Jumat, 17 September 2010

Para Jin Unjuk Rasa
Oleh Ahmad Syam


Saya baru akan memulai pelajaran pertama tatkala seorang siswa mengetuk pintu kelas. Saya membuka pintu dan menemuinya.

"Ada apa?"

"Anu, dua siswa-siswi kelas satu kesurupan, Pak!"

"Kesurupan? Kenapa bisa?"

"Aku juga kurang tahu, Pak! Tetapi Bapak diminta menolong siswa-siswi yang kesurupan itu!"

"Loh, kok saya yang dimintai tolong? Katakan kepada wali kelasnya bapak tidak pernah mengatasi orang kesurupan sebelumnya! Bapak tidak bisa membantu!"

"Baik, Pak!"

Tanpa sedikit pun terpengaruh dengan peristiwa tersebut, saya kembali melanjutkan pelajaran. Namun, ketika akan memulai menjelaskan pokok bahasan hari ini, tiba-tiba seorang siswa lainnya datang. Kali ini ketua organisasi lembaga pelajar di sekolah, si Andi.

"Ada apa lagi, Di?" tanya saya.

"Aku disuruh bapak kepala sekolah menemui Bapak!"

"Tentang siswa-siswi yang kesurupan itu juga?" tanya saya lagi.

"Benar, Pak! Jumlah siswa-siswi terus bertambah. Kini seluruh siswa-siswi dalam kelas yang jumlahnya empat puluh orang kesurupan. Mereka menjerit-jerit. Menangis sekeras-kerasnya. Membentur-benturkan kepala ke tembok. Berguling-gulingan di lantai. Malahan, seorang siswi membanting semua kursi dan meja yang ada dalam kelas. Jika ada yang mencoba memegangnya, dia meronta-ronta melepaskan diri. Dia menghardik, menyerang, menendang, menempeleng, dan menjambat rambut siapa pun yang berusaha mendekat!"

"Baik, Nak! Katakan kepada bapak kepala sekolah saya akan segera menyusul ke sana," ujar saya memotong Andi cepat-cepat karena tidak tahan mendengar kisahnya lebih banyak.

Selama dua puluh tahun saya mengabdi sebaga guru di sekolah ini baru kali ini ada kejadian siswa-siswi kesurupan. Tidak tanggung-tanggung pertama terjadi langsung dalam jumlah besar.

Hal itu tentu saja membuat pihak sekolah kelabakan. Dan, sayalah yang dianggap mumpuni mengatasi kejadian tersebut. Pertimbangannya, karena saya seorang guru agama yang mengerti hal-hal gaib.

Tentu saja saya mengelak dan mengusulkan supaya memanggil orang yang sudah biasa menghadapi hal demikian. Saya jelaskan kepada kepala sekolah dan seluruh guru yang hadir saat itu bahwa saya bukanlah orang yang tepat meski pernah melihat bagaimana orang kesurupan dihadapi dan diobati.

***

Peristiwanya masih dulu sekali di kampung istri saya di sebuah desa kecil di Jawa. Seorang anak yang sedang bermain di dekat kuburan tua, tidak jauh dari pohon asam yang telah berumur puluhan tahun, tanpa tahu kenapa tiba-tiba mengelepar-gelepar di tanah. Dia menjerit dan meraung sangat kuat. Teman sepermainannya datang mengabarkan kepada orang tuanya dan warga desa.

Si anak kemudian dibawa ke balai desa dan salah seorang warga bergegas memanggil orang pintar, seorang dukun kampung. Warga desa sering memanggilnya Mbah Tumi. Dia terkenal bukan saja di desanya tetapi sampai ke desa-desa tetangga. Seluruh warga desa mempercayainya akan sanggup mengusir roh jahat yang dianggap sering masuk ke jasad warga.

Dalam kepercayaan orang-orang di kampung istri saya saat itu, sebenarnya roh jahat yang masuk ke dalam jasad warga berasal dari roh leluhur yang biasa disebut "Mbah". Mbah itu meninggal beberapa puluh tahun yang lalu. Dia dikuburkan di dekat pohon asam itu.

Masih menurut cerita orang di kampung istri saya, si mbah itu dikenal sakti. Karena itu, ketika dia meninggal rohnya tidak sampai ke langit. Entah mengapa rohnya tertahan di pintu langit. Roh tersebut kemudian gentayangan yang sewaktu-waktu berubah wujud menjadi kelelawar yang terlihat di pohon asam pada malam hari. Terkadang juga masuk ke jasad warga.

Begitu Mbah Tumi mulai beraksi dengan membaca mantra-mantra seraya menjepit ibu jari kaki si anak dengan kuat, kontan mata si anak melotot ke arahnya. Tatapannya begitu tajam dan menyala. Tetapi Mbah Tumi yang sudah terbiasa itu terlihat tidak gentar. Tidak lama kemudian, perlahan dia mulai dapat mengatasi hingga berlangsung dialog diantara keduanya.

"Siapa kamu?" tanya Mbak Tumi.

"Apa perlunya kamu menanyakan itu, heh!" katanya lantang dengan suara serak, menyerupai suara kakek-kakek.

"Jangan banyak bertingkah, cepat kamu keluar dari jasad anak ini!" perintah Mbah Tumi tidak kalah lantang.

"Kalau saya tidak mau keluar!"

"Apa yang kamu inginkan? Anak ini tidak bersalah!"

"Siapa bilang tidak bersalah. Dia nakal karena selalu bermain di sekitar rumahku!"

"Di mana rumah kamu?"

"Ah, kamu bertanya segala lagi. Puih! Apa kamu pura-pura tidak tahu?" katanya dengan nada sinis .

Dialog antara Mbah Tumi dengan roh dalam jasad anak itu berlangsung lama. Tetapi, bukan Mbah Tumi jika tidak berhasil memenangkan pertarungan tersebut. Mbah Tumi lalu menyarankan warga desa untuk merawat kuburan tua dan pohon besar itu. Membersihkan dari daun-daun kering yang jatuh. Memagarinya supaya anak-anak mereka tidak lagi memasuki wilayah itu untuk bermain.

Saat itu, saya setengah yakin setengah tidak dengan kepercayaan itu. Namun, semenjak saya mendapat kesempatan mempelajari agama lebih banyak di perguruan tinggi saya kemudian menolaknya sama sekali.

Masak ada roh gentayangan? Hakikatnya semua roh yang telah berpisah dengan jasadnya akan kembali kepada pemiliknya, yakni Tuhan. Lagi pula sangat tidak pantas jika roh manusia yang mulia itu berubah menjadi kelelawar atau sejenis binatang lainnya.

Menurut saya, sesungguhnya bukan roh jahat yang masuk ke tubuh warga kampung melainkan sebangsa jin yang berperilaku jahat.

"Kok, ada jin yang senang berperilaku jahat?" tanya seorang warga sekembali saya ke kampung setelah menamatkan kuliah.

"Karena ada juga jin yang baik!" jawab saya datar.

"Kalau ada jin baik, kenapa harus ada jin yang jahat?" tanyanya lagi.

"Sebenarnya tidak pantas disebut jin jahat. Jin-jin itu pada dasarnya sama dengan manusia. Ya sama-sama ciptaan Tuhan. Mereka juga terdiri atas jenis laki-laki dan perempuan sehingga mereka bisa kawin dan beranak pinak. Para jin itu menetap di mana saja. Bisa di pohon-pohon besar, di gedung-gedung bertingkat, di hutan ataupun di kota. Di rumah-rumah kita juga banyak jin yang numpang tinggal, hanya saja kita tidak melihatnya. Bahkan, mereka juga bisa menetap dalam tubuh kita. Kelebihan jin dibanding manusia karena mereka bisa mengubah diri mereka menjadi apa saja. Bisa kelelawar, kerbau, kuda, pokoknya apa saja!" urai saya panjang lebar.

"Tetapi kenapa jin itu sering iseng atau nakal kepada manusia? Apa mereka kurang kerjaan?"

"Saya kira bukan itu masalahnya! Sebagai sesama makhluk jin juga mendambakan hidup damai dan berdampingan secara baik-baik dengan manusia. Kalau mereka banyak yang nakal dan menganggu kehidupan manusia jangan-jangan justru manusia yang lebih dahulu iseng mengusik kehidupan mereka!"

"Lalu bagaimana dengan cerita roh gentayangan?"

"Menurut saya, ya, itu jin yang menyerupai jasad manusia yang telah meninggal!"

***

Meski para guru dan siswa lainya sedikit kewalahan, semua siswa-siswi yang kesurupan sudah berhasil ditenangkan. Memang sulit dipercaya dengan akal sehat bila seseorang kesurupan. Bayangkan, seorang siswi mampu melepaskan diri dari beberapa guru pria yang mencoba menenangkannya. Siswi tersebut seperti memiliki kekuatan yang lebih besar dari kekuatan lima orang guru pria.

Saya mengumpulkan keberanian untuk mengusir jin-jin dalam tubuh siswa-siswi. Akhirnya dengan susah payah saya mampu meyakinkan diri dapat melakukannya. Tetapi saya tidak mungkin mengobati satu per satu siswa-siswi yang kesurupan sebab akan mengambil waktu yang lama. Mungkin diperlukan waktu berjam-jam jika saya mengatasi jin-jin yang berada dalam jasad empat puluh siswa-siswi.

Saya lalu mengelilingi mereka semua yang kini dibaringkan di aula. Setiap siswa atau siswi dipegangi sekurangnya lima orang. Saya sengaja berkeliling dengan harapan menemukan wajah siswa-siswi paling merah, marah, dan beringas. Biasanya, bos jin berada pada tubuh yang paling kuat meronta-ronta.

Tetapi dengan cara demikian saya masih mendapatkan kesulitan. Hampir semua siswa-siswi yang kesurupan menujukkan wajah yang sama. Wajah penuh amarah. Memandang dengan sinis. Sorot mata yang tajam. Dan, dari mulut mereka semua keluar suara-suara seperti sedang mendesis.

Menyaksikan hal tersebut nyali saya kembali turun. Saya sudah mundur kalau saja bukan faktor kasihan melihat siswa-siswi itu. Belum lagi bila menatap wajah kepala sekolah dan guru-guru yang begitu menaruh harapan besar kepada saya.

Sekali lagi saya mengumpulkan keberanian dan perlahan mendekati salah seorang siswi. Dia dipegangi lima orang. Tangannya yang terentang dijaga oleh dua orang. Begitu pula pada kakinya terdapat dua orang. Satu orang lagi berjaga-jaga di bagian kepala kalau-kalau dia berusaha bangkit.

Begitu jarak saya dengannya berkisar setengah meter, siswa tersebut meludah ke atas dan tepat mengenai wajah saya. Dugaan saya, inilah cara jin yang berada dalam jasad memancing kemarahan sehingga konsentrasi saya terganggu.

Saya membaca doa-doa dan menjepit ibu jari kakinya dengan kuat. Tidak lama kemudian jin dalam jasad siswa mau angkat bicara.

"Aku dan teman-temanku tidak akan keluar sebelum tuntutan kami dipenuhi!" katanya dengan suara serak dan begitu emosional.

"Apa tuntutan kalian? Kalian salah karena menganggu siswa-siswi yang tidak bersalah ini!"

"Tetapi manusia yang lebih dahulu mengusik kami! Masak kami diburu-buru!"

"Siapa yang memburu kalian?"

"Itu para tim pemburu jin. Bahkan yang lebih menyakitkan karena manusia menyajikannya lewat sebuah tayangan langsung di sejumlah televisi swasta!"

"Kalau begitu kalian salah alamat! Ganggu saja manusia-manusia yang memburu, menangkap, dan memasukkan sebangsa kalian dalam TV untuk kepentingan komersil!" tegas saya yang seketika itu teringat istri dan anak-anak. Bukankah itu tayangan yang mereka tunggu-tunggu setiap malam?***

Salatiga-Canberra, 2005-2006

(Lampung Post, 2 September 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar