Senin, 18 Oktober 2010

Henning Dorg
Oleh Yusak Lie



SEJAK empat tahun lalu, saya telah berpisah dengan Ibu dan mencoba mengadu nasib di Osaka. Selama itu pula, saya berpindah-pindah pekerjaan, dari buruh pabrik, guru bahasa Indonesia paruh waktu, menjaga supermarket, sampai menjadi tukang parkir. Saya berpikir saya memang tidak becus dalam bekerja, dan oleh karenanya saya sering berganti-ganti pekerjaan. Namun tidak demikian halnya dengan atasan saya yang mempekerjakan saya. Mereka selalu berpendapat bahwa saya tidak mungkin seseorang yang tidak becus bekerja. Dan karenanya mereka sangat berat melepas kepergian saya setiap kali saya meminta berhenti bekerja.
Berhubung pekerjaan saya kali ini di pusat kota, saya memutuskan untuk tinggal di apartemen yang letaknya tidak begitu jauh dari kota. Tentu saja, apartemen dekat dengan pusat kota sangat mahal, sehingga saya memutuskan untuk tinggal di Apartemen Misaki yang lebih kecil dan lebih murah dari semua apartemen di pusat kota. Letak Apartemen Misaki tepat bersebelahan dengan Apartemen Takigawa.
Awalnya saya tidak begitu tertarik dengan Apartemen Takigawa. Tetapi setelah beberapa malam saya pindah di Misaki, saya menemukan kejanggalan yang mengharuskan saya mengamat-amati Takigawa. Setiap malam saya memperhatikan kamar-kamar di Takigawa, dan selalu saya mendapati ada satu kamar yang sangat terang yang letaknya tepat di seberang kamar saya. Sumber terang kamar itu tidak lain adalah lampu di kamar itu yang sengaja dinyalakan semuanya. Seakan-akan penghuni kamar itu takut gelap. Tetapi entah mengapa dalam suasana yang seperti itu, saya justru teringat oleh cerita ibu tentang ayah saya yang telah meninggalkan kami berdua sejak saya masih umur setahun. Hanya dari cerita ibu saya mengetahui nama ayah saya adalah Henning Dorg, seorang Jerman yang melancong ke Indonesia.
Demikianlah yang saya rasakan ketika saya terjaga di tengah malam. Meski saya mempunyai perhatian lebih akan pemanasan global, saya tidak berkeinginan untuk mengimbau penghuni kamar itu agar mematikan lampu yang tidak digunakan. Lama kelamaan saya terpanggil untuk menemui pemilik kamar itu dan menjelaskan dampak buruk pemborosan energi bagi alam. Dengan mengamat-amati letak kamarnya saja, saya dengan mudah dapat mengetahui nomer apartemennya, yaitu 1717.
Keesokan harinya, saya memasuki Takigawa dengan perasaan siap untuk berdebat dengan si pemilik kamar 1717. Untuk berdebat dengan orang, tidak sopan kiranya jika saya tak mengenal nama pemilik kamar itu. Maka saya mencari tahu lewat daftar penghuni Takigawa. Di situ tertulis Henning Dorg. Dan karena benteng pertahanan mental saya untuk berdebat telah luluh lantak, saya mengurungkan niat untuk melancarkan imbauan saya.
Di kamar saya berdiam diri dan merenungkan apakah ayah saya dapat mengenali saya sebagai anaknya jika memang benar penghuni itu adalah ayah saya. Maukah ia mengakui saya sebagai anaknya. Untuk mencari jawaban semua pertanyaan itu, saya terlebih dahulu merasa perlu untuk mengetahui bagaimana paras dan sosok orang itu.
Melalui teropong yang saya gunakan untuk memata-matai peghuni itu, saya mendapati bahwa usianya sudah tua dan tidak sehat secara fisik. Ketika ia tidur selalu membuka pintu dan jendela kamar yang mengisyaratkan bahwa orang tersebut takut gelap dan sendirian. Di atas lemari es yang terletak di antara dapur dan  kamar mandi, terdapat setumpuk tagihan. Mungkin itu adalah tagihan air; tidak mungkin itu adalah tagihan listrik karena setiap malamnya tetap terang benderang.
Esok hari, dengan berkedok petugas pemerhati lingkungan hidup, saya mendatangi Henning. Saya pun harus memainkan akting dengan sempurna. Sambil tetap bersikap waspada saya memainkan peran saya sebagai seorang yang perhatian dengan pemborosann energi.
“Permisi, Pak Henning. Maaf mengganggu Anda sebentar. Saya dari organisasi lingkungan hidup di Distrik Izumi ingin memberikan penyuluhan tentang pentingnya menghemat energy dalam mengurangi dampak pemanasan global. Sekiranya bapak berkenan, saya hanya memerlukan waktu sepuluh menit.” Saya memperkenalkan diri dengan sopan.
“Baiklah. Silahkan masuk.” Akhirnya dia mempersilahkan masuk setelah menimbang-nimbang beberapa menit. Lantas saya memulai aksi saya untuk mengeksplorasi semua ruangan yang ada di apartemen itu.
Seraya menjelaskan dampak pemanasan global dan bagaimana cara penanggulangannya, saya mengamat-amati setiap sudut ruangan. Ternyata pria ini tidak hanya bermasalah dengan tunggakan tagihan air tapi juga cicilan mobil yang menurut saya lumayan mewah.
Saya tetap melancarkan strategi saya. Setelah pembicaraan mengenai lingkungan hidup selesai, saya mulai untuk mendekati dia secara personal. Dengan strategi bicara tarik ulur, saya memberikan kesan bahwa saya tidak pernah mengenal dia sebelumnya, tetapi saya mempunyai kesungguhan hati ingin membantu dia seandainya saja dia memerlukan bantuan. Saya tahu keangkuhannya tak akan langsung mengizinkan saya membantu membayar semua tunggakkannya. Akhirnya, saya memulai sesuatu dengan hal yang lebih remeh, yaitu membayar semua biaya binatu kelas atas untuk pakaiannya. Awalnya dia menolak, namun dengan kecerdikan lidah saya, dia akhirnya setuju untuk dibayari.
Sudah satu minggu saya membayar semua ongkos cuci pakaiannya dengan pelayanan kelas atas. Makin lama dia makin menjadi, dengan seenaknya dia berganti pakaian, bahkan dalam sehari dia bisa berganti pakaian tujuh kali. Saya merasa senang karena dia telah terperangkap jebakan saya. Pada saat saya seharusnya mengirim semua bajunya ke binatu, saya menelepon dia bahwa saya sakit sehingga tidak bisa mengambil bajunya. Tentu saja saya berpura-pura belaka. Jadi saya mengusulkan bahwa selama saya sakit, dia yang membayar semua biaya dan mengingatkan dia agar tidak memilih binatu sembarangan apalagi yang murah, karena dapat merusakkan pakaiannya yang mahal itu. Saya yakin betul bahwa dia tidak mungkin punya cukup uang untuk mencuci pakaiannya dengan jasa binatu kelas atas.
Lama-kelamaan, dia mencium siasat yang saya mainkan dan menelepon saya bahwa saya tidak usah lagi meminta maaf karena tidak dapat mengantarkan dan membayarkan cuciannya sebab dia dapat melakukannya sendiri. Kali ini dia benar-benar berniat untuk mengantarkan cuciannya ke binatu yang berkualitas standar. Sebagai gantinya, saya menawarkan untuk membayar cicilan mobil mewahnya karena bank menyediakan layanan pembayaran lewat internet, jadi saya tak perlu keluar kamar selama sakit. Dia sontak berang karena merasa tersinggung. Namun, saya tahu bahwa dia tak sepenuh hati. Atas nama persaudaraan, saya membujuk dia dan akhirnya dia mengiyakan niat saya walaupun dia masih belum mengetahui bahwa saya adalah anaknya.
Karena semua biaya cicilan saya tanggung, Henning sudah merasa bebas tanggungan dan makin kesetanan untuk berkeliaran dengan mobil mewahnya. Sementara itu, Henning terus bergaya hidup mewah dan tidak segan-segan meminjam uang kepada saya berhubung saya adalah teman yang paling dekat dengan dia. Saya segan menolaknya karena dengan cara ini saya dapat menunjukkan bahwa saya lebih berada daripada dia. Tapi saya lama-lama jengkel bukan main dibuatnya.
Suatu malam, saya menyelinap masuk ke tempat parkir mobil Apartemen Takigawa. Saya mendekati mobil Henning dan menusuk ban depan sebelah kanan dengan jarum kecil dan halus. Hal ini saya lakukan karena saya tahu bahwa besok Henning akan menemui seorang wanita yang belakangan sangat dekat dengan dia.
Sementara saya berjalan kembali ke Misaki, entah kenapa jantung saya berdegup kencang tak seperti biasanya. Desir darah saya mengalir deras membuat saya pusing bukan main. Begitu sampai di apartemen, saya langsung tertidur.
Keesokan harinya, saya tiba-tiba dikagetkan dengan dering telepon yang begitu keras. Ternyata telepon dari Rumah Sakit Eki yang memberitahu saya bahwa teman saya yang bernama Henning mengalami kecelakaan mobil, menabrak tiang listrik karena ban depan kanan mobilnya tiba-tiba kempes. Kecelakaan itu mengakibatkan tulang kaki dan tangan kanannya retak sehingga tak bisa digerakkan karena harus digips. Pihak rumah sakit memohon belas kasihan saya untuk menjemput Henning dan mengantarnya pulang sesuai permintaan si pasien.
Setelah bersusah payah saya membopong Henning masuk ke apartemennya, dia melarang saya meninggalkannya sendiri. Saya terpaksa menemani dan meladeni semua permintaannya. Dari minum obat sampai makan pun saya ladeni. Mungkin karena dia terlalu depresi, tekanan darahnya juga ikut naik dan menyebabkan pundaknya kaku dan kepalanya sakit. Terpaksa saya memijati pundak dan kepalanya.
Saya hampir tidak punya waktu untuk makan, bahkan waktu untuk buang air kecil pun tidak ada, karena dia tak pernah mau untuk ditinggal. Kepala saya terasa pening, keringat dingin mulai mengucur, tangan saya mulai kesemutan, dan perut saya sebah karena menahan kencing. Akhirnya saya tak tahan lagi, saya lantas berniat menghentikan pelayanan pijat saya.
“Kamu mau melihat saya mati kesakitan ya?! Silahkan saa tinggalkan saya jika kamu tega melihat saya mati!” Henning membentak sambil meraung-raung kesakitan sebab saya ingin meninggalkannya. Karena tak sampai hati, saya akhirnya menurut untuk melanjutkan pelayanan saya. Mungkin dia tahu bahwa karena siasat busuk saya, dia mengalami kecelakaan, lantas ingin membalas dendam atas semuanya itu. Sekali-kali dia juga tersenyum tipis seakan menghina kebodohan saya yang telah berani berbuat licik kepadanya. (*)
Surabaya 2010
(Jawa Pos, 17 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar