Senin, 11 Oktober 2010

Penyetubuh Mayat
Oleh Ganda Pekasih


Seperti biasa selasar dan lorong-lorong menuju kamar mayat itu sepi kecuali jika sedang ada jenazah yang diantar dari ruang perawatan. Keluarga pasien biasanya sibuk hilir mudik sambil menangis mengurus pengambilan jenazah.

Sesaat yang lalu baru saja sesosok jenazah dibawa ke kamar mayat, tapi tak ada yang mengantar kecuali petugas rumah sakit yang mendorong mayat itu dengan brankar dari ruang perawatannya, entah mayat siapa dia.Tak ada orang-orang yang bergegas atau berlarian sambil menangis menyesali kepergiannya. Tengah malam, seorang petugas kamar mayat terkantuk-kantuk mengurus administrasi pengambilan jenazah. Petugas atau sopir mobil pengantar jenazah yang tertidur di emperan masjid dekat kamar mayat bersiap begitu surat tugas diberikan, ke mana pun jauhnya jenazah dibawa,dia siap mengantarkan.
Lelaki yang menjemput mayat yang akan membawa mayat itu ke Sumedang menyodorkan berkasberkas yang harus diperiksa sopir mobil jenazah sebagai orang terakhir pihak rumah sakit yang terkait dengan jenazah, sopir itu memeriksa berkas-berkasnya, hal rutin biasa baginya dan menyuruh lelaki yang mengambil jenazah itu untuk menemaninya duduk di depan, tapi lelaki itu menolak dan berkata ingin menemani jenazah di belakang. Si sopir sekali lagi minta agar lelaki itu lebih baik menemaninya saja di depan agar mereka bisa berbincang bincang untuk mengusir jenuh dan kantuk di perjalanan.
Mobil jenazah mulai bergerak meninggalkan rumah sakit. “Sendirian saja,Pak?” tanya si sopir seraya tersenyum basa-basi kepada si penjemput mayat. “Iya,Pak.Tadi rencana jenazah mau langsung dibawa ke rumah kontrakannya saja,tapi istri almarhum minta agar suaminya dikuburkan di kampung saja, lagi pula mereka pasti repot kalau ramai-ramai ke Jakarta.” “Bagusnya memang dikuburkan di kampung saja, di sini kuburan mahal.Tetangga saya minggu lalu meninggal, pesan kuburan saja tiga juta, belum lagi tetek bengek lainnya dan biaya tahlilannya. Mati saja susah....” “Begitulah Pak, saya juga tadi bingung, untung bos ngasih uang lebih buat bawa jenazah ke kampung.” Mobil mulai meluncur cepat meninggalkan Jakarta.
“Sudah berapa lama jadi sopir ambulans, Pak?” “Hampir sepuluh tahun.” “Anak berapa?” “Tiga, yang sulung sudah kelas dua SMA dan yang bungsu SMP kelas dua. Bapak sendiri dinas di mana?” Lelaki penjemput jenazah itu tertawa kecil. “Pekerjaan saya biasa-biasa saja,Pak.” “Yah...yang penting halalkan?” “Ya halal,Pak. Selama ini saya jujur membuang kotoran-kotoran itu pada tempatnya, nggak berani saya buang di sungai atau di tengah jalan seperti yang dikerjakan teman- teman saya demi keuntungan tak seberapa.” Si sopir mobil jenazah heran.
“Apa yang Anda kerjakan rupanya?” Lelaki itu terlihat serbasalah. “Ah, sudahlah, Pak. Nanti Bapak jijik mendengarnya?” “Jangan bilang begitu, saya sudah banyak melakukan kerja apa saja. Dari yang menjijikkan sampai yang memalukan,” si sopir tertawa. “Saya kerja di mobil tinja,Pak. Tukang sedot tinja...” “O….” Si sopir mobil jenazah manggut-manggut kemudian terdiam, lalu dia merasa tak tertarik lagi mendengar atau menanyakan tentang pekerjaan orang di sebelahnya. Kata ‘tinja’ barusan mengingatkannya saat pertama kali menyetubuhi mayat perempuan cantik paruh baya di kamar mayat yang pagi harinya dia bawa ke Cirebon tujuh tahun lalu.

Setelah jenazah itu disetubuhinya dengan bermacam posisi semau hatinya, dari dubur mayat perempuan itu keluar tinja. Lalu dia ketagihan menyetubuhi mayat-mayat berikutnya, beberapa mayat perempuan di kamar jenazah dia datangi malam-malam. Hampir semua mayat perempuan yang disetubuhinya mengeluarkan tinja setelah dia tindih dari atas dan bawah. Kini sudah tak terhitung berapa mayat wanita yang pernah dinikmatinya setelah istrinya meninggal delapan tahun lalu. “Biasanya kalau ada orang yang minta sedot tinja di rumahnya, teman-teman menawarkan harga miring,tapi mereka membuangnya sembarangan, kadang ke kali atau juga ke persawahan penduduk di sekitar Bekasi.
Baunya ke manamana dan menyebarkan bibit penyakit.” “Wah,menjijikkan dan kurang ajar sekali mereka! Culas!” “Yabegitulah,Pak.Kalau tidak begitu tak ada tambahan uang masuk.” Mobil jenazah memasuki jalan tol. “Lihat Pak,ada mobil tinja parkir di pinggir kali itu.Mereka pasti membuang kotoran di situ, bayar sama orang-orang yang tinggal di situ biar aman.” “Tinja dari mana? Jakarta?” “Biasanya memang yang dari Jakarta, Pak. Ratusan ton setiap hari kami sedot.” “Sudah deh Pak, jangan bicara tinja lagi,perut saya jadi mual.” “O,maaf Pak,maaf.” Mobil sudah melewati tol Cikampek, mereka saling membisu, tapi si laki-laki yang bekerja di mobil tinja melihat si sopir ambulans itu gelisah.
“Apa Bapak merasa mencium bau tinja karena saya ada di sini?” “Nggak nggak…, Anda tidak berbau apa-apa. Paling kalau ada tercium bau,ya bau mayat,”tukas si sopir. Keduanya lalu tertawa. “Bapak sudah pernah mencium bau mayat?” “Belum pernah.He-he-he.Aneh kan?”jawabnya sekaligus bertanya. “Sebagai sopir mobil jenazah pasti tahu dong bau mayat.” “Mayat yang saya bawa biasanya masih baru, bahkan sudah dimandikan dan dikafani.Kalaupun mayat yang sudah lama biasanya berada di loker pendingin, jadi tidak berbau, cuma bau kamar mayat itu aneh.Saya tidak pernah tahu bau apa itu, yang pasti itu bukan bau bangkai manusia.” Mereka membisu, cukup lama. Perjalanan sudah memasuki separuh jarak tempuh.
Si sopir tibatiba meminggirkan mobilnya. “Kita istirahat sebentar, Pak. Makan, minum kopi, dan merokok dulu, tapi yang terpenting saya juga mau buang tinja nih,”ujarnya seraya tertawa. “Oke, Pak. Saya yang traktir ya.” “Jangan,saya saja.” Sehabis si sopir buang tinja,mereka merokok, makan pisang goreng, mi,dan minum kopi bersama. Sempat pula mereka berbincang singkat soal penghasilan kerja mereka yang sama-sama kecil. Tak sampai setengah jam kemudian perjalanan mereka lanjutkan lagi. Mobil jenazah melaju kencang.
Tiba-tiba tercium bau kotoran manusia yang sangat mengganggu. Si sopir menahan nafas tapi tak berani menutup hidung. Baru kali ini aku membawa mayat yang bau, pikirnya. Tapi dia juga berpikir jangan-jangan ini cuma sugesti saja karena lelaki di sebelahnya petugas tinja dan ceritanya melulu pula soal kotoran manusia itu. “Apa Bapak mencium bau kotoran?” tanya si penjemput jenazah tiba-tiba. “Hem. Nggak, nggak,” jawab si sopir. “Bapak jangan bohong, kalau muntah awas ya.”
“Eh,iya Pak,bau.Belum pernah bau kaya gini.” Si sopir ambulans jujur karena bau itu makin menusuk hidungnya. “Pasti kotoran di mayat itu keluar dengan sendirinya,Pak. Buka jendelanya biar anginnya masuk, matikan saja AC-nya.” Si sopir menuruti kata-kata lelaki di sebelahnya. Bau kotoran berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. “Kebanyakan teman-teman saya berprinsip,yang penting buat mereka bisa untung banyak,kalau mobil dibawa ke tempat pembuangan khusus biasanya harus setor penuh ke PT.Petugas tinja harus pintar-pintar mencari tempat pembuangan.
Tapi saya tidak, Pak. Saya tidak biasa berbohong atau menipu orang.Biarpun saya ini kerja di tempat yang menjijikkan tapi rezeki yang saya dapatkan halal, Pak.” “Tapi pasti sekarang Anda menyesal kerja di perusahaan penyedot tinja kan? Karena tetap saja susah dan miskin.” “Tidak juga,Pak.Walau sudah belasan tahun saya bekerja di tinja, cuma dapat untuk makan dan menghidupi istri dengan seorang anak, saya terima apa adanya.Memang terkadang, kalau lagi mangkal untuk buang tinja sendiri saja susahnya minta ampun, harus bayar pula,”lelaki itu tertawa. Beberapa saat kemudian tibatiba si sopir mobil jenazah meminggirkan mobilnya.Tapi di sekeliling tak ada warung, apalagi rumah makan.Tampak seperti di pinggir hutan. “Kenapa berhenti,Pak?” “Perut saya mulas banget,” rutuknya.
Setelah mobil berhenti si sopir turun dan berlari ke semak-semak untuk melepaskan hajatnya dengan membawa botol air minum.Setelah selesai buang hajat dia cebok dengan air dari botol minumannya itu dan mengambil dari kantongnya sebungkus tisu, dengan tisu itu dia mengelap tangannya yang basah. Laki-laki penjemput mayat tersenyum menyambut sopir mobil jenazah itu di mobil. “Bau yang tadi mungkin garagara saya mau buang air besar ya, Pak?” “Pantas, pasti dari tadi Bapak banyak buang gas.” Mereka lalu tertawa. Mobil berjalan lagi.
“Karena saya kerja di perusahaan penyedot tinja, saudarasaudara saya malu. Mereka memang banyak yang sukses bekerja di Malaysia dan menganggap saya cuma bikin malu keluarga.” “Jangankan Bapak, saya yang kerja di rumah sakit saja tidak dianggap apa-apa sama keluarga saya.” Keduanya terdiam lagi,jalanan lengang,bulan bersinar pucat di langit, mobil meluncur dengan kecepatan tinggi.

***

Hampir menjelang subuh tak terasa mereka pun sampai. Perkampungan yang ditunjukkan laki-laki itu masih terlelap sepi, udara cukup dingin, serta kabut menyungkup dataran rendah perkampungan itu. Laki-laki penjemput mayat itu cepat turun dari mobilnya dan masuk ke perkampungan. Lalu beberapa saat kemudian dia muncul lagi dengan belasan orang mendekati mobil jenazah yang tidak bisa langsung ke rumah karena jalannya berbatu.
Seorang wanita muda menggendong anak kecil menghambur ke mobil jenazah sambil menangis histeris. Orang-orang yang tinggal di sekitar berhentinya mobil jenazah juga keluar dari rumah-rumah mereka.Mereka kaget dan menyebutkan nama Paryono berkali-kali. Paryono meninggal karena kecelakaan motor di Bekasi! Ini jenazahnya. Paryono yang jadi petugas tinja di Jakarta! Paryono. Setelah beristirahat sejenak sambil minum kopi dan mentari merah telah mengusir kabut yang menyungkup perkampungan di dataran rendah itu,sopir ambulans mohon diri untuk segera kembali ke Jakarta. Ambulans berlari kencang, jalanan berkelok-kelok indah, berlatar bukit dan gunung-gunung Parahiyangan.
Baru saja setengah jam tancap gas, tercium aroma tinja menyumbat hidung lelaki itu. Dia segera membuka jendela, tapi bau tinja tak segera hilang, lalu dia mengumpat umpat si tukang sedot tinja itu. “Setan! Brengsek! Dasar penipu! Hantu blau! Kau pasti sama saja dengan teman-temanmu yang kau ceritakan itu, culas! Pembohong! Membuang tinja seenaknya. Kalau tidak bekas badanmu pasti tidak bau, bekas tempat dudukmu tidak bau! Dan jenazah kawanmu itu juga tidak bau tinja!” Bau tinja ternyata kian pekat menyumbat hidung si sopir.Perutnya mual dan ingin muntah.Maka sumpah serapah kembali berhamburan dari mulutnya.Lalu tiba-tiba mobilnya tak terkendali saat sebuah minibus muncul dari balik tikungan.
Semuanya berlangsung begitu cepat, mobil meluncur menuju jurang. Saat tersadar lelaki itu sudah berada di sebuah rumah sakit, rumah sakit entah di mana.Dia tidak mengenalnya, dinding dindingnya sangat kusam dan buruk, perawatperawatnya tua-tua dan tak ramah. Lalu lelaki itu minta diantarkan ke rumah sakit tempatnya bekerja. Dia ingin dirawat di sana saja.Tapi sungguh mengagetkannya, kecelakaan itu bukan kecelakaan yang ringan baginya.


***

Selasar dan lorong-lorong menuju kamar mayat itu sepi-sepi saja seperti biasa,kecuali jika sedang ada jenazah yang baru diantar dari ruang perawatan.Keluarga-keluarga pasien biasanya bergegas hilir mudik mengurus pengambilan jenazah. Lelaki mantan sopir ambulans pengantar jenazah muncul di ujung lorong.Dia langsung menuju kamar mayat karena kini dia diperbantukan di tempat itu. Dia memiliki wajah yang rusak dan kaku menyeramkan tanpa ekspresi. Sebagian rambutnya tak bisa tumbuh lagi karena kulit kepalanya banyak yang terlepas. Sebelah mata kirinya tak bisa melihat. Tempurung lutut kaki kanannya pecah dan diamputasi.
Dia berjalan dengan kruk. Sejak dulu dia tak suka jika mayat-mayat perempuan terlalu cepat diambil oleh keluarganya.Apalagi jika itu mayat wanita muda yang cantik. Walau dia tidak menjadi sopir mobil pengantar jenazah lagi, baginya tidak ada yang berubah sejak tujuh tahun lalu, terutama soal kesukaannya bermain-main dengan mayat wanita.Bahkan kini dia merasa lebih bergairah dan sedang sehat-sehatnya sebagai lelaki. Sekali-sekali dia juga teringat wajah lelaki penjemput mayat yang bersamanya waktumengantarjenazah ke Sumedang. Itulah terakhir kali dia bertugas mengantar jenazah sebelum kecelakaan menyebalkan itu terjadi.Pernah dia menduga lelaki petugas tinja itu mungkin yang menjemput jenazahnya sendiri.
Tapi, bagi dirinya itu suatu kemustahilan yang tak pernah ada dalam kamus hidupnya. Sesosok mayat perempuan dibawa masuk.Waktu menunjukkan pukul sembilan malam,diiringi beberapa orang teman-temannya. Kelihatannya mereka mahasiswa. Petugas kamar mayat menyambut gembira. “Mau sekalian dimandikan?” “Keluarganya baru besok pagi tiba dari Manado.Bagusnya dimandikan saja,” jawab salah seorang pengantar.
“Serem di sini,kita keluar saja,” kata rekan wanitanya berbisik. Brankar jenazah didorong masuk oleh petugas kamar mayat.Kemudian para pengantar jenazah tadi, lelaki dan perempuan, menjauhi kamar mayat itu. Ketika diperiksa, mayat wanita muda itu sungguh cantik dan seksi. Hanya ada beberapa bekas luka karena kecelakaan di bagian kepala.Menetes air liur lelaki itu melihat mayat segar telanjang di depan mata.(*)

(Seputar Indonesia, 10 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar