudara cepat-cepat memilih salah satu kelompok. Kalau tidak, saudara tak akan dapat apa-apa!"Kembali terdengar suara Ibu Guru Matus menyeru-nyeru. Ingin sekali aku mengayunkan langkah, berlari. Tapi, seluruh persendiankau terasa lemas. Tenagaku sudah habis. Aku tak mampu lagi berlari. Tapi, aku tak ingin menjadi apa-apa!***Pamulang, 2002
(Media Indonesia, 16 Juni 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar